Ambulans Menyeruak Kampung
Menunggumu
sekadar singgah di rumah panggung, sepertinya aku sedang menanti bulan penuh
pada malam ke lima
belas. Begitulah, aku seakan dikutuk duduk di beranda rumah panggung ini
menunggu kedatanganmu. Walaupun aroma tubuhmu tak juga tercecap hidungku.
Aku adalah anak perempuan tertua dari ibu bernama Ratminah dan ayah Herman gelar Suttan Begawan Negeri. Aku masih gadis atau bahasa daerah kami menyebut muli[1] bagi anak perempuan yang belum menikah. Ayahku dikenal sebagai tokoh adat di kampung ini: kampung yang tak pernah merasakan pembangunan.
Bila malam, kampungku gelap pekat karena belum masuk penerangan listrik. Bila siang, para lelakinya hanya mengobrol di depan rumah sebab tak bisa mengolah tanah yang keras menjadi ladang apatah lagi sawah.
Itulah sebabnya, para bujang atau kami menyebut mekhanai, lebih memilih pergi ke kota untuk bekerja demi mengubah nasib. Sebab belum berguna di kampung jika tak punya pekerjaan. Tak akan ada muli berkenan dilamar, apabila menganggur di kampung. Hanya kepada lelaki yang pulang dari perantauan, para perempuan dengan senang hati menanti dilamar.
Sedangkan kamu? Kau adalah lelaki yang kunanti. Sejak anak-anak aku sudah tertarik padamu. Ingatlah saat kita bermain gobaksodor di tanah kosong dekat pemakaman itu, aku selalu memilih ikut kelompokmu. Karena aku ingin mendapat perlindunganmu saat diburu lawan.
Pernah kau mengganggu lawan main, tatkala dia mencecarku agar segera aku tertangkap. Karena kau, aku dapat lolos dari kejaran.
Begitu pula saat kita main petak umpet, kau selalu menyembunyikan aku di balik batang pohon atau rimbun ilalang. Setelah yakin penjaga lengah, kau memerintah aku untuk lari ke tiang atau menginjak batu sebagai penanda.
Aku meyakini kau adalah lelaki yang bisa melindungiku kelak jika aku jadi isterimu. Atau sebagai imam saat salat berjamaah dengan anak-anak kita.
Namun selepas SMA kau harus ke kota. Begitulah suratan bagi bujang di kampung kita. Belum berguna jika tak punya pekerjaan. Belum disebut orang kalau tak pulang membawa uang. Bagi lelaki yang masih pengangguran, alamat ia akan digunjingkan lalu tersingkir.
Aku adalah anak perempuan tertua dari ibu bernama Ratminah dan ayah Herman gelar Suttan Begawan Negeri. Aku masih gadis atau bahasa daerah kami menyebut muli[1] bagi anak perempuan yang belum menikah. Ayahku dikenal sebagai tokoh adat di kampung ini: kampung yang tak pernah merasakan pembangunan.
Bila malam, kampungku gelap pekat karena belum masuk penerangan listrik. Bila siang, para lelakinya hanya mengobrol di depan rumah sebab tak bisa mengolah tanah yang keras menjadi ladang apatah lagi sawah.
Itulah sebabnya, para bujang atau kami menyebut mekhanai, lebih memilih pergi ke kota untuk bekerja demi mengubah nasib. Sebab belum berguna di kampung jika tak punya pekerjaan. Tak akan ada muli berkenan dilamar, apabila menganggur di kampung. Hanya kepada lelaki yang pulang dari perantauan, para perempuan dengan senang hati menanti dilamar.
Sedangkan kamu? Kau adalah lelaki yang kunanti. Sejak anak-anak aku sudah tertarik padamu. Ingatlah saat kita bermain gobaksodor di tanah kosong dekat pemakaman itu, aku selalu memilih ikut kelompokmu. Karena aku ingin mendapat perlindunganmu saat diburu lawan.
Pernah kau mengganggu lawan main, tatkala dia mencecarku agar segera aku tertangkap. Karena kau, aku dapat lolos dari kejaran.
Begitu pula saat kita main petak umpet, kau selalu menyembunyikan aku di balik batang pohon atau rimbun ilalang. Setelah yakin penjaga lengah, kau memerintah aku untuk lari ke tiang atau menginjak batu sebagai penanda.
Aku meyakini kau adalah lelaki yang bisa melindungiku kelak jika aku jadi isterimu. Atau sebagai imam saat salat berjamaah dengan anak-anak kita.
Namun selepas SMA kau harus ke kota. Begitulah suratan bagi bujang di kampung kita. Belum berguna jika tak punya pekerjaan. Belum disebut orang kalau tak pulang membawa uang. Bagi lelaki yang masih pengangguran, alamat ia akan digunjingkan lalu tersingkir.
Aku masih
ingat saat kedua orang tuamu mengantar sampai ke kota. Kau dititip kepada salah seorang saudaramu.
Kabarnya tak lama menganggur, kau sudah mendapatkan pekerjaan. Setelah itu kau
pulang hanya setiap Idul Fitri. Kau ikut tradisi mudik bersama jutaan muslim di
Tanah Air.
Sedangkan aku? Lulus SLTP, ayah menyuruhku tinggal di rumah demi membantu ibu di dapur. Atau menemani ibu ke seberang, menjual ikan-ikan hasil tangkapan ayah di Way Tulangbawang[2] yang airnya tak pernah kering meski musim kemarau.
Sejak itu aku hanyalah muli yang duduk di beranda rumah panggung. Itulah ruang terhormat bagi perempuan di kampung, selain dapur-sumur-kamar tidur.
Bila malam bukan saat Idul Fitri, kampungku sangat gelap. Saat itu aku sering mendengar langkah lelaki yang mengendap-endap di bawah rumahku.
Kemudian sebatang korek api kayu dinyalakan, pertanda ada jejaka yang datang. Persis di bawah kamar tidurku. Itulah yang dinamai manjau dibingi alias saat-saat perempuan didatangi pemuda di malam hari.
Cara pacaran di kampungku memang tak dibenarkan terang-terangan. Kalaupun ada lelaki yang berani tandang ke rumah untuk menemui sang gadis, jangan coba-coba menegur atau menyapa keluarga gadis. Dipastikan tak akan ditanggapi. Bahkan keluarga gadis akan memasang wajah dingin.
Begitulah. Walaupun aku sering diapeli pemuda kampung atau dari kampung sebelah, kau tetaplah yang kunanti. Biarpun aku berkenan diajak mengobrol hingga larut malam oleh pemuda yang tak kutahu benar orangnya sebab tak berhadap-hadapan, aku meyakini kau pemuda paling tampan yang kukagumi.
Tetapi, kenapa hingga malam takbiran ini belum juga kulihat kau liwat di depan rumahku. Apakah kau belum tiba sebab terhalang macetnya pengendara mudik di jalan, atau sebab berlebaran di kota?
Ah! Aku menduga macam-macam tentangmu. Tidak seperti tahun lalu, dua hari sebelum Lebaran Syawal kau sudah sampai. Sehingga kau bisa bertarawih[3] di mesjid, dan aku pun ingin tarawih juga. Sebelum imam bersama-sama melafalkan niat puasa, kita sudah bertemu di samping masjid. Mengobrol beberapa saat, lalu kau mengantarku hingga di depan rumahku.
Sedangkan aku? Lulus SLTP, ayah menyuruhku tinggal di rumah demi membantu ibu di dapur. Atau menemani ibu ke seberang, menjual ikan-ikan hasil tangkapan ayah di Way Tulangbawang[2] yang airnya tak pernah kering meski musim kemarau.
Sejak itu aku hanyalah muli yang duduk di beranda rumah panggung. Itulah ruang terhormat bagi perempuan di kampung, selain dapur-sumur-kamar tidur.
Bila malam bukan saat Idul Fitri, kampungku sangat gelap. Saat itu aku sering mendengar langkah lelaki yang mengendap-endap di bawah rumahku.
Kemudian sebatang korek api kayu dinyalakan, pertanda ada jejaka yang datang. Persis di bawah kamar tidurku. Itulah yang dinamai manjau dibingi alias saat-saat perempuan didatangi pemuda di malam hari.
Cara pacaran di kampungku memang tak dibenarkan terang-terangan. Kalaupun ada lelaki yang berani tandang ke rumah untuk menemui sang gadis, jangan coba-coba menegur atau menyapa keluarga gadis. Dipastikan tak akan ditanggapi. Bahkan keluarga gadis akan memasang wajah dingin.
Begitulah. Walaupun aku sering diapeli pemuda kampung atau dari kampung sebelah, kau tetaplah yang kunanti. Biarpun aku berkenan diajak mengobrol hingga larut malam oleh pemuda yang tak kutahu benar orangnya sebab tak berhadap-hadapan, aku meyakini kau pemuda paling tampan yang kukagumi.
Tetapi, kenapa hingga malam takbiran ini belum juga kulihat kau liwat di depan rumahku. Apakah kau belum tiba sebab terhalang macetnya pengendara mudik di jalan, atau sebab berlebaran di kota?
Ah! Aku menduga macam-macam tentangmu. Tidak seperti tahun lalu, dua hari sebelum Lebaran Syawal kau sudah sampai. Sehingga kau bisa bertarawih[3] di mesjid, dan aku pun ingin tarawih juga. Sebelum imam bersama-sama melafalkan niat puasa, kita sudah bertemu di samping masjid. Mengobrol beberapa saat, lalu kau mengantarku hingga di depan rumahku.
Duh,
senangnya saat kita beriringan jalan menuju pulang. Setelah aku naik tangga
rumahku, aku melambai padamu dan kau sambut dengan lambaian pula. Ayah yang
duduk sambil menikmati rokok kreteknya di ruang tengah pasti tahu kalau kau
mengantarku hingga depan rumah, sebab sejak tadi ia mengamati tingkahku.
Cuma ayah
tak bertanya. Adat membuat ayah tak hendak bertanya ihwal anak gadisnya sudah
mempunyai pemuda pilihan atau masih sendiri. Dia juga akan menolak keinginanya
untuk bertanya: “Siapa lelaki yang mengantarmu, Hindun?” Namun, aku yakin kalau
ayah tak buta, karenanya tahu bujang yang tengah dekat denganku. Dialah Ikhwan
Irawadi. Kaulah itu…
*
SAMPAI
suasana kampung benar-benar hening dan di luar sana sangat pekat, aku masih menunggu kabar
bahwa kau mudik. Aku melihatmu liwat di depan rumahku membawa sajadah untuk
salat Idul Fitri di tanah lapang. Sejurus kemudian aku melangkah di belakangmu,
juga menuju tempat yang sama.
Setelah
salat Idul Fitri, usai bersalam-salaman dengan kerabat dekat di tanah lapang,
kau akan mendatangiku di shaf muslimah. Aku pun memburu tanganmu, menyalami dan
mencium punggung tangamu.
Bersama
bujang-gadis lain, kita pun meninggalkan tanah lapang. Menaiki tangga rumah
satu persatu untuk berlebaran dan mencicipi kue. Biasanya hingga sore atau menjelang
magrib. Pada saat lebaran ini, para orang tua membolehkan gadisnya bertemu
bujang atau sebaliknya dengan tetap pada koridor agama dan adat[4]. Maka saat
lebaran Syawal, kampungku benar-benar riuh. Bedug masjid dipukul sepanjang
hari, suara petasan, dan meriam bambu bersahutan.
Entah
mengapa, malam takbiran ini tak ada yang manjau
ke bawah panggung rumahku. Ke manakah para mekhanai kampung saat malam Lebaran? Apakah mereka sudah kalah
bersaing dengan para lelaki dari kota?
Ataukah tak hendak bertikai sebab cemburu-buta?
Kini aku
benar-benar rindu dikunjungi. Walaupun hanya berbisik: aku di dalam kamar dan
si bujang di bawah panggung. Kalaupun bisa bersentuhan, hanyalah satu jari dari
sela-sela papan lantai rumah. Ah memadu-kasih yang indah dan berkesan, bukan?
*
INGIN
rasanya aku mencari tahu, pada siapa pun, tentang keberadaanmu sekarang. Hatiku
benar-benar gelisah, hingga takbiran menyusup dan malam kembali hening, tak
juga kulihat dirimu.
Rasanya
aku mau ke rumahmu yang hanya berjarak 200 meter dan dekat sungai besar itu. Hanya
kekhawatiranku sekiranya ayah tahu kalau aku ke rumahmu. Alamak di mana muka ayah mau ditaruk? Sebabnya, pantang bagi
perempuan bertandang ke rumah mekhanai seandainya
pemuda itu memang disukai.
Ayah
pasti berang. Aku akan dimarahi berhari-hari. Boleh jadi, aku akan disingkirkan
ke rumah keluarga. Itulah yang aku tidak mau. Bagaimana ibu, ia akan bekerja
sendirian di rumah. Aku menyayangi ibu. Sudah begitu berat beban ibu:
membesarkan aku dari buaian, lalu membiayai aku agar menyelesaikan SLTP.
Di
samping membantu urusan tugas ibu, aku juga diajarkan ibu cara menenun tapis[5] setelah
pekerjaan rumah tangga selesai. Biasanya aku menenun selepas salat Isya hingga
pukul 23.00 lalu tidur. Kecuali pada malam Minggu, karena saat manjau dibingi yakni perempuan akan
menunggu-nunggu dikunjungi pemuda.
Kini
sudah lima
helai tapis yang kusimpan di lemari pakaianku. Itulah yang akan menjadi sesan saat aku resmi sebagai isteri dan
dibawa ke rumah suamiku[6]. Aku berdoa,
kaulah yang menerima sesanku bukan
lain pria!
*
MENJELANG
subuh kabar pun datang. Isah, adik sepupumu menjemputku untuk salat subuh di
masjid, dan mengatakan bahwa tiba setelah salat Idul Fitri. Saat ini masih di
perjalanan, terhambat di Selat Sunda.
“Kata
kiyai[7] dia minta maaf
pulang terlambat. Mudah-mudahan sebelum jam 10 sudah di rumah,” jelas Isah.
“Dia
meneleponmu, Isah?”
“Ya, atu[8] jam 03.00 tadi.
Emangnya…”
Isah tak
meneruskan ucapannya. Aku tahu yang akan dikatakannya: “Emangnya tak menelepon
atu?” Tak mungkin, soalnya aku dilarang memakai telepeon genggam (handphone), selain tak begitu penting
karena repot jika baterei habis hanya bisa mengecas pada malam hari.
“Terima
kasih Isah. Kalau kiyaimu datang, ajaklah berlebaran ke rumah atu ya?” ucapku
kemudian.
Hingga
zuhur kau tak berkabar. Isah pun tak tahu pergi ke mana. Gadis kota itu memang tak kerasan berlama-lama di
kampung. Pasti dia sudah menyeberang sungai, main di Menggala[9].
Pukul
15.15 kampungku gempar. Ambulans menyeruak kampung. Sirine meraung-raung sejak
Gapura Badik[10]
dan berhenti di rumahmu. Siapakah yang sakit? Aku bertanya-tanya. Jantungku
berdegup kencang.
Aku
segera turun. Menyerbu ke jalan. Bergabung dengan warga lain. Bisik-bisik
semakin jelas…
“Ikhwan
kecelakaan, kecelakaan. Meninggal di tempat…”
Sekujur
tubuhku bagai digayuti beban sangat berat. Di kepalaku beribu kunang-kunang
beterbangan. Limbung. Aku pun terjerembab di tanah.
Akankah
ini menjadi kenangan selamanya?*
Lampung,
4 September 2012
[2] Way atau sungai Tulangbawang
terletak di Kabupaten Tulangbawang Barat kini (dulu Kab. Tulangbawang). Sungai
ini membelah Kota Menggala-Panaragan-Pagar Dewa. Kampung Pagar Dewa adalah
kampong tua di kabupaten ini, memiliki banyak legenda dan sejarah: termasuk
menjadi pusat Kerajaan Tulangbawang dengan raja pertamanya Minak Rio Mangku
Bumi dan raja terakhir dan pemeluk Islam yaitu Minak Kemala Bumi atau Minak
Pati Pejurit.
[3] Salat Tarawih hanya dilakukan pada
bulan Ramadhan, sebagai pengganti salat malam (tahajud).
[4] Selain itu saat gelar gawi, misalnya saat cangget bakha yakni pesta muda-mudi di malam purnama. Para gadis dibolehkan ngigel
(berjoget) dengan bujang di Sessat
Agung (Balai Adat).
[5] Nama kain tenunan khas Lampung. Biasanya menenun tapis dilakukan para
gadis Lampung sebelum berumah tangga. Saat ia dilamar kemudian dibawa suaminya,
hasil pekerjaan yang dilakukan selama melajang itu sebagai sesan (bawaan) pengantin perempuan ke rumah suaminya.
[6] Biasanya disebut boyongan, prosesi
ini dilaksanakan setelah mendapatkan adok
(gelar) dan suap-suapan. Dalam
boyongan inilah, perempuan membawa sesan.
[7] Bahasa Lampung berarti kakak,
selain adin, kanjeng, dan banyak lagi.
[8] Artinya ayuk/mbak. Sebutan lain
bagi kakak perempuan adalah batin, okhti, acik, dsbnya.
[9] Nama kota tua di Kabupaten Tulangbawang. Syahdan,
nama kota ini diadopsi dari pendatang asal Mongolia, yang
kemudian cikal-bakal menjadi orang Menggala.
[10] Badik adalah senjata tajam khas
orang Pagardewa/Menggala (Tulangbawang Barat/Tulangbawang)
– sumber Jurnal Nasional, 11 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar