13 Januari 2009

Kala Wartawan (ke) Politisi

Oleh Isbedy Stiawan ZS



MENJADI politisi, semenjak reformasi bergulir, layaknya tren yang diminati banyak orang. Mantan pejabat, pensiunan PNS (pegawai negeri sipil), selebritas,dan masyarakat awam pun mulai tergiur pada dunia politik.

Satu sisi, era keterbukaan yang diperjuangan oleh reformasi—terutama di bidang politik, dianggap berhasil. Semua orang boleh dan bebas berbicara politik. Bahkan, kalaupun beralih profesi: jadi politisi.

Karena politik menggiurkan, pemilik modal (yang bermodal) bisa saja menduduki ketua partai politik. Mantan calon gubernur, pengusaha, mantan pejabat, dengan sangat mudah bisa memegang tampuk tertinggi di salah satu parpol. Meski pun ia bukan kader ataupun sebelumnya berkecimpung di parpol lain.

Betapa menggiurnya dunia politik, eksodus “profesi” begitu cepat terjadi. Misalnya mantan pejabat, pensiunan eksekutif, dan apa pun profesi lain bisa saja segera beralih jadi politisi. Terpenting kedekatannya dengan orang nomor satu di parpol.

Kabar anyar paling menarik, kala sejumlah wartawan—57 orang sebagaimana dilaporkan Radar Lampung (11/1)—“eksodus” ke politisi. Para wartawan yang tergabung di PWI Lampung pada Pemilu 2009 ini sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol.

Beralihnya para wartawan ke politisi pada Pemilu 2009 untuk menuju gedung Dewan, tidak saja membuktikan adanya kedekatan selama ini antara wartawan dengan penentu di suatu parpol tapi juga kedekatan emosional sang wartawan dengan parpol tersebut.

Modal itulah kemudian yang mengantar wartawan tertentu (coba-coba) beralih profesi. Ingat, sekali lagi, beberapa tahun terakhir ini anggota dewan—seperti juga profesi lain—menjadi fenomena baru yang diburu lantaran “seksi” sehingga mensugesti banyak orang; banyak parpol bermunculan.

Saya menengarai bahwa politisi (dan partai politik) bukan lagi oase untuk penghapus dahaga untuk mensosialisasikan idealisme seseorang. Menjadi politisi dan melahirkan partai politik bukan untuk alat atau mesin melakukan perubahan politik demi kesejahteraan rakyat. Partai politik cenderung diperalat demi mengubah nasib para politisi agar lebih baik. kalau tidak, bagaimana bisa politisi yang 5 tahun sebelumnya duduk di kursi dewan yang lebih rendah menuju gedung dewan setingkat di atasnya, atau berupaya mempertahankan (merebut?) kembali kursi yang telah didudukinya selama 5 tahun pada pemilu mendatang?

Dan, media massa (pers) yang mengklaim diri sebab sudah terumus dalam undang-undang sebagai salah satu pilar pembangunan yaitu (alat) kontrol sosial, sulit melepaskan diri dari kepentingan pelaku pers itu sendiri. Misalnya, apakah ia akan menggeluti dunia pers seumur hidup? Tentu saja, mungkin ini tidak semua, tidak. Orang hidup harus berubah dan melakukan perubahan.

Karena itu pula, barangkali, sejumlah wartawan (57 wartawan PWI Lampung) mencoba “mengadu nasib” di jalur politik sebagai caleg (politisi) pada Pemilu 2009 demi menuju gedung dewan.

Memang tidak nista—apalagi haram peralihan profesi seperti ini. Apalagi, sekiranya, peralihan ke politisi itu didasari niat demi mengubah arah kebijakan politis pemerintah yang selama ini cenderung tidak berpihak pada rakyat. Dengan sense of jurnalisme atau semangat melakukan kontrol atas kebijakan yang tak berpihak ke rakyat, setelah berada di dalam gedung dewan semangat itu tidak lalu larut dan “dikalahkan” oleh suara legislatif lainnya.

Sulit sekali mengharap jaminan itu. Mengingat parpol yang awalnya diharap bisa melakukan perubahan dan sebagai parpol harapan masa depan, tapi setelah politisinya duduk sebagai wakil rakyat maka harapan tinggallah harapan. Para politisi yang diharapkan itu justru larut di dalam “permainan” parpol besar di gedung dewan.

Santun
Bambang Eka Wijata, wartawan senior, berharap kepada para wartawan PWI yang mencaleg pada Pemilu 2009 agar berlaku santun dan tidak melakukan politik uang saat kampanye. Idealnya bagi wartawan memang begitu, mengingat pers selama ini menganggap dirinya sebagai pengontrol kecurangan dan selalu berada di depan memperjuangkan tegaknya keadilan bagi rakyat banyak.

Peran pengontrol—sense of jurnalisme—mestilah terus dihidupkan, baik saat sosialisasi (kampanye) maupun kala menjadi “wakil rakyat” di legislatif. Inovatif bagi perubahan kebijakan hingga berpihak pada rakyat, serta visionir dalam meloloskan program-program yang berkepentingan pada rakyat. Dengan demikian, para wartawan itu jadi pionir bagi politisi lain di gedung dewan.

Netralitas yang selama ini jadi arah kebijakan pers, mestinya tak tergoda apalagi terganggu oleh salah satu kepentingan politisi maupun parpol. Hal ini yang juga kita harapkan para wartawan cum laude politisi dapat menjaga netralitas dan tetap konsisten.

Media massa, seperti dikatakan A. Rio Teguh—wartawan dan ketua PWI Lampung yang juga caleg DPRD Lampung dari Partai Golkar, harus memberikan ruang secara berimbang kepada para caleg.

Artinya, ini indikasi bahwa caleg dari wartawan pun diperlakukan sama dengan para caleg lain. Jangan sampai media massa jadi “alat” sosialisasi semata-mata untuk wartawan yang mencaleg. Ataupun caleg yang wartawan (walaupun semenjak mendaftar dia nonaktif) tidak lagi mengenakan baju pers saat sosialisasi. Ia sudah menjadi (murni) politisi. Apakah ini mungkin, bisakah hal ini tak dicampuradukkan? Salam.*

Bandar Lampung, 12 Januari 2009

---------------
* sumber Radar Lampung, Selasa 13 Januari 2009

Tidak ada komentar: