02 April 2009

Puisi Isbedy Stiawan ZS

Demikian dari Pemamakan itu

demikian aku tak mampu pulang setelah lama pergi hingga
lupa pada asal di mana matahari dulu yang memberi warnanya
saat kutinggalkan halaman. rumput dan bunga-bunga yang mekar
begitu kusapa dengan segayung air dan senyuman, kini apakah
masih menunggu?

engkau tak bisa lagi beri kabar atas kepergian, karena sudah
jauh aku pada pintu rumah. jendela yang selalu kubuka tiap pagi,
apakah pula akan bisa terbuka lagi: grendelnya berkarat, juga
papan yang mulai hilang warna

di jalan aku selalu tak bisa lupa padamu. wajahmu, atap rumahmu,
pintu-pintu yang selalu kumasuki dan kutinggalkan
seakan melambai. seperti kepada pelayat yang menjauh
dari pemakaman itu. tak henti kehilangan rindu…


2009



Kita sama-sama Mengutuk

selesaikan saja segala lambai dengan ucapan kasih
atau segala kasih dengan ciuman. karena kenangan
sulit melampaui waktu-waktu di dunia ini: sebab usia
akan cepat tanggal, sedang kenangan akan seperti
tanah yang mengekal bersama bunga yang ditanamkan
dan diberi selapis air.

tapi bukan air yang telah membuatmu ada lalu menghirup
udara ini sebagai perjalanan bersama. di tempat ini sebab
kita sudah sama-sama mengutuk tiap berbau lumpur!

2009



Mungkin, dari Situ Gintung

sepagi ini kudengar jeritmu, sesubuh ini seperti gemuruh
dari bukit-bukit tanpa huni yang terban. entah siapa pula
yang dipanggil. entah berapa pula yang telah menyusul
selepas subuh, mungkin, sebab tak kutahu kapan
kau berlari bagai memburu angin dengan teriakan
yang tak kutahu pula akan sampai ataukah lesap

air itu begitu besar: memburu setiap yang lelap dan lengah,
mengejar yang lari ketakutan sambil mencari bebukitan
“tapi, di sini tiada lagi bebukitan. tak ada lagi perahu
yang pernah terdampar ditinggal nuh itu.”

kecuali waduk yang dipenuhi maut. air yang sudah lama
haus tapi kau tak pernah memberi tanda dan juga belaian,
maka sepagi ini ia memburumu. dan aku kehilangan
untuk sekian abad lamanya. mungkin…


30/3/2009

Tidak ada komentar: