Ingin Jadi Penyair
: wayan sunarta
maka laut kau biarkan bergelombang
dan menghanyutkanmu ke sejuta ingin:
aku ingin menetap di tanjungkarang
biar pun harus jauh dari karangasem
atau pantai sindhu yang pertamakali
menoreh kisah kita,
waktu itu malam larut
cuaca mulai berkabut
pohonpohon kuncup-gigil
aku dengan berbotol minuman
yang membuat pantai gemulai
sementara kau dengan berbatang
rokok telah merabunkan pandang
“kau seperti di dalam salju
tubuhmu gemulai, sebagaimana
penari dilapisi kain tipis. dan lampu
panggung mengurai tubuhmu
jadi serpihan di kamar tidur.”
aku ingin menetap di tanjungkarang,
selalu kau sampaikan di setiap
perjumpaan. “aku mau jadi
penyair lain di tanjungkarang,
setelah kubunuh
keinginan jadi pujangga,” bisikmu
tapi, di tanjungkarang atau karangasem
kau akan selalu diikuti katakata
ke mana kau singgah puisi
akan mengunjungimu
begitulah pengembara
petualang ke dalam katakata
pemabuk bagi puisi
Pendamba
yang setia pada waktu!
/2007
Shindu
aku coba jadi kursi
jadi meja
dan kau melepas
tatapan ke luas laut
dan aku menumpahkan
mabukku jadi lautan
dengan kesadaran
kapalkapal berlayar
di lautan berombak
aku mualim bagi diriku
ingin mengajakmu pesiar
menyinggahi bandarbandar
jika malam hilang
subuh pun datang
aku akan mencatatmu
tanpa lupa sukukata
dari namamu,
dan akan kupanggil lagi
entah di lain hari
sebagai kekasih
atau tak sebagai apaapa
(sebab penyair akan
selalu pergi dan datang
dengan cerita yang lain
setiap pertemuan)
lalu di benakku
kubangun anaktangga
dari sebelas sukukata
yang kupetik dari namamu
-kapalkapal pun pesiar
menuju bandarbandar-
/2006
Legenda Sepasang Kekasih
lalu di taman ini mereka
menjelma jadi sepasang kekasih
memetik buah itu sambil bercumbu
hingga terusir ke dalam hutan,
sabana, dan
ia pun mengulang…
akhirnya dikutuk berkelana
selama tahun-tahun berbilang
menuju taman-taman,
dari surga pulang ke surga
“lelaki...”
“perempuan...”
keduanya bersitatap;
“langit itu adalah payung.”
“tanah ini rumah dan kubur kita.”
Lelaki
Perempuan
di pucuk waktu
ia membisu
kau memeluk
“mungkin ini bukan
surga yang dulu ditinggalkan,” bisiknya
“ini pun bukan buah
yang membuat kita terusir,” lirihmu
di tanah tak berhutan dan berpantai
kisah sepasang kekasih yang berkelana
tanpa mengenal rumah atau kubur
ditulis berlembar-lembar
untuk melelapkanmu
dari iblis berujud ular
yang selalu menghasutmu
ditulis berlembar-lembar
sampai kau getir
meneruskan langkah
Lelaki mengutuk diri
Perempuan menyesali hari
Lampung 2007
Isbedy Stiawan ZS
Aku Titip Janji
purnama dan cahaya
telukbetung yang berbenah
kulukis kenangan untukmu
kurekam kisah kejatuhan ini
pengembara selalu
membangun tempat singgah
setiap mampir di
lalu pergi bersama sebaris puisi
pengembara datang
dengan sebukit kenangan
di waroeng diggers
yang katamu telukbetung
di bawah
aku titip janji
di setiap baris-baris puisi
/2007
Isbedy Stiawan ZS, lahir di Tanjungkarang (Lampung) dan hingga kini menetap di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar