13 Januari 2009

Selamat Datang Wisatawan

Oleh Isbedy Stiawan ZS


Momentum akbar di daerah ini, selain Pemilu 2009, ialah Visit Lampung Year 2009 (Tahun Kunjungan Wisata Lampung) yang telah diluncurkan Gubernur Lampung Syamsurya Ryacudu akhir Desember 2008. Harapan dan target dari Visit Lampung Year 2009 juga sudah digaungkan.

Kepala Dinas Budpar Lampung M. Natsir Ali menargetkan 1,2 juta wisatawan domestik (wisdom) dan 24 ribu wisatawan luar (Lampung Post, 24/8), 3 juta turis lokal-mancanegara (Lampost, 1/11), dan terakhir menargetkan (target waspada) 1,5 juta minimal 1 juta turis berkunjung ke Lampung (Lampost, 4/1/2009). Target itu tampak tak konsisten, atau karena bimbang? Anggaran untuk mensukseeskan kunjugan wisata Lampung tersebut sebesar Rp1,2 miliar.

Untuk mendukung kesuksesan Visit Lampung Year 2009 sejumlah hotel dan tempat hiburan serta bebagai kawasan strategis dimanfaatkan untuk promosi dengan bebagai spanduk atau banner. Hanya sayang, lanching Visit Lampung Year 2009 sebagaimana pemberitaan di media massa lebih terkesan bernuansaq basa-basi. Tampak kurang siapnya Pemda Lampung menggelontorkan program wisata 2009. Seorang karib yang terlibat mensukseskan Visit Lampung Yearr 2009 mengeluhkan minimnya anggaran promosi. Padahal, dunia pariwisata tidak akan bisa berjalan tanpa ditunjang oleh dana promosi.

Bali, sebagai daerah tujuuan wisata (DTW) paling besar dan sukses menyedot devisa dari pasar pariwisata, tidak akan lepas dari persiapan dana promosi yang besar pula. Media promosi dilakukan tak hanya cetak atau elektronik, melainkan website mauoun email. Kesuksesan dunia wisata Provinsi Bali sebab kesediaan fasilitas yang baik, kesiapan masyarakat yang ikut mendukung, serta pemerintah yang tak sekadar menjalani program (anggaran). Sehingga tiap wisatawan—terutama dari luar negeri—yang merasa terpuaskan, mereka akan mempromosikan kepada yang lain. Promosi dari mulut ke mulut dari wisatawan itu lebih cepat dipercaya, tinimbang promosi yang diterima melalui brosur atau media cetak dan elektronik.

Persoalan dunia wisata di Lampung tidak mungkin bisa disejajarkan dengan Bali yang jauh lebih dulu maju. Dengan wisata Jawa Barat saja sulit menandingi. Oleh sebab itu, perlu pengorbanan (dalam hal ini dana) yang tidak kecil di samping keseriusan pengelolaan dunia pariwisata Lampung, jika ingin memegtik buah dari Visit Lampung Year 2009.

Tampak dunia wisata cenderung latah. Hanya karena ada program dari pusat bernama Visit Indonesia Year 2009, daerah-daerah pun terjangkit demam visit. Sementara ukuran visit di daerah seperti Lampung yang andalan objek wisatanya minim serta pengelolaan yang sekadar, sulit rasanya mendulang wisatawan sebagaimana ditargetkan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung tersebut. Alih-alih turis mancanegara (wisman), merebut hati wisdom saja mungkin tak bisa tercapai.

Dengan tagline Lampung menjadi rumah kedua sejatinya menunjukkan daerah ini tak berdaya berhadapan (bersanding) dengan daerah-daerah lain yang lebih maju pariwisatanya. Sebagai “rumah kedua”, apa yang dapat diharapkan oleh wisatawan? Mereka—para wisatawan—lebih baik dan lebih menjanjikan kepuasan mengunjungi Bali, Yogyakarta, Jabar, Lombok, Sumatera Utara, Sumbar, atau Sumsel misalnya, ketimbang Lampung.

Banyak alasan bagi wisatawan tak singgah atau memilih Lampung. Di antaranya, objek wisata yang ada di Lampung bisa didapat di daerah-daerah lain; wisata tualang yang mestinya digarap dengan serius sudah disediakan oleh provinsi lain; kecerdikan gajah bermain bola sudah bukan lagi satu-satunya nilai jual daerah ini, pasalnya sejumlah daerah memiliki gajah—bahkan Bali konon kini mendatangkan gajah dari Sumatera! Lalu apa lagi yang hendak ditawarkan (dijual?) dari objek wisata di Lampung, dan rayuan apa yang akan dikemas pemerintah agar wisatawan mau menjadikan Lampung sebagai rumah kedua?

Berharap terlalu muluk pada dunia wisata dengan sarana dan fasilitas objek wisata yang belum terkelola secara profesional, rasanya hanya memperpanjang masa mimpi. Sementara pasar wisata di daerah-daerah lain sudah lama mimpi itu dihapus dan sedang behadapan dengan realitas, bahkan tengah memanen. Hal inilah barangkali yang tak pernah (belum) disadari. Kita hanya asyik dalam mimpi dan takut berhadapan dengan kenyataan.

Membangun kepercayaan wisatawan, butuh dana dan keseriusan kerja. Pasalnya, menjual objek wisata bukan hanya menaburkan brosur, memajang ratusan spanduk, atau menggelar festival yang juga asal berlangsung, maupun mendatangkan wisatawan mancanegara yang ternyata semu. Apakah kita sudah hitung ulang objek-objek wisata yang menjadi andalan sudah siap menerima kunjungan wisatawan (mancanegara/domestik). Bagaimana fasilitas transportasi dari dan menuju objek wisata?

Wisatawan—terutama mancanegara—mengapa memilih Bali walaupun transportasi pesawat terbilang mahal, sebabnya mereka mendapatkan apa yang diinginkan. Sadar wisata masyarakat Bali yang baik karena merasa dilibatkan bagi kemajuan pariwisata, salah satu pendukung sehingga para bule betah dan menjadikan Bali sebagai “rumah sendiri”—bukan rumah kedua seperti tagline pariwisata Lampung.

Objek pantai di Lampung, walaupun mungkin potensinya tak kalah menarik dengan wisata pantai di daerah lain, karena tidak dikelola profesional akibatnya tidak menjual. Wisatawan mancanegara lebih senang memilih wisata pantai di Bali, Lombok, Makasar—untuk menyebut beberapa objek wisata pantai, ketimbang menyeberangi Selat Sunda yang menyita waktu 6-7 jam apabila liwat darat dan hanya 1 jam jika menggunakan pesawat terbang; tapi tiket melalui udara tak berbeda banyak dengan tujuan daerah lain.

Oleh sebab itu, perlu pembenahan jika Provinsi Lampung ingin mengandalkan wisata pantai sebagai objek yang akan dijual dan menjual. Sejumlah wisata pantai yang membentang Lampung masih dikelola apa adanya dan sangat konvensional. Misalnya pantai Leguna Helau, Krakatoa Nirwana Resort, Pantai Bagus, Pasir Putih, Pantai Selaki, Canti, Pantai Wartawan, hingga Duta Wisata. Lempasing, atau pantai sepanjang Krui mendekati Bengkulu; terkesan kurang dikelola. Tidak eksotis, sebagaimana Kuta, Sanur, Lombok, maupun Makassar.

Apakah Visit Lampung Year 2009 mau menjual wisata tualang (avonturir)? Kaawasan mana lagi yang bisa disulap menjadi wisata yang penuh tantangan? Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) telah dijadikan hutan lindung, Pusat Latihan Gajah (PLG) WSaykambas sudah lama tidak terurus. Penghuninnya, bahkan, sudah dioper ke Batuputu. Gajah Lampung sudah tak lagi menjual dijaidkan ikon pariwisata.

Selain Festival Krakatau, Festival Begawi, Festival Waykambas, dan sejumlah festival di kabupaten/kota yang menjadi andalan, panitia Visit Lampung Year 2009 beharap Festival Durian Januari ini menjadi “maskot” pula. Tetapi, yang menjadi pertanyaan dipusatkan di mana Festival Durian? Di Wayhalim, Palapa, ataukah sekitar Tugu Diarian sepanjang Jalan Radin Imba Sukadanaham?

Pertanyaan lain, sejauh mana konsep sekaligus target dari Festival Durian 2009 dalam upaya menyedot turis berkunjung ke Lampung lantaran tergiur nikmatnya durian? Dan, kita harus jujur, Lampung bukan penghasil tunggal buah durian. Para pedagang, ketika ditanya, ia membeli durian acap dari Baturaja—selain duku. Karenanya, saya menganggap aneh kalau Festival Durian dijadikan program pendukung Visit Lampung Year 2009.

Lalu soal budaya, karena mungkin kesalahan dalam sistem penggalian dan pelestarian yang dilakukan pemda selama ini, kita pun kesulitan mendata kesenian dan kebudayaan (di daerah) Lampung yang masih hidup ataupun tak lagi dikenal. Saya kira, tinggal senibudaya yang masih dimiliki Lampung jadi andalan dan kalau mungkin “dijual” dalam pasar wisata menyambut Visit Lampung Year 2009.

Pemda Lampung mesti mencipta atau membangun kampung-kampung budaya demi melestarikan kesenian (dan kebudayaan) yang kemudian “dipasarkan” kepada wisatawan yang merindukan wisata eksotis, naturalis, dan kultural.

Kalau tidak, jangan berharap muluk-muluk bahwa Visit Lampung Year 2009 bisa memenuhi target 1,5 juta turis (lokal dan mancanegara) berkunjung ke daerah ini! *


-------
* sumber Lampung Post, Senin, 12 Januari 2009

Tidak ada komentar: