26 September 2008

Ibu, Kampung, dan Pulang


Cerpen Isbedy Stiawan ZS

KARENA ibu, aku punya kampung yang selalu menyadarkan aku untuk pulang. Jadi, ibarat pepatah setinggi dan sejauh bangau terbang akan kembali ke kubangan, maka sejauh-jauh aku merantau akan pulang ke kampung halaman. Di kampung aku dilahirkan, di kampung pula aku punya ibu.

Ibu hanyalah busur dan aku adalah anak panah yang melesat jauh. Meninggalkan kampung kelahiran, melepas ariari di dekat rumah. Itulah yang akan mengingatkan aku. Akan selalu mengusik kenanganku agar merindukan kampung. Mengangeni ibu. Ya, bukan bapak. Meski ia adalah kepala keluarga. Meski karena bapak yang menikahi ibu dan membenihi ke rahimnya, sehingga aku terlahir di dunia ini.

Sebab itu, tak mungkin aku akan mudik sekiranya ibu tiada mengingatkan aku. Jika ibu yang selalu membayang dalam angan dan kangenku. Betapa pun aku jauh, kini, merantau. Laut kuseberangi. Udara kuterbangi. Ya! Sejak 10 tahun aku menetap di Papua, sebab tugas yang tak mungkin kutolak.

Dan, 10 kali pula aku pulang ke kampung kelahiran. Sepuluh kali juga aku mencium tangan ibu, bersungkem di kedua pahanya. Bapak, mungkin mendendam iri melihatku begitu hormat dan menyayangi ibu, tetap tak bisa berbuat apa-apa. Memang sudah takdirnya, bapak hanya sumber namun ia bukan muara. Segala muara ada pada ibu.

Sebulan lalu ibu berkirim surat padaku. Ia sangat menginginkan aku pulang pada Idul Fitri. Dalam suratnya ibu mengharap agar aku pulang sepekan sebelum lebaran. Alasan ibu untuk menghindar kepdatan arus mudik dan itu bisa terhambat di perjalanan. “Kalau kamu pulang jauh-jauh hari apalagi tiket sudah kamu pesan sebelum puasa, selain harganya tidak mahal juga kamu tidak macet di jalan,” pesan ibu dalam surat yang ditulis tangannya. Tulisan yang amat sulit terbaca kecuali sudah faham sekali garis tangan ibu.

Aku membalas surat ibu. Kukatakan akan kuupayakan pulang pada lebaran nanti. Kataku lagi, tiket pesawat dari Papua ke Jakarta akan kupesan sepekan lagi. Soal memesan tiket bagiku tak ada masalah, kataku, sebab aku punya teman yang bekerja di bandara. Hanya yang masih menjadi soal, aku belum punya uang cukup. Gajiku tinggal sedikit karena terkuras saat istriku diponame karena kanker payudara.

“Ibu jangan khawatir, Anto berjanji akan pulang. Walaupun saat ini belum ada uang, karena habis untuk operasi Parni di rumah sakit. Mungkin aku pulang tidak membawanya, sebab berhitung ongkos. Anto berharap ibu tidak kecewa kan kalau Parni tak ikut serta?” tulisku lalu kututup dengan “hormat dan peluk kasih Anto dan Parni buat ibu dan bapak.”

Ibu pasti sangat gembira menerima balasan suratku. Apalagi adal kalimat Anto berjanji akan pulang. Janji itu akan dipegang selalu oleh ibu, dan ia akan terus menagih sekiranya aku tak jadi. Pada surat berikutnya, ibu kembali mengingatkan aku agar segera dan jangan sampai lupa memesan tiket pesawat.

Sepertinya aku anak kecil di matanya. Mesti diingatkan. Harus dikirimi surat agar aku tidak lupa membeli tiket jauh-jauh hari. Mungkin semua itu sebentuk kangen ibu, segaris panjang ungkapan kasihsayang dan cinta ibu kepadaku. Entahlah.

Ibu memang mengingatkan aku pada kampung halaman. Kampung di mana aku dilahirkan, diasuh, dan dibesarkan. Desa kecil jauh dari pusat kota di Kabupaten Tulangbawang (Lampung). Sebuah dusun—lebih tepat ketimbang kampung—yang dihuni para transmigran Jawa lalu berasimilasi dengan penduduk asli, dan ada yang kemudian menciptakan komunitas baru dari dua adat berbeda—dari suatu pernikahan.

Dari hasil asimilasi itu, hubungan kekerabatan menjadi karib dan saling membantu. Tidak pernah kudengar apatahlagi kurasakan terjadi pertikaian antarwarga beda suku. Tiada lagi sebutan “kamu pendatang dan kami penduduk asli” atau sebaliknya lalu meletup kerusuhan, seperti terjadi di daerah-daerah lain. Tak pula warga asli merasa punya hak hidup lebih dibanding para transmigran.

Seakan kami sepakat: tanah, air, dan hutan belantara adalah milik bersama. Karena itu secara bersama pula kami mengolah demi kehidupan kami dan turuntemurun. Tinggal lagi saling berbagi sesuai kebutuhan dan adil. Bertahun-tahun dan turun-temurun kehidupan bermasyarakat di kampung halamanku itu berjalan damai.

Sampai suatu ketika di kampung kelahiranku dipacak tonggak sebatas area yang tidak boleh diolah masyarakat. Ternyata beratus-ratus hektar tanah kami dicaplok pengusaha dari Jakarta. Konon para tauke itu dekat dan sekaligus merangkul keluarga Soeharto—sang presiden. Tanah yang dulunya bertahun-tahun kami olah sebagai hutan karet, palawija, ladang dan sawah padi, kelapa, kopi, cokelat, ataupun damar. Sertamerta dan sangat lekas telah berubah jadi ladang tebu. Dan, nun di pelosok sana pabrik besar dan megah siap mengolahnya jadi gula pasir. Maka rumah-rumah bedeng dan rumah-rumah yang cukup baik berdiri, menggantikan ladang berhektar-hektar milik masyarakat.

Semenjak itu kecemburuan sosial pun menyemayami diri penduduk. Dari pencaplokan lahan yang hanya dibayar murah, ditambah pula hanya segelintir penduduk di kampung kelahiranku bisa dipekerjakan di pabrik gula itu dan yang lainnya dibiarkan menganggur tanpa garapan ladang. Akhirnya kalau tidak menjadi preman kampung, tentu mengais nafkah di kota.

Syukurlah aku dari keluarga berpenghasilan lumayan: bapak adalah guru di SD negeri dan PNS, sedangkan ibu membuka warung kecil di depan rumah setelah ladang kopinya dibeli murah untuk pabrik tersebut. Karena itulah aku bisa melanjutkan sekolah di teknik listrik di kota provinsi. Selesai dari skolah teknik menengah aku kuliah dan lulus sebagai sarjana teknik listrik. Ijazah sasrjana itulah yang mengantarkan aku bekerja di PLN Papua ini.

Tentang kampung kelahiranku akhirnya tak banyak kuketahui. Berbagai masah buntut dari hadirnya pabrik gula itu memicu penyerbuan warga asli di kampung itu sampai menelan korban tewas dan luka-luka, tak banyak yang sampai ke telingaku. Apa lagi sengaja tidak sampai beritanya ke media cetak dan elektronik. Soal demo minta ganti rugi yang layak hingga kerusuhan di lahan pabrik gula tersebut tidak banyak terdengar di kota provinsi. Itulah kelicikan pemilik modal. Mereka bisa menyumbat setiap lubang pemberitaan.

Kini, karena ibu aku masih ingat dan ingin mudik. Aku rindu sekali menikmati alam kampung halamanku. Sebab, bila mengenang-ngenang betapa sakitnya keluargaku saat lahan kami disabot pemilik pabrik gula, tak akan mungkin aku selalu punya kerinduan untuk pulang. Setidaknya dalam pulang, aku bisa menyaksikan lambaian pucuk pohon tebu manakala diterpa angin. Aku juga menikmati tangan-tangan yang cekatan para buruh ladang tebu saat memanen dan menanam tebu. Para buruh itu—baik lelaki ataupun perempuan—bagaikan para buldoser yang membabat belantara. Tahukah bahwa para buruh tebu tersebut hanya sedikit bekas pemilik tanah?

*

IBU tak perlu cemas. Aku sudah memesan tiket pesawat dari Papua ke Jakarta. Suatu perjalanan udara yang sejatinya melelahkan juga. Pesawat akan tack off dari Papua dan transit di Timika dan kemudian menuju Bandara Hasanudin di Ujungpandang. Beberapa menit setelah transit lalu mengudara lagi ke Cengkareng. Dari Bandara Soekarno-Hatta aku bisa menggunakan travel atau menggunakan bis ke Gambir, dan malam harinya aku gunakan bis Damri lagi ke Bakauheni. Ah! Aku benar-benar melalui perjalanan udara, darat, laut, dan kembali darat.

Selat Sunda akan ditempuh kapal fery selama 3 jam—itu jika cuaca dan gelombang dalam keadaan baik—akan kunikmati penyeberangan laut dengan kenikmatan tiada tara. Meski hal ini bukan pertama kali kulakukan, tapi mengapa setiap menikmati perjalanan laut sererasa aku memang keturunan dari nenekmoyang pelaut! Tatkala kapal fery membelah laut, seakan lagu Nenekmoyangku Seorang Pelaut mengalun dalam getar bibirku.

“Kau boleh berbangga sebagai anak pelaut. Kau boleh merasa kaya memiliki banyak laut dan pulau. Tetapi, kalian tak berkutik tatkala beberapa pulau milik negaramu dicuri Singapura dan Malaysia!” sindir Mark Clain, temanku berkewarganegaraan Amerika. Ia bekerja di Preford.

“Tapi aku tetap akan bangga, karena negara kami tidak pernah mencuri milik negara lain!” balasku. Sengaja intonasi suaraku ditekan dan sedikit kencang. Semoga saja, temanku orang Amerika itu juga tersindir oleh perkataanku. Kau tahu, preford atau Caltex dan entah apa lagi namanya, adalah milik Amerika yang menguras kekayaan Indonesia.

Cuma Mark Clain tak mersepon lagi. Ia hanya tersenyum. Kurasakan senyumnya sangatlah kecut. Mungkin itu yang membuat suaranya tercekat. Namun pertemanan kami tidak terganggu. Ia masih sering meneleponku. Kadang mengajakku menghabiskan malam minggu jika ia ke Papua untuk berlibur. Clain juga kenal baik dnegan Parni, istriku.

Yuskar, temanku yang mengepalai PLTD tampak tak menyukai Clain. Terasa sekali ketaksukaannya ia tunjukkan, misalnya, tak pernah menatap lama Clain saat mengobrol. Atau mengajak bicara dan bercanda. Yuskar benar-benar kaku saat berhadapan dengan Clain. Bujang tua itu memang selalu kaku dan menunjukkan wajah masam. Mungkin itu pula menyebabkan ia belum juga berkeliarga?

Istriku punya olok-olok khas buat Yuskar. Kalau ada bujang kaya dan punya jabatan, tapi belum pula bisa menundukkan perempuan belumlah ia pantas disebut lelaki. Belantara Papua bisa bertekuk lutut padamu, tapi mengapa kau tak bisa juga menundukkan hati perempuan? Istriku pernah menawarkan pada Yuskar seorang perempuan asli Lampung dan mantan pacarku sewaktu bekerja di Bandarlampung, tetapi bukannya Yuskar yang enggan melainkan sang muli1) langsung menyahut: “Maaf aku tak tertarik. Lagipula aku sudah punya dan kami siap menikah.”

Istriku masih merayu Angti, apa salahnya berkawan dulu—taaruf—nanti kalau ada kecocokan bisa berlanjut. Kenapa tidak? Angti—gadis asli Lampung itu—semakin berkelit apalagi setelah melihat tubuh tambun Yuskar yang dikirim melalui email: “Terima kasih tawarannya. Tetapi, aku ingin setia pada calon suamiku. Bagaimana kalau mbak melihat kak Mamat tak setia?”

Istriku tertampar. Ia pun tak lagi berani menjodohkan Yuskar pada Angti. Yuskar juga tak lagi mengirim kabar melalui short massage service dan email, walau pada hari ulang tahun Angti ia mengirim jam tangan bermerek dan dompet yang juga berlabel mahal.

Yuskar tetap membujang. Sebab ibu dan bapaknya sudah tiada lagi di dunia, ia pun seperti kehilangan peta untuk kampung kelahiran. Selama 5 tahun terakhir ia tak lagi mudik ke Bone, kampung halamannya. Ia berlebaran di kota Papua atau kerap bersama temannya yang bekerja di pengebotran minyak lepas pantai, menghabiskan hari libur Idul Fitri di pengeboran minyak.

Sedangkan aku akan mudik. Sebab dengan pulang aku akan berjumpa ibu. Jika aku bertemu ibu, ingatanku pada kampung kelahiranku makin mejadi-jadi. Aku begitu yakin, tanpa adanya Bakung—dusun yang menyabut kelahiranku—dalam peta dunia tak akan ada aku, barangkali. Dan setiap menginjakkan kaki di tanah Bakung, aku serasa bangau yang jauh dan tinggi terbang kembali ke kubangan pula.

Maka izinkan aku ibu, selalu mengingatmu. Berikan aku ingatan untuk selalu rindu padamu, perempuan perkasa yang telah melahirkan aku ke dunia ini. Makin kurindu kau ibu, kian karib aku pada kampung halaman. Dengan kampung kelahiran, aku mudik. Mengenal kata pulang. Setiap pulang maka kesadaranku pada pergi tak bisa kuelakkan, meski kepergian berarti perhi dan menakutkan.

“Ibu, aku sudah sampai di depan pintu rumah,” teriakku setelah berkali-kali kuketuk pintu. Tiada jawaban. Aku mulai dirasuki perasaan gelisah. Jantungku kencang berdetak.

“Bapak….”

Lelaki tua, bapakku, menyeret sendalnya mendekati pintu. “Kau sudah sampai nak? Masuklah.”

“Mana ibu, pak?”

“Dua hari lalu…”

Aku tahu ke mana arah bicara bapak. Apalagi suara bapak segera tercekat. Kelopak matanya basah. Aku tak punya alasan menyalahkan bapak mengapa tak secepatnya mengabarkan padaku, sebab mudikku sudah terjadwal di dalam tiket penerbanganku: 23 September 2008. Tak mungkin dimajukan. Ya. Aku tak bisa memandikan dan mengantar ibu ke peristirahatan terakhirnya. Pantaslah ibu memaksaku berkali-kali agar aku segera memesan tiket dan sampai di rumah jangan mepet Idul Fitri. Ibu menginginkan sekali aku segera mudik, tapi ibu lebih dulu pulang ke haribaan Allah.

Lamban panggung2) layaknya perahu kecil di tengah lautan, ketika aku menyeret kakikku…

Lampung, 2008



1) sang gadis (bahasa Lampung)

2) rumah panggung (bahasa Lampung), rumah khas orang Lampung

Tidak ada komentar: