13 Januari 2009

Banjir pun Datang…

Oleh Isbedy Stiawan ZS



SIAPA nyana banjir datang dan mengepung Kota Bandar Lampung. Hari itu, 18 Desember 2008 jelang sore, hujan yang hanya 2 jam mampu menggenangi sebagian Kota Tapis Berseri—terutama terparah Kecamatan Tanjungkarang Pusat—belum secara pasti kerusakan rumah, namun tak ada korban jiwa.

Warga yang saat itu berada di luar, misalnya di Jalan Kartini, menyaksikan laut bagai masuk ke kota. Jalan macet total. Kendaraan tak bisa bergerak, bahkan sebuah mobil sebagaimana divisualisasikan liwat gambar oleh Radar Lampung (19/12) terombang-ambing laksana perahu.

Menyaksikan penayangan stasiun LTV tentang banjir yang ditengarai terbesar kedua setelah puluhan tahun lalu itu, hati pun berdebar-debar: cemas. Seperti menyaksikan ulang penayangan tsunami di Aceh. Gambaran kecemasan tampak dari wajah warga yang rumahnya terhantam banjir. Perasaan takut memenuhi wajah mereka, terutama yang harus menyelamatkan diri di bubungan rumah.

Seorang teman yang berada di sekitar Jalan Kartini dan mengalami kemacetan, sempat-sempatnya mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya, begini: “Bandarlampung banjir. Jalan macet total. Apa kabar Walikota? Banjir ini merupakan geladi kotor pencanangan Visit Lampung Year 2009? Hehehe…”

Saya tak membalas guyonan pesan pendek dari teman itu. Segera saya kontak kerabat yang tinggal di kawasan Kaliawi, Jalan Teuku Umar dekat RSU Abdul Muluk, serta di Telukbetung. Dari merekalah saya tahu, kalau kawasan Kaliawi, Jalan Teuku Umar, dan Kartini air sudah mencapai setengah meter di jalan raya.


Musibah dari Allah
Siapa pun mahfum dan segera akan mengatakan, setiap bencana adalah musibah. Sedangkan musibah datangnya dari Allah. Ini sudah sunnatullah, tak terbantah.

Tetapi, jangan lupa, Allah pun mengingatkan manusia bahwa kerusakan yang terjadi di laut dan daratan ini karena ulah tangan manusia. Dan, saya sefaham dengan Wakil Walikota Bandar Lampung Kherlani pada Dialog Ekslusif di LTV, bukan saatnya saling menyalahkan. Karena musibah banjir 18 Desember 2008, tidak ada yang salah dan tak ada yang benar. Tetapi yang kita inginkan sekarang, solusi agar banjir yang terjadi ini tak terulang lagi.

Kata kunci yang bisa kita tangkap dari Kherlani, bahwa Pemkot dan masyarakat Bandar Lampung mesti membangun kesadaran pentingnya menjaga lingkungan. Terutama lingkungan yang berpeluang mendatangkan banjir.

Cukupkah kesadaran masyarakat pada lingkungan dibangunkan, sementara pengembang dan ataupun penguasa dibiarkan dengan cara diberi izin mengeksploitasi lahan-lahan yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai penyerapan air?

Bandar Lampung, sebagai ibukota Provinsi Lampung, ternyata sudah sulit mendapati lahan kosong sebagai—seperti disebut Prof. Dr. Ir. Ali Kabul Mahi—(dijaidkan) embung. Bahkan, lahan hijau rasanya cuma satu: Taman Kota di Wayhalim (baca Lampung Post, 18/12; hal. 1).

Selebihnya, bukit-bukit di Bandar Lampung nyaris tak lagi berfungsi sebagai penyerap dan (atau) penahan air. Saya kira pernyataan bahwa bukit-bukit di Bandar Lampung kebanyakan bukit kapur dan tak dapat difungsikan sebagai penyerap air, perlu dibuktikan secara ilmiah. Tetapi, setidaknya, jangan sertamerta terbuka peluang pemkot semena-mena “melelang” bukti-bukit tersebut kepada pengembang atau penguasa untuk dijadikan hunian serta digerus tanahnya untuk menimbun tepi pantai.

Kawasan Kemiling yang berada di dataran tinggi, kini nyaris menjadi “kota baru” sehingga membabat lahan hijau. Hal yang sama di kawasan Susunanbaru, Batuputu, dan seterusnya yang kini pelan-pelan namun pasti akan berubah menjadi perumahan, hunian, dan entah apa lagi.

Pembangunan besar-besaran yang tak terencana dan mengabaikan tata ruang kota, saat musim hujan karena tak ada lagi penahan dan penyerapan air akan berakibat banjir. Kendati pemerintah berulang menanggulanginya dengan cara, misalnya, membikin drainase ataupun melebarkan sungai-sungai (way) yang ada. Serta memindahkan warga yang rumahnya berada di bantaran sungai ke tempat lain. Cara itu tak menjamin Bandar Lampung tak tergenang oleh banjir.

Bandar Lampung tak bisa disamakan dengan Jakarta. Kota ini berada di antara perbukitan dan laut, sedangkan Jakarta di bawah permukaan laut. Kalau Amsterdam saja yang nyata-nyata berada jauh di bawah permukaan laut tak terkena banjir, kenapa Bandar Lampung bisa diterjang banjir?

Banjir, sekali lagi, memang bencana sekaligus musibah. Dan, manusia yang beriman akan berujar: musibah adalah cobaan yang datang dari Allah. Akan tetapi, apakah Tuhan tak memberi kekuasaan pada kita untuk menolak musibah seperti banjir, sekiranya kita sadar pentingnya menjaga, menata, dan memelihara lingkungan? Eksploitasi terhadap lingkungan bukti keserakahan kita.

Idealnya memang, seperti dinyatakan Wakil Walikota Kherlani, persentase antara pembangunan dengan penghijauan haruslah berimbang. Kenyataannya, pembangunan di Bandar Lampung amatlah pesat tanpa (rasanya) memikirkan adanya kawasan hijau. Ada berapa banyak kawasan hijau, bukit yang dibiarkan keasliannya, embung, drainase yang refresentatif, dan seterusnya?

Eksploitasi Bukit Lungsir yang jauh-jauh hari ditolak oleh warga yang didukung LSM peduli lingkungan namun tetap dibiarkan oleh Pemkot, akhirnya terbukti longsor. Dan, di mana Walikota Eddy Sutrisno saat warga sekitar Bukit Lungsir yang menjadi korban menyambangi rumah dinasnya?

Artinya apa? Peran pemerintah sangatlah diharapkan, sebab mengantongi kebijakan. Kesadaran terhadap lingkungan tidak hanya tertumpu pada warga, jika pemerintah terus-terusan memberi izin dan membuka peluang penguasa/pengembang menggerus lingkungan.

Saya membayangkan, jika hujan lebih besar dibanding yang terjadi 18 Desember lalu mengguyur Bandar Lampung, tentu akan lebih besar lagi menelan kerugian dan (mungkin saja) korban. Jika ini tak segera dicari solusinya, ke depan kota ini akan jadi apa jika musim hujan yang datang tiap tahunnya?

Semoga saja, apa yang dibayangkan ini tidak mewujud. Selamat tahun baru warga Bandar Lampung, dan (jangan) lupakan musibah banjir!•

----------------
* sumber Radar Lampung, 23 Desember 2008

Tidak ada komentar: