02 Agustus 2009

Dari Batuserampok hingga Sumurputri

Kado HUT ke 327 Kota Bandarlampung


Oleh Isbedy Stiawan ZS


KOTA Bandarlampung merayakan hari jadi pada Rabu (17/6) lalu, sebuah kota yang tempo ‘doeloe’ pernah beribukota Telokbetong, lalu Kotamadya Tandjungkarang-Telukbetung atau populer dengan nama Kota Kembar dan Kota Tante (Tanjungkarang-Telukbetung). Terakhir, sejak menjadi Kotamadya Bandar Lampung, dua kota tertua itu pun luluh di dalamnya.

Kota Bandarlampung tak lagi meliputi hanya Tanjungkarang-Telukbetung, melainkan hingga Panjang, Sukarame, Kemiling, Labuhanratu, dan lain-lain akibat pemekaran wilayah. Itulah mengapa, akhirnya masyarakat lebih suka menyebut, “Saya orang Bandarlampung” tatkala ditanya “Lampungnya di mana?”

Pada saat kota yang dipimpin Eddy Sutrisno dan Kherlani ini memasuki lebih dua belas hari berusia 327 tahun, tak ada salahnya sekadar mengenang tentang kota ini masa lampau.

Sejatinya kota ini pernah memiliki banyak aset, terutama bangunan-bangunan bersejarah dan tua yang tergolong unik dan khas, seperti Bengkel Hoffman, Gedung Bengkok (Kantor CPM) di depan Plaza Bambukuning, Gedung Dasaad di depan Masjid Taqwa Jalan Kotaraja, serta masih banyak lagi.

Kemudian, konon—ini perlu penelitian—di bawah Kota Bandarlampung ini ada terowongan yang telah ditemukan di dekat Hotel Hartono atau Hutan Monyet dan di halaman SMAN 2 Bandarlampung. Kabarnya, terowongan dari Hutan Moyet menembus di SMAN 2 itu.

Kota Bandarlampung pada usia 327 tahun telah berubah wajah. Tidak lagi dipenuhi pepohonan, bahkan di dekat Kantor Walikota yang dahulunya banyak ditumbuhi hutan bambu dan sebuah sungai kecil yang airnya jernih di bagian Jalan Dionegoro, kini pun sudah tiada lantaran pemekaran lahan kantor pemkot itu.

Ada banyak perubahan, tapi banyak pula penggerusan. Itulah risiko dari pembangunan. Ada banyak tercipta rumah toko (ruko) dan pasar modern, tapi kian mempersempit ruang terbuka hijau (taman, alun-alun). Kian bertambah kemajuan, tetapi masih banyak kawasan kumuh. Kota diperbarui, wajah kota dipercantik, namun itu tak diimbangi dengan membaiknya drainase, jalan, bantaran sungai yang dibiarkan menyempit, serta perbukitan sebagai penyerap air habis-habisan digerus.

Begitulah tatkala kota hendak menjadi metropolis. Ada risiko yang mesti dkorbankan, meski seharusnya jika memiliki rencana tata ruang kota yang baik hal itu tak akan pernah terjadi. Hal sama, pemkot juga mestinya berani membuat program yang ‘mengembalikan’ aset-aset yang pernah ada, dan dikenal oleh banyak masyarakat.

Misalnya Batuserampok, persis berada di dekat jalan layang PT Batubara Bukit Asam Srengsem. Kawasan itu, karena hendak membetangkan rel kereta api, mesti dihancurkan. Padahal, siapa tak mengenal Batuserampok? Novelis Motinggo Busye, ‘anak Padang’ kelahiran Telukbetung, telah mengabadikan Batuserampok dalam karya novelnya, hal sama beberapa penyair yang menulisnya dalam puisi agar tak hilang dalam ingatan (kenangan).

Terakhir, sebuah kapal akibat letusan Gunung Krakatau pada 1883 hingga terdampar di kawasan Sumur Putri. Sayang, pemerintah saat itu, tak berpikir kalau kapal itu akan memiliki sejarah dan bisa dijadikan aset pariwisata. Sebagaimana aset-aset berupa banguan bersejarah lainnya yang punah di kota ini, kapal itu pun tak tersisa lagi karena besi-besinya digeroogoti warga.

Sebab itu, di saat kota ini berulang tahun ke 327, marilah merenung ulang tentang aset-aset bersejarah dan memiliki keyakaan wisata yang ada di kota ini. Tidaklah ada kata terlambat, jika saja pemerintah punya keinginan dan masyarakat mengharapkan.

Kalau tak salah informasi, pemkot juga berencana melakukan penelitian terowongan di dekat Hutan Monyet dan SMAN 2 Bandarlampung. Selain itu, ingin membuat reflik Batuserampok dan reflik kapal di Sumurputri. Selain, untuk wisata hewan, kenapa tidak diberdayakan Hutan Monyet dekat Hotel Hartono itu?

Kalau Pemprov Sumatera Barat berani menciptakan jembatan Siti Nurbaya, yang jelas-jelas tokoh ini hanyalah rekaan Marah Rusli, kenapa tidak Pemkot Bandarlampung bisa membangun reflik Batuserampok dan kapal: keduanya jelas-jelas bukan fiktif.

Kota Penyangga
Ketika bergulir wacana Natar dijadikan kota baru untuk ‘menampung’ kesumpekan Kota Bandarlampung, banyak pengamat yang menerima positif.

Gagasan yang dilontarkan Gubernur Lampung Sjachroedin ZP memang layak disambut, mengingat Bandarlampung sudah sangat padat, sementara tata ruang kota tidak ‘karuwan’—jika tak ingin dikatakan tidak ada. Kota baru Natar direncanakan untuk pusat perkantoran Pemprov Lampung.

Tetapi, pendapat yang bergulir menyambut gagasan Sjachroedin, saya amati hanya persoalan ‘ansich’ kota baru demi meminimalisir kepadatan (dan kesumpekan) Bandarlampung. Padahal, saya kira, ada hal terpenting dari ‘membedol’ kota baru Natar tersebut. Saya istilahkan Natar sebagai ‘kota penyangga’ bagi Kota Bandarlampung.

Alasannya, saya bercermin pada DKI Jakarta. Bagaimana Pemda DKI Jakarta demi meminimalisir sekaligus tetap ingin mengeksistensikan daerah Jakarta itu, dirangkullah wilayah di sekitarnya seperti Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Sehingga ketiga wilayah ini secara emosional menyatu dengan jakarta, namun dari administrasi atau pemerintahan tetap berbeda.

Inilah yang semestinya dikancah sekiranya kota baru Natar tersebut terealisasi. Para pakar perkotaan, lingkungan, sosial, budaya, dan lain-lain duduk bersama-sama mengancahnya. Sehingga kota baru Natar, nantinya, bukan sebagai kota yang sekadar untuk mengalihkan kepadatan (kesumpekan) di Bandarlampung. Kota Natar hendaknya dijadikan ‘penyangga’ Bandarlampung yang saling menguntungkan.

Bahkan, bukan cuma Natar. Bandarlampung harus pula ‘merangkul’ wilayah sekitar lain, misalnya Gedungtataan/Gadingrejo, Tanjungbintang, Panjang, dan Padangcermin. Dengan demikian, kota Bandarlampung tak terdesak oleh kepadatan moda dan manusia. Salam.*


*udah dimuat Harian Radar Lampung

Tidak ada komentar: