Selamat Tahun Baru
Cerpen Isbedy Stiawan ZS
Selamat tahun baru. Semoga hari-hari yang akan terbentang dan menantang, bisa dilalui dengan sukses!
Kata-kata itu kauucapkan dari seberang telepon. Senja tadi. Matahari kemerahan belum sempurna lenyap. Bias cahayanya jelas kulihat dari jendela rumahku. Aku harus mengatakan—tepatnya menjawab—apa untuk satu sapaan, yang mungkin tidak kuduga sebelumnya.
Ya! Ini hari adalah terakhir hitungan kalender masehi. Lembaran bertulis DESEMBER 2007 masih terpajang di dinding rumah. Sudah hampir menguning warnanya. Tepat pukul 00.00 almanak itu akan kuturunkan dan kupajang dengan kalender baru: 2008. Kini masih tertulis: Selamat Tahun Baru 2008.
Ah! Begitu cepatnya waktu. Begitu nisbinya hari dan tanggal. Tak ada yang kekal. Seperti itulah nasib usiaku. Ia berganti dan dicampakkan, sebagaimana lembar-lembar almanak. Usia yang usang, diganti oleh semangat baru. Barangkali akan gagal, cemas, ataupun berulang seperti lembar-lembar terdahulu. Tahun berganti, kalender pun diganti. Tidak pernah abadi. Sementara itu, usia terus berambah seiring tahun ditinggalkan, sejalan almanak diusangkan.
Benarkah kita harus mengucapkan “Selamat Tahun Baru” untuk meninggalkan tahun yang berlalu? Tak mungkinkah tetap kupajang kalender bertitimangsa lama, supaya tidak memasuki tahun yang baru yang masih misteri dan tantangan pun tak terbilang? Jangan sebut tahun baru, jika kau masih berhutang di tahun yang lama. Tak perlu mengucapkan “Selamat tinggal tahun lama” hanya untuk menghindari kegagalan dan kekecewaan.
Bencana dan cobaan rasanya belum cukup menghampiri kita di tahun sebelumnya. Untuk itulah, aku enggan—kalau bisa menolak—menerima dan memasuki tahun yang akan tiba. Cuma lantaran kodrat, takdir Illahi, suka atau tak suka mau ataupun tidak mau toh kalender yang lama mesti dicopot, kemudian dipajang yang baru: masih bersih serta huruf-huruf dan angka-angkanya masih jelas terbaca. Kita akan melaluinya. Harus merenanginya. Betapa pun nantinya akan berhadapan dengan lautan bergelombang, gunung menjulang, udara berdebu, angin beliung, badai, topan, tsnunami, gempa bumi, kebakaran hutan, pesawat jatuh, kapal tenggelam, serta beribu-ribu bencana lainnya. Seiring pula, barangkali saja, sukacita-sukacita yang kita terima.
Rencana apa yang sudah kaususun untuk menghadapi tahun depan?
Senja masih kemerahan. Tirus dan berish. Layaknya tubuh bayi yang menggoda untuk dibelai dan diciumi. Suaramu lembut dengan intonasi yang terjaga. Selalu saja aku tak berkeinginan untuk menjawabnya. Diam. Meski di dalam benakku, aku bertanya: pentingkah dengan tahun baru? Apakah tahun yang telah berlalu tidak penting?
Rencana? Aku tak punya renca-rencana untuk memasuki tahun baru. Apatah lagi sudah menyusunnya. Memplaning. Aku mengalir, seperti juga air yang akan mencari tempat rendah jika ia berada di bagian ketinggian. Sebagaimana arus yang mencari dampar di tepi. Kendati ia harus kembali ke dalam gelombang.
Aku juga tak memiliki strategi untuk menghadapi tahun baru. Ia bukan lawan di
Tak terbayang kita akan menghuni di alam ini. Bahkan untuk menolak pun, rasanya tidak pernah terpikirkan. Padahal, meski kita tahu: hidup hanya menunda kekalahan1) namun aku pun setia berlayar2) untuk membuktikan bahwa sebenarnya manusia ikhlas ditakdirkan sebagai makhluk yang menjaga semesta ini. Makhluk bernama manusia tak pernah menawar, misalnya, diciptakan sebagai gunung, laut, pohon, hewan, dan apa lagi? Ya! Jin. Ya! Iblis…
Begitulah. Akhirnya kalender diberi. Almanak ditulis. Waktu diciptakan. Siang dan malam diharuskan ada untuk mencatat pergantian hari. Tahun demi tahun dibuat. Usia pun disusutkan. Untuk apa?
Demi waktu, sesungguhnya manusia itu dalam keadaan merugi… kalam Tuhan telah mengingatkan manusia, bahwa ia ada dalam keadaan (selalu) merugi. Dalam kerugian yang amat besar. Lalu untuk apa kita hidup kalau harus merugi? Adakah pedagang tidak bermimpi untuk untung? Tiada perniagaan yang siap menanggung rugi. Tiada kehidupan dari manusia ini harus menerima kerugian. Kalam Tuhan yang menjurus ancaman sehingga harus menyatakan sumpah (“demi”) kepada masa—waktu—adalah keniscayaan yang harus dipikirkan.
Tapi, Tuhan amat pengasih. Ia menyayangi setiap ciptaanNya. Katamu di lain waktu, sebelum senja tadi. Tuhan tidak sertamerta mengancam dengan harus bersumpah seperti itu, jika tiada memberi harapan-harapan. Usulan-usulan yang konkret. Kalam Tuhan itu kemudian mengecualikan bagi orang-orang yang tunduk dan beramat soleh hanya selalu kepada-Nya.
Barangkali akukah? Yang dikecualikan…
*
AKU masih menatap lembar almanak terakhir yang dipajang di dinding rumah. Tatapanku tajam menujah angka terakhir di kalender itu. Hari Senin, tanggal 31 atau 21 Pahing, tahun 2007. Ya! Semestinya almanak itu punya keberartian yang istimewa. Tetapi, adakah hari istimewa dan punya arti? Semua hari istimewa, baik, dan berarti. Bukan begitu?
Kalender yang kupunya berwarna dasar putih, sementara angka-angkanya bercat hitam kecuali untuk hari-hari libur. Kukira sama dengan kalender yang dimilikmu. Jadi, tak ada yang lain. Tidak pula istimewa. Apa istimewanya kalender? Memang tak ada. Hari-harinyalah, tanggal, bulan, dan tahunlah yang membedakan. Apa pula yang membedakan? Benarkah ada perbedaan antara tahun 1958 dengan 1982, 2007 atau 2008 nanti? Atau tahun 1000 Hijriah dengan 1427 Hijriah? Di mana dan apakah perbedaannya? Sama-sama bernama tahun, bukan? Ya! Yang membedakan adalah setiap tahun berganti—betapapun atas nama tahun baru—maka usia kita tak akan pernah baru, melainkan semakin menua. Tahun berganti, rambut kita berubah (bukan berganti!): dari warna hitam menjadi putih alias uban.
Maka aku tak setuju, ketika tahun berganti secepatnya kau mengucapkan “Selamat tahun baru, semoga makin jaya dan sukses!” Memangnya kau bisa memprediksi nasib orang di tahun yang belum kita lalui? Aku juga selalu protes, setiap orang yang mengatakan “Selamat berulang tahun, semoga panjang umur dan dimurahkan rezeki.” Apakah setiap berulang tahun, menunjukkan usia kian panjang? Tidak. Justru setiap kita berulang tahun, usia pun bertambah dan pintu kematian kian dekat dijenguk.
Maka buanglah kecerobohan-kecerobohan itu. Jangan kau melawan takdir, setiap orang berulang tahun atau menjelang pergantian tahun. Mestinya di saat-saat seperti itu, kau dan aku melalukan introspeksi: mawas diri, muhasabah. Bolehlah menyambut tahun baru, tapi dengan merenung diri. Bukan hura-hura. Adakah bencana yang bertubi-tubi menyergap kita di tahun sebelumnya merupakan teguran halus Tuhan? Bukankah, kerusakan di bumi dan lautan karena ulah tangan manusia, seperti dinyatakan Tuhan?
Bahkan pula bencana jatuhnya pesawat atau tenggelamnya kapal di lautan, karena ulah tangan-tangan manusia. Human eror, katamu. Cobalah kalau teknisi pesawat atau para piliot konsisten dengan aturan, tentu akan mengendarai pesawat secara hati-hati. Kalaulah kapal laut tidak dijejali oleh penumpang dan barang melebihi kapasitas, tak akan tenggelam. Hanya saja, sifat manusia memang amatlah kemaruk alias serakah. Serakah jabatan, serakah terhadap uang, serakah dengan perempuan, harta, dan seterusnya. Tidak pernah merasa cukup dengan yang telah didapatnya sesuai dengan apa yang dilakukan dan dibutuhkan.
Orang yang baik akan banyak keinginan, tapi sedikit kebutuhannya (seperlunya). Artinya, ia akan membelanjakan sesuai dengan yang diperlukan. Karena itu, ia tak akan berprinsif besar pasak daripada tiang.
Ah, maaf. Aku kok sudah panjang sekali bicara soal ini? Seperti ingin menggurui, seakan mau mengkhotbahi kamu. Maaf, tiada niatku untuk sok bersih. Hatiku, padahal seperti katamu setahun lalu di sebuah lobi hotel saat menawarmu, bagai aki yang telah soak. Jiwaku kering laksana tanah yang mengalami kemarau panjang. Pikiran kotor layaknya kenalpot motor yang hitam. Pikiranku hanyalah soal jabatan, uang, dan perempuan. Berpikir hanya untuk hari ini maka habis berfoya, tanpa pernah berpikir tentang kehidupan lain setelah kehidupan yang semu di dunia ini. Suatu kehidupan yang sesungguhnya kekal—baik di surga maupun di neraka.
Eittt, kembali aku ke persoalan semula: berdakwah.
Selamat tahun baru, katamu setelah aku diam. Sebenarnya terpana. Aku harus menjawab apa atau merespon dengan ucapan apa, sewaktu kauucapkan itu. Senja tadi. Dari seberang telepon. Aku tak tahu, karena memang aku tak bisa melihat wajahmu dari pesawat HPku yang berharga murah ini, bagaimana ekspresimu ketika aku hanya bengong. Aku juga sempat menggeleng, tersenyum, dan lebih banyak menatap kosong langit senja yang keperakan di luar
Lalu, apa yang dibutuhkan manusia untuk melakukan perubahan. Pentingkah perubahan?
Penting sekali. Kecuali kalau kau ingin tetap berada di posisimu seperti hari-hari sebelumnya. Kau ingat hadits yang mengatakan: “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, hari yang akan datang harus lebih baik dari hari sekarang.” Kau masih ingat dengan hadist kanjeng Rasululllah yang pernah diajarkan guru ngaji kita di surau sewaktu kanak-kanak?
Aku ingat itu. Aku juga terkenang denganmu, anak santri paling begajul dan jahil. Sering mengganggu anak-anak perempuan, menarik hingga lepas kerudung mereka, atau menyembunyikan di dalam beduk. Aku pun tersenyum-senyum setiap mengenang kembali masa kanak seperti itu. Anak-anak yang begajul, jahil, dan sering membuat guru ngaji memecutkan rotan atau sapu lidi ke tubuh kita…
Ya! Aku menyadari sejenak lagi tahun baru berganti. Tahun yang lama ditanggalkan dan ditinggalkan (untuk kemudian dilupakan?). Mungkin saja akan dihapus dari benak kita. Bahkan yang manis sekalipun.
Hanya aku belum berani menatap tahun yang baru. Apatah lagi, untuk menitinya hari perhari:
“Hari ini aku berdarah. kapak hitam menakik almanakku./pecahlah rabuku mengalirlah pecahlah seninku mengalirlah pecah-/lah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah/darah mengalir dalam denyut debar…3)” aku menegaskan. Sebab aku harus masuk ke dalam almanak itu, lalu memasukinya hingga ke lekuk paling aduhai. Tubuh kalender itu yang bagai perempuan paling perawan, menggodaku untuk menggelutinya. Ahai, aku makin tergoda. Pecah rabuku mengalirlah, pecah jumatku wahai mengalirlah.
Lalu apa makna jumat, sabtu, minggu, senin, selasa, rabu, dan kamis? Apakah arti waktu demi waktu: 00--01. Aha, aku pernah jatuh cinta pada seorang perempuan. Kami bersepakat pada saat pukul
Ia seorang perempuan. Tak begitu cantik tak pula begitu buruk. Entah mengapa aku begitu menyukainya. Aku tergoda seperti waktu menggodaku untuk berlama-lama hidup dan mencintai waktu. Padahal aku meyakini bahwa waktu jua yang membuat kematian bagi seisi alam ini, lalu waktu kembali menghidupkan di alam
“Kau tak bisa menghindar. Kau pasti memasuki dan melampaui tahun baru, kawan…” ujarmu. “Kamu akan meniti setiap detik menit jam dari waktu yang berjalan. Kau akan, mau tidak mau meniti, memasuki hari ke hari: seperti dalam sebuah syair: kapak hitam menakik almanak.. pecahlah rabuku mengalirlah, pecahlah seninku mengalirlah, pecahlah selasaku mengalirlah pecahlah jumatku mengalirlah. Dan, kapu sesungguhnya sudah terkepung oleh waktu yang justru bukan kau ciptakan, tapi ia datang….”
Ya! aku pun kini menakik halaman pertama almanak. Dengan kapak Ibrahim. Ah, bukan. Melainkan dengan kapak Sutardji Calzoum Bachri4)—kapak yang telah dilumuri darah para pendosa, untuk menghancurkan berhala duniawi: pemuja waktu.
Dengan bismillah kubuka kalender yang kini terpajang di dinding rumahku. Kini terbaca bulan pertama, tanggal pertama, hari pertama, waktu pertama pada tahun yang baru: “Selamat tahun baru: 2008,” ucapku pelan antara optimis dan antipati. Entah mengapa, aku seperti tengah memasuki lorong yang panjang, lengang, dan kelam.
Tiba-tiba seluruh tubuhku bergetar. Gemetar…
Lampung, November 2007
1) adalah baris puisi Chairil Anwar
2) adalah baris puisi “Perjalanan Pelaut” Isbedy Stiawan ZS (1987)
3) baris puisi “Berdarah” Sutardji Calzoum Bachri dalam O Amuk Kapak
4) Sutardji Calzoum Bachri adalah penyair mantra Angkatan 70 (?) yang dijuluki “Presiden Penyair
Tidak ada komentar:
Posting Komentar