Cerpen Isbedy Stiawan ZS
SEBUAH lagu yang dinyanyikan Franky dan Jane “dengan kereta malam/ku pulang sendiri…” mengalun dari sejumlah pengeras suara yang terpasang di stasiun ini. Lelaki muda itu terkantuk-kantuk duduk di kursi panjang. Sudah sejak pukul 18.15 tadi dan sudah berbatang-batang rokok filter kesukaannya menjadi puntung yang lumat diinjak sendalnya.
Apalagi saat musim arus mudik seperti sekarang. Jangan bermimpi—apalagi mengharap—kau bisa tiba di tujuan sebagaimana telah kau jadwalkan. Dari antre yang tetap semrawut di terminal, stasiun,.di airport, dan pelabuhan. Lalu kenderaan yang menyemut di jalan, dan seterusnya.
Lelaki itu menahan kesalnya. Ia mengambil lagi sebatang rokok kemudian membakarnya. Menghisap dan memuntahkan asapnya. Bagai sepur berlokomotif bara, asap yang megepul ke udara laksana dimuntahkan dari cerobong lokomotif non-diesel.
Selewat enam jam kereta yang ditunggu terlambat.
Seseorang menegurnya, meminjam korek api. Setelah itu mencoba membunuh keheningan dengan satu sapaan: “
Lelaki itu tersenyum. Mengangguk. “Bukan
“Siapa yang ditunggu? Ibu?”
Menggeleng. “Istri,” jawabnya pendek. “Mas sendiri?”
“Mau berangkat. Tapi kereta dari staisun selatan belum juga tiba, jadi belum bisa diberangkatkan. Terlambat juga,” jawab lelaki yang memulai percakapan. “O ya, kalau saya boleh saya tahu, nama mas siapa? Kalau saya Edi.”
“Danang,” katanya dingin.
“Oke Danang, menunggu itu memang rasanya paling membosankan.”
“Keberangkatan juga, kalau terlambat seperti ini, juga menjemukan.”
Ya! Keduanya lalu terdiam. Edi menyodorkan rokok, Danang menggeleng. Tetapi ketika Edi kembali meminjam korek api, Danang memberi setelah menghidupkan rokoknya yang terselip di bibirnya.
“Kau perokok kuat?”
“Semenjak kelas 1 SMP sudah merokok.”
“Wow, pecandu,” Edi berkomentar. “Kalau saya baru-baru ini saja jadi perokok. Awalnya cuma iseng karena membujang di bedeng tempat kerja.”
“Kerja di mana?”
“Pabrik makanan kaleng.”
Tanpa harus menjelaskan, Danang faham kalau lelaki yang dijumpainya di stasiun itu adalah buruh di pabrik dan kini akan berlibur. Sepetti juga istrinya yang berlibur sebagai tenaga kerja wanita (TKW)
Ah, Danang membayangkan betapa rindunya ia pada Ratih. Semenjak dari rumah tadi ia membayangkan bau tubuh istrinya itu. Ia mencoba mengingat-ingat aroma peluh Ratih pada saat kelewat banyak bekerja. Bau keringat yang dulu sangat akrab di tubir penciumannya. Kini ia tengak. Tak mampu sekadar mengingat bau keingat tubuh istrinya.
“Kereta yang ditunggu tiba,” Edi memecahkan keheningan. Alarm ketibaan kereta dari pengeras suara terdengar nyaring, seiring suara petugas yang mengingatkan penjemput dan penumpang agar tidak mendekat lintasan kereta.
Danang berdiri. Meski wajahnya masih telihat kuyu. Sudah tujuh jam ia menunggu kereta yang membawa istrinya tiba. Dan, berulang ia mendongak ke setiap jendela gerbong. Ratih belum juga ia kenali.
“Bagaimana mas, sudah ketemu istri?”
Danang menggeleng.
“Mungkin di gerbong paling belakang.”
“Saya sudah ke
“Mungkin istri mas tak naik kereta ini, tapi dengan kereta malam….”
“Kalau kereta malam, jam berapa tiba di sini?” tanyanya. Kemudian segera ia sergap, “Tapi tak mungkin, karena istri saya kemarin menelepon akan berangkat dengan kareta siang dan tiba di stasiun ini pukul 18.30.”
“Bisa saja renacana berubah
Danang mengangguk. Tersenyum sekilas. Ia bergeas kembali ke gerbong belakang, tak jumpa. Ia berkelebat ke bagian depan, mempercepat langkah, menghindar setiap hendak bertabrakan. Hatinya galau bercampur riuh para penjemput dan penumpang.
Dan, hup! Ekor matanya menangkap sekelebat tubuh baru turun dari lokomotif. Itu dia! Ia membatin. Tetapi, mengapa Ratih menumpang di lokomotif? Ah, persetan. Apakah istrinya naik di gerbong paling belakang, di depan pintu, dekat toilet, resto, apalagi di lokomotif. Apatah lagi di saat musim mudik sekarang? Kini Ratih sudah selamat tiba, dengan kereta yang terlambat sampai.
Ratih tertatih melangkah. Tampak sekali letih. Danang melambaikan kedua tangannya. Ratih tak acuh. Mungkin ia belum melihat dirinya. Segera ia percepet langkahnya, menepuk bahu istrinya dari belakang. Ratih menoleh. Terkesima. Mungkin heran melihat penampilan suaminya kini. Rambutnya panjang sebahu. Berkumis dan bulu memenuhi dagu dan cambang tebal.
“Kenapa kau berpenampilan begini, mas?” Ratih heran, suaranya pelan karena keletihan.
“Nanti saja di rumah, akan banyak kau dapatkan cerita dariku,” jawab Danang sambil menarik koper yang dijinjing istrinya.
“Tas yang ini mas bawa juga ya? Aku capek.”
Danang mengambil satu tas lagi yang baru saja diletakkan istrinya. Keluar dari stasiun yang telah memerangkapnya selama 7 jam lebih, stasiun yang telah membuatnya sangat jengah dan tengak.
Tanpa menawar lebih dulu, ia naikkan barang-barang yang dibawa istrinya ke taksi gelap. Ke Karang Anyar, kampungnya.
*
RATIH seolah tak sanggup menyetop air yang mengalir dari kedua bola matanya. Matanya sembab, sebab semalaman hanya bisa menangis. Kalau dapat ditampung mungkin sudah segayung airmatanya, kalau disumpal dengan baju barangkali seluruh kain itu sudah basah semua.
“Maafkan aku, Ratih,” hanya itu, dan berulang-ulang Danang mengucapkan kalimat itu; semenjak semalam istrinya tiba di rumah. “Aku tak mampu menahan hidup sendiri, setelah dua tahun kau tinggalkan aku…”
“Tapi, aku
“Aku memang salah, Ratih. Maafkan aku…”
Ratih sudah kehabisan kata-kata. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Ibarat bubur sudah tak mungkin lagi diberi ke seekor anjing walaupun basi. Danang, suaminya yang ia sangka pasti akan setia, ternyata beristri lagi saat ia bekerja mati-matian di luar negeri. Seorang anak berusia 2 tahun sebentar lagi menemuinya dan akan memanggilnya “ibu”.
Hanya kini yang ada di benaknya, usai Idul Fitri segera ia kembali ke Kedah. Mungkin untuk lama menetap, sebab pulang bagi seorang perantau adalah melebur kerinduan. Sedang perkawinannya dengan Danang belum dikaruniai anak, jadi tiada yang selalu melambai baginya untuk ingat pulang.
Lampung, 5 September 2008
sdh dikirim ke Tribun Jabar, 6 Sept 2008 pkl 23.00
Tidak ada komentar:
Posting Komentar