26 September 2008

Menunggu Lamaran

Cerpen Isbedy Stiawan ZS

Setiap keinginan pulang menyeret langkahnya, selalu itu pula wajah ibu yang berharap ia datang bersama seorang pria: “Ini calon suamiku, ibu.” Tetapi sudah berkali-kali ia pulang—sebab ia sudah bekerja di Surabaya—tak juga ditemani seorang pria. Jangankan kekasih, apalagi calon suami yang akan melamar pada ibunya.

Ia maklum. Ibu sudah tua dan anak gadis terakhir yang belum berkeluarga. Ketiga kakaknya perempuan sudah berkeluarga dan bahkan sudah dikarunia beberapa anak, sementara satu-satunya kakak lelaki sudah menikahi perempuan Jawa dan menetap di Purwokerto meskipun tahun 12 rumah tangganya belum juga mendapat momongan.

Sebagai gadis berdarah Lampung—orang Lampung menyebut muli—memang “berharga” tinggi jika dilamar secara adat. Ada kelipatan-kelipatan. “Niku muli sikep1) mesti dilamar lelaki dari keluarga bukan sembarang,” kata ibu beberapa tahun lalu, manakala ia masih berusia 22 tahun. “Siapa kekasihmu, apa dia siap melamarmu 45 juta ke ibu,” imbuh ibu, entah serius atau bercanda.

Mendengar “harga bagi dirinya” yang yang keliwat mahal itu, ingin rasanya ia meledakkan tawanya. Apakah di zaman yang sudah demikian global, masih ada orang yang masih berkeras mempertahankan adat yang cenderung menyulitkan? Apakah adat lebih tinggi dari agama? Ia membatin.

“Tapi ini adat Sarah? Kita tak bisa jalani hidup ini tanpa bersandar pada adat, jika kau ingin selamat. Adat adalah alamat bagi kita kembali,” kata ibu menasihatinya. “Adat kita memang perempuan harus dilamar. Dan bergengsi atau tidaknya seorang muli Lampung dari besar atau kecilnya ia dilamar,” ibu menambahkan.

Ayah tak mengeluarkan kata-kata. Sebagai orang yang bukan berdarah Lampung dan tiada dikenai adat sewaktu melamar ibu lantaran sebagai perantau di Lampung ia tak bersaudara dan tak berpunya harta, sehingga ia tak terlalu faham soal adat. Meski begitu, ayah selalu mendukung setiap kata yang keluar dari bibir ibu.Itulah yang membuat kami, anak-anaknya, selalu menilai ayah sebagai lelaki tak punya khuluk. Ibarat pucuk pohon, ia mengikut ke mana angin menerpa.

“Aku mengerti ibu, adat tak boleh hilang karena itu harus lekang oleh terpaan zaman. Namun, harga yang patok bagi diriku sangat tidak logis. Keluarga kita akan ditertawakan orang, dan aku akan jadi perawan tua,” jawabnya hati-hati, khawatir ibunya akan tersinggung.

Ia punya pengalaman pahit. Sewaktu ia sangat mencintai dan pemuda itu juga mencintainya, tapi akhirnya berantakan di tengah jalan. Pemuda bersuku Makasar itu tak mungkin melamarnya ketika ia mengatakan, “Ibuku meminta lamaran 45 juta, apa kau sanggup?”

Jawaban yang didengar sangat menyakitkan. “Kalau 45 juta aku bisa mendapatkan 7 gadis Jawa dalam sekali pernikahan!” kata pemuda itu sambil tertawa. Waktu itu ia menganggap hanya bercanda, tapi setelah tiada kabar sibuk pada pekerjaannya di Gorontalo barulah ia mahfum kalau hubungan cintanya telah selesai.

Ia berat pada keluarga. Kalau tak, bisa saja ia sebambangan (kawin lari). Ia cukup meninggalkan selembar surat yang menjelaskan kepergiannya karena dilarikan atas kesepakatan bersama ke rumah keluarga kekasih. Sehingga orang tua perempuan tidak gundah. Kemudian beberapa orang yang diutus keluarga pria akan mendatangi keluarga perempuan selain menjelaskan keberadaan perempuan juga meminta restu atau persetujuan wa.li untuk dinikahkan. Sebambangan tak harus lagi ada uang lamaran yang mengikat, namun soal mahar tetap berlaku. Cuma itu tak dilakukannya. Ia lebih berat memilih keluarga ketimbang mengikuti rasa cintanya.

Sejak itu ia enggan pulang walau di saat Idul Fitri. Ia siapkan bebagai alasan yang setiap tahunnya tak akan pernah habis dan usang, demi untuk tidak mudik. Ibu memang tetap sabar dengan meneleponnya agar ia pulang. “Kamu sudah dua lebaran tak pulang, ibu kangen. Kakak-kakakmu selalu menanyakan keberadaanmu, jadi ibu sudah tak punya alasan lagi,” kata ibu dalam telepon Idul Fitri tahun lalu.

Kalau kini ia pulang bahkan larut dalam antrean dan desak-desakkan dengan para pemudik lain, semata karena rindu pada wajah ibu. Itu sebabnya sejak ia tinggalkan rumah yang dibelinya dari gaji dan ditempati sendiri itu, sudah ia tepis ucapan ibu yang sudah sangat basi itu: “Apa sudah dapat calon suami yang cocok? Dia mau melamarmu 45 juta?”

Ia segera menepis. Benaknya harus bersih dari ihwal yang membuat ia selalu urung pulang. Ibu harus tahu kalau aku siap menjadi perwan tua, jika adat lamaran maish ia pertahankan.

“Ibu kira wajar, ibu mana yang membiarkan anak gadisnya dinikahi orang yang tak jelas berapa ia punya harta? Itulah adat untuk menerka, itu pula adat demi mengangkat harkat dan martabat muli di hadapan lelaki!” ibu masih pada pendiriannya. Ibu sepertinya tak bisa hidup tanpa dipandu oleh adat, tetapi ibu lupa kita ayah menikahinya tidak melalui proses adat yang cenderung menghambat.

“Maka itu ibu tak mau terulang pada anak-anak ibu, terutama padamu Sarah,” kini suara ibu pelan dan bergetar. “Karena ibu hanya bersandar pada cinta saat dinikahi ayahmu, ibu cuai pada adat. Memang kami bisa menikah, namun ibu terusir dan tak diakui oleh keluarga besar. Bertahun-tahun ibu hidup tanpa menjenguk dan didatangi keluarga, kami pun berpindah-pindah tempat tinggal. Untunglah ayahmu ligat dalam urusan bekerja, sehingga kehidupan kami cepat naik. Kau tahu orang bisa kembali dihargai, salah satunya karena berharta juga.”

Setiap kalimat yang meluncur seakan ia menatap lekat ibu mencibir. Dan, memang setiap keluarga ibu akan dilamar, ibu akan selalu ingin tahu berapa besar lamaran dan apa maharnya. Jika diketahui kecil, ibu acap tak datang saat pernikahan berlangsung.

Kenyataan itulah yang membuatnya bimbang setiap lelaki bertandang. Belum pula pemuda yang datang menyatakan cinta, bayangan besar lamaran yang diajukan ibu selalu mengganggu pikirannya. Maka ia selalu hambar pada setiap lelaki. Ia juga tak bisa mengabaikan keluarga, sebab ia percaya bahwa setiap perantau dalam kehidupan yang global ini pun, tiyuh2), ibu, keluarga tak akan dapat dilupakan. Ia akan mengiringi setiap langkah perantau.

Dan ia masih akan selalu ingat pribahasa yang mengatakan “setinggi-tinggi bangau akan terbang, ia akan pulang ke kubangan pula”, jadi tidak mungkin ia akan melupakan tiyuh, ibu, dan keluarga. Ia akan ke pangkuan mula ia melangkah. “Biarpun aku belum punya kekasih, apa lagi calon suami.”

“Berapa usiamu kini Sarah?” ibu tiba-tiba bertanya jelang berbuka puasa sore ini, setelah beberapa jam ia tiba. Apakah ibu lupa atau pura-pura lupa tentang usia anaknya sendiri? “Berapa?” ibu mengulang.

“Dua pulah enam tahun lebih dua bulan, ibu,” jawabnya santai. “Belum begitu mengkhawatirkan.”

Ibu mendelikkan matanya. Ayah hanya mengernyitkan dahi.

“Seharusnya kau sudah bawa momongan,” ibu mendesis.

“Kalau aku punya suami dari keluarga tak berharta, tapi….”

“Jangan menyindir ibu, sepertinya kau ingin menyudutkan ibu ya Sarah?” mata ibu terbuka, wajahnya tampa memerah. Ayah mulai tak elok di tempat duduk.

“Aku tidak menyindir, tak pula hendak menyudutkan ibu,” jawabnya seraya menundukkan pandangan. “Kenyataannya, aku memang belum punya kekasih. Belum mampu membahagiakan dengan membawa pria menghadap ibu dan ayah agar melamarku. Dengan uang lamaran empat…”

“Sudahlah Sarah, jangan ulangi lagi kata-katamu itu,” ibu mengingatkan. Sarah mengatup bibirnya rapat-rapat. “Mungkin ibu salah, barangkali sudah nasibmu di usia 26 tahun kau belum juga berkeluarga. Sekiranya…”

Kini giliran Sarah memelas. Duka amat tinggi bersemayam di hatinya. Sampai kini pun ia belum mampu membawakan menantu yang dapat meluluskan harapan ibu.

“Tapi bu, memang Sarah…”

“Kau tak salah. Ibu terlalu banyak meminta darimu, akibatnya kau belum juga dilamar. Kau hidup sendiri di kota besar, mungkin akan menjadi muli toho3) dan lapuk dimakan umur. Ibu tak mau melihat nasibmu seperti itu, tak rela meninggalkanmu dalam hidup sendiri. Kamu harus segera menikah, terpenting calon suamimu mau bertanggung jawab dan setia.”

“Aku belum ada pilihan sekarang. Lagipula aku masih kerasan hidup tanpa bertanggung jawab pada suami dan anak. Di kota besar keruwetan hidup saja banyak, aku tak mau lagi disibukkan hal-hal yang menggunung di dalam rumah tangga,” ujarnya. Sepertinya ia kini menemukan suatu keberanian untuk tidak bergantung pada rumah tangga.

“Sarah, berkeluarga itu adalah pilihan yang tak bisa kita tolak. Itu fitrah manusia yang ditakdirkan sebagai peramai bumi ini,” ibu berpesan.

“Cuma bumi ini keliwat ramai, sudah sangat sumpek. Sehingga untuk mendapatkan rezeki yang tak seberapa pun, kita harus sikut-sikut dan mencuri,” tukasnya ringan.

“Kau ngomong apa?” suara ibu berat dan agak keras. “Katakan pada ibu kapanpun sekiranya kau sudah ada pilihan calon suami, ayahmu akan menikahimu,” lanjut ibu setelah itu menuju ruang tengah.

“Tanpa pakai adat lamaran kan, bu?”

Ibu tak lagi mendengar. Ayah tersenyum.

*

Dua kali Idul Fitri tak mudik, keluarga besar ibu dan tetangga berdatangan hanya ingin melihat serta menanyakan kabarnya. Sarah cuma tersenyum dan menjawab apa adanya setiap pernyataan tentang kebarnya di perantauan. Ada tetang atau keluarganya yang mengharap kesediaannya mau membawa anak gadisnya bekerja di kota besar, tapi ada pula yang tak segan meminta oleh-oleh untuk lebaran.

Beberapa lembar amplop berisi uang sudah ia sebar untuk keluarga dan tetangga-tetangga dekat. Juga oleh-oleh pakaian, kue, dan aksesoris saat lebaran pun sudah dibagikan. Mungkin hanya sebagian tetangga yang tak kebagian, karena ia terlambat datang dan barangnya sudah habis.

Sejak pulang dari salat Idul Fitri, ia tak henti menyalami dan menyiapkan minuman. Terasa letih sekali. Tetapi ia selalu tunjukkan bahwa ia tetap segar.

“Orang kota selalu bugar ya? Seperti Sarah ini. Padahal, berapa usiamu?” tanya Menak4) Sangaji sembari menguar senyum.

“Iya ya menak, coba kalau Sarah masih tinggal di kampung pasti badannya sudah layu seperti ibu-ibu di sini. Ngedoyot,” sergap Batin5) Halimah.

“Ah, bisa saja. Umurku sekarang sudah 26 tahun lebih kok,” jawabnya santai. “Memangnya kenapa Menak? Mau menjodohkan aku dengan…”

“Hust. Kalau menak punya anak menganai6) tak sanggup pula melamarmu hehehee,” ujar Menak Sangaji tertawa hingga gigi-gigi depannya yang berlapis emas seperti sengaja dipamer. “Masih kan ibumu menjualmu 45 juta?”

“Ibu tak menjualku, Menak!” Sarah tersinggung. “Tapi adat yang sudah berabad-abad orang kampung ini sengaja memualiakannya, karena menganggap setiap adat adalah warisan paling luhur!” lanjutnya. Sengaja suaranya ditinggikan agar keluarganya dan seluruh tiyuh yang masih bangga mewariskan adat yang sebenarnya banyak yang tak lagi berdaya di hadapan zaman yang cepat berubah ini.

Ia ingin mengatakan sesungguhnya adat atau tradisi yang akan menghambat, tak tertulah untuk ditinggalkan. Apatah lagi adat itu akan berlawanan dengan hukum agama, mestinya sudah harus dilupakan. Hanya ia tak seberani dengan keinginannya. Jika ia lakukan alamat akan dikucilkan, kalau tidak bakal diusir dari tiyuh.

“Maaf Sarah, maaf. Maksud menak ini, apakah lamaran untukmu masih 45 juta seperti ibumu selalu katakan,” Menak Sangaji berkata sekaligius hendak meralat. “Sebab bagaimana pun kau adalah naken7) Menak: baikmu adalah baik menak, sialmu adalah sialku juga. Ibarat pepatah, anak digendong kemenakan dipangku.”

Sarah mengangguk. “Ya menak, Sarah faham.”

“Baiklah kalau begitu,” ujar Menak Sangaji kemudian. “Menak selalu berdoa semoga kau cepat berjodoh. Selekasnya dilamar. Sebab, kata orang tua, sukses anak gadis adalah ketika ia menerima lamaran untuk dinikahi. Bukan berapa kekayaan yang dimiliki…”

Ah, kekayaan lagi yang selalu saja jadi ukuran. Sarah membatin. Setiap mendengar kata-kata itu, perutnya terasa mual dan ingin segera ia muntahkan. Cuma yang bisa ia lakukan saat ini menatap tajam wajah Menak Sangaji. Ia tak peduli tafsir apa lagi yang berkecamuk di pikiran pamannya itu.

Ibu datang, suasana pun mencair.

“Dimakanan legitnya,” ujar ibu menawarkan kue legit8) pada tamu. “Biarpun Sarah sudah lama tinggal di kota besar, rupanya masih bisa buat legit. Cobalah cicipi, rasanya lezat,” sambung ibu sambil mencicip selapis legit. “Jadi tak rugi kalau memperistri Sarah,” masih kata ibu, tapi kali ini dibarengi derai tawa yang sudah menjadi khasnya jika riang.

“Bisa saja batin kalau sedang mempromisikan Sarah,” celetuk Batin Halimah. “Sudah rindu sekali menerima lamaran.”

“Menunggu,” ibu cepat-ecpat membenarkan. “Tapi, semuanya aku serahkan pada Sarah. Karena dia yang akan menjalani rumah tangganya. Orang tua kan hanya merestui…”

Seperti tak terkendali kata-kata itu meluncur dari bibir ibu. Dan, sungguh, kalimat itu yang selama ini ia tunggu dan rindu.*

Lampung, Agustus-September 2008



1) kamu gadis manis

2) kampung (halaman), desa, pekon dan sejensnya

3) gadis tua

4) paman

5) ayuk, mbak

6) lelaki, bujang, lajang

7) keponakan

8) bagi orang bersuku Lampung, kue legit layaknya “panganan wajib” pada saat Lebaran

Tidak ada komentar: