berteman
mentari tak akan pernah menyapaku
sebab pagi berlalu selagi aku masih lelap
setiba fajar tadi, seusai subuh yang membuluh
dan aku akan beranjak begitu di ubunku dihujani matahari
atau mendung yang menggantung di ujung rambut putihku...
aku pun bergegas, mengumpulkan sisa rempah
yang ditinggal ayam atau cacing
entah ke mana, apa pula
hingga malam lagi, dini hari
"tuhan, jadikan aku berteman dengan matahari," bisikku
*
aku selalu merindu matahari, seperti tanah merindukan pohon
seperti pohon akan selalu berharap hujan
atau pantai yang kangen pada ombak
tapi apakah peduli mentari, kala aku tak dulu menyapa
adakah sinar akan kubaca jika retinaku katup
apakah kulihat kelebat sekikarnya aku terpejam
bahkan tak pernah ada debar
sekiranya aku tak fahami denyutnya
sebagaimana tak kuakrabi jantungku
pabila di sana sesungguhnya ada rindu...
2009
fajar lain
seperti pucuk daun,
malam terkulai dan embun membelai
mungki sudah lama kutinggal bulan
kulupakan bintang
juga wajahmu menggoda
aku akan tetap berlayar
membelah laut kelam
sedang di pembaringan,
kau sudah menarikku
ke dalam mimpi
dan embun seperti ujung lidahku
tetap menjilati
ujung malam
amboi, sudah hampir aku sampai padamu
fajar lain....
"gegaslah membasuh, lelap di teras subuh."
buang sendu,
jatuhkan ragu!
*juni 2009
--
Memasuki Dirimu
bila kau belum juga fahami aku
sebaiknya ambil jarak lebih jauh
karena biasanya dari kejauhan
kau bisa melihat seluruhnya
dan merasakan rindu.
kalau tak, kau mesti makin merarapat
karena dengan merasakan aroma
kau mampu mengakrabi aku,
atau masuk ke dalam tubuhku
karena begitu tak lagi luput
mengetahui diriku.
sebab, selama ini aku mencintaimu
sebab aku sudah masuki dirimu
meski masih banyak pula
sesungguhnya dirimu...
*Juni 2009
Radin
kita pun berpisah setelah meliwati sungai itu, tak ada lambai
karena daun-daun melinjo sudah luruh bersama puting
yang kau katakan sebagai baling-baling
mungkin esok pagi saat matahari tumbuh dari sebalik pohon
aku akan temukan wajah lain, si radin yang pernah
berdiri di depan: di tepi pantai. mengusir kapal-kapal meneer
yang mau menghabisi lada, kopi, dan...
aku teringat lagi tatkala radin bertanya: “api ubat malu, ibu?”
lalu ibu menjawab, “mati!” sejak itu aku diajarkan untuk
tidak pernah ingin malu, kujaga segala marwahku
“aku tak ingin mati menanggung malu, ibu!”
itu sebabnya kutaruh usiaku di rumahmu, kuminta kau
menjaganya hingga aku kembali membawa yang kau mau
meski sudah berapa dermaga kusinggahi, berapa kali kapalku
berlabuh. tak juga kudapati rempah-rempah itu: lada, kopi...
palka kapalku tak pernah bermuatan. lama aku di lautan ini,
mencari tanda di mana gunung rajabasa, atau batuserampok
yang kokoh itu? itulah mercusuarku untuk aku berlabuh.
jika tak kutemukan, aku akan kembali ke laut lepas
sebagai radin inten, tak mungkin kutinggalkan tanah ini
sebab aku tak ingin para meneer menghabisi rempah-rempah
aku berdiri kini, di depan jalan menuju rumahku. tiada yang
hendak senyum padaku. gigil dan terik kulalui.
“aku kini hanya patung, penghias kotamu. menjelang
sampai ke rumahmu, ibu...”
*april-juni 2009
*) catatan: Radin (nama pahlawan Lampung, yaitu Radin Inten). Semasa remaja, sebelum berjuang membela tanah Lampung, Radin Inten berasal dari Kalianda, Lampung Selatan, ini bertanya kepada ibunya, “apa obat malu ibu?” lalu sang ibu menjawab, “mati”. Sejak itu, merasa ‘permalukan’ oleh penjajah, ia pun berjuang mati-matian mempertahankan tanah Lampung.
15 Juli 2009
Langganan:
Postingan (Atom)