19 Februari 2013

Cerpen SUKMA HILANG DALAM KABUT



 
Sukma Hilang dalam Kabut
 

 
 
AKU hendak bercerita padamu tentang perempuan berusia belia, tiba-tiba hilang di kaki gunung itu. Niatnya menaiki puncak untuk memburu kekasihnya yang frustasi lantaran cintanya ditolak oleh orang tua perempuan itu. Lalu berniat bunuh diri di puncak sana.

Perempuan itu merasa bersalah. Dia tidak punya keberanian menentang kedua orang tuanya. Terutama sang ayah, setiap ucapannya adalah sabda: tidak bisa dibantah. Kata-kata sang ayah merupakan titah yang harus diikuti, walaupun pahit dirasa.
 
Itulah kenapa, perempuan itu tidak mampu sepatah pun untuk mendukung kekasihnya kala menyampaikan keinginan memperisterinya. Belum lagi bibirnya bergerak, sang ayah sudah melontarkan beribu-ribu kata layaknya peluru yang muntah dari moncong senapan.
 
Dia ingin mengikuti sang kekasih, tiba-tiba kedua kakinya ditahan oleh sang ayah. Perempuan itu digiring ke kamar, lalu dikunci dari luar pintunya. Menjelang malam, perempuan itu diam-diam membuka jendela kamar. Melompat. Lari ke perkebunan di belakang rumah. Menuju hutan dekat sebuah gunung tak bernama.
 
Malam turun. Udara berembun. Angin sepoi. Dingin sekali.
 
Perempuan itu terus melangkah. Pakaian yang melilit tubuhnya sekamin diketatkan. Untung dia membawa dua pakaian yang langsung dikenakannya. Itulah pakaian yang merangkap selimut untuk mengusir gigil.
 
Suara-suara binatang malam bersahutan. Jalan menuju lereng gunung sangat gelap. Ia nekat, sebab tak ada lagi pilihan. Keberanian selalu muncul saat-saat terdesak.
 
Padahal, perempuan itu belum pernah melalui jalan itu di waktu malam. Mana mungkin berani ia ke sana. Sampai perkebunan di belakang rumah saja, ia tak pernah lakukan.
 
Tetapi kali ini?
 
“Lebih baik mati diterkam malam, daripada menanggung rindu dan menjadi perempuan pingitan tanpa menikah dengan orang yang dicintai…” ia bergumam.
 
Ia tidak percaya kalau orang tuanya punya pikiran picik. Memaksakan kehendaknya, bahkan untuk sebuah perjodohan. Para orang tua seperti meyakini, jodoh anak ditentukan oleh tangannya. Kebahagian rumah tangga anak-anak, tergantung dari perjodohan yang dibuatnya.
 
Ibu memang tak bisa menolak, saat seorang lelaki datang karena sudah mendapat restu dari orang tuanya. Walaupun ibu harus mendepak lelaki lain yang telah jatuh cinta padanya, dan ibu juga mencintainya.
 
Kalau ibu kemudian merasa bahagia, bisa mencintai ayah, dan ayah tak pernah mengecewakan ibu, bukan sebab perjodohan orang tua. Sebab takdir sudah menulisnya sejak mereka lahir ke dunia ini.
 
Tetapi ayah lupa. Ibu pernah bercerita pada perempuan itu, tahun pertama rumah tangga mereka, ibu benar-benar tersiksa. Ayah sangat keras, kata-katanya tak bisa disela, setiap pernyataannya adalah keputusan!
 
“Lama-lama ya ibu bisa mengikuti irama ayahmu. Toh kemudian rumah tangga ibu jalan lancar, sampai kamu menjadi dewasa sekarang…” ujar ibu suatu malam saat duduk di teras dan di langit sedang purnama.
 
Rumah panggung. Inilah rumah tradional masyarakat di sini. Di bawah rumah itu hanya ruangan kosong. Dari tempat itulah, para jejaka memberi isyarat kepada gadisnya kalau datang.
 
Dengan korek api kayu, para gadis tahu di bawah sudah datang sang pangeran. Lalu mengobrol dengan suara yang sangat pelan. Terkadang menggunakan seutas benang dan di masing-masing pucuknya diberi kotak. Para bujang gadis itu mengobrol layaknya menggunakan telepon. Itu sebelum ada handphone seperti sekarang.
 
Untunglah perempuan ini lahir di zaman telepon selular. Jadi bisa mengirim pesan pendek, walau pun jaraknya hanya berdekatan. Juga bisa mengirim gambar.
 
Pada suatu malam ayah memergoki kekasihnya, saat mengendap di bawah rumah panggung mereka. Tentu saja ayah berang, sebab jejaka yang datang bukan lelaki pilihannya. Lelaki itu digebah. Dia sambit dengan potongan kayu.
 
Lelaki itu bergeming. Tapi sebenarnya tidak menantang. Ayah menarik lelaki itu naik ke rumah. Ia menyidang jejaka itu. Setelah itu, diusir.
 
“Hanya cukup sampai malam ini saja kamu mengendap di bawah rumah kami, dan jangan dekati anak gadis saya!” usir ayah.
 
Lelaki itu menatap mata ayah. Lama sekali. Kemudian mengalihkan pandang ke gadis pujaannya. Dia ingin mendapatkan bantuan dari kekasihnya itu. Sayangnya, sang kekasih tak merespon.
 
“Kau lihat, anak gadis saya tak menolongmu…”
 
Bukan tidak menolong ayah! Perempuan itu membatin.
 
“Aku takut ayah akan semakin berang, dan kekasihku akan dirajam sebilah parang!” batinnya lagi berkata.
 
Lihat mata ayah yang sudah berwarna merah. Lihat pula kedua tangan ayah yang tiba-tiba bagaikan besi. Jari-jari ayah sudah berubah seperti pisau-pisau tajam. Perempuan itu tak mungkin tega menyaksikan kekasihnya dicabik-cabik tangan ayahnya, kemudian dihunjam parang tubuhnya.
 
Lelaki itu berlalu dari hadapan ayah perempuan itu. Menuruni tangga rumah. Pelan. Seperti hati-hati terjatuh. Menghitung satu persatu anak tangga rumah panggung kekasihnya itu.
 
**
 
AKU ingin memberi tahu padamu ihwal keluarga perempuan ini. Mereka adalah keluarga terpandang di kampung itu. Ayahnya bergelar rajo dan ibunya permaisuri. Hanya keluarga berduit bisa memeroleh gelar di sana.
 
Untuk mendapatkan gelar dari adat, seseorang harus menyembelih beberapa ekor kerbau. Juga menggelar begawi beberapa malam berturu-turut. Gelar adat ini dinamai cakak pepadun[1]. Dan mesti ada canggot[2] yang mengundang masyarakat berbagai tiyuh[3] yang dekat.
 
Pesta dimulai. Petatah-petitih disampaikan. Tari-tarian dilantaikan. Para gadis dijemput dengan tetabuhan dan penerang[4] dari depan rumah. Lalu diarak hingga masuk sessat agung[5] untuk segala begawi (acara) dilaksanakan.
 
Konon, sekali begawi adat setara dengan dua kali menunaikan ibadah haji. Barangkali bisa lebih. Kesibukan yang membuat tuan ramah sangat letih, melebihi perjalanan ke Tanah Suci. Tetapi, bagi orang-orang kampung yang sangat menjunjung adat dan tradisi, begawi  sebagai bentuk menunjukkan adat mesti dijunjung: kekerabatan disatukan dalam sessat.
 
Selain itu, setiap orang yang sudah cakak pepadun atau mendapat gelar dari adat, strata sosialnya menjadi terangkat. Inilah yang membuat orang di kampung itu, seperti berlomba memeroleh gelar adat. Para penguasa juga, dengan politisnya, minta diberi gelar adat.
 
Dan orang tua gadis ini, karena gelar adatnya itu, menjadi benar-benar terpandang di kampung. Ia dihormati melebihi mereka yang bergelar suttan, soalnya gelar suttan cukup banyak. Misalnya Suttan Macak Padun, Suttan Sembahan Rajo, Suttan Ulangan, dan masih banyak lagi.
 
Sedangkan jejaka yang ingin menikahi perempuan itu, dari keluarga biasa. Tiada satu pun keluarganya telah melakukan begawi. Karena cinta, keduanya bertemu. Tersebab niat suci, kedua pasangan itu berencana membangun mahligai rumah tangga.
 
Hanya, rencana milik manusia. Bagaikan bangunan paling kokoh yang dijungkirbalikkan gempa, runtuhlah cinta mereka berkeping-keping. Lalu hujan menghanyutkan hingga tak bertanda.
 
Ow! Alangkah perkasa kehendak manusia. Mengukur sesuatu secara materi. Menimbang bobot dengan adat tak berimbang.
 
Sebenarnya jejaka malang itu bisa melakukan, yang juga ada dalam adat. Dia bisa melarikan perempuan itu[6] untuk kemudian dinikahi, namun ia tak hendak bersikap seperti itu. Jejaka itu ingin baik-baik meminta dan melamar kepada orang tua kekasihnya.
 
Sayangnya, belum lagi mengutarakan keinginannya, ia sudah disambit jauh. Lelaki itu pun menaiki gunung di belakang rumah sang gadis. Gunung yang diyakini kerap menerima para bujang yang kalah di medan jodoh. Hidup di lereng, di leher, ataupun di pucuk gunung: membangun huma dan memanfaatkan kebaikan alam bagi hidupnya.
 
Di antara para lelaki frustrasi karena ditolak cintanya, ada yang kembali turun beberapa tahun kemudian untuk hidup selayaknya masyarakat lainnya. Mereka mendapatkan jodoh, lalu hidup bahagia dalam rumah tangganya. Sedangkan lainnya, justru memilih hidup di gunung itu. Jadi peladang.
 
Boleh jadi, itu pula pilihan jejaka yang dicintai perempuan itu. Maka itu ia tak ikhlas kalau kekasihnya menjadi makhluk gunung, hidup tak berpayung[7] tanpa ladang untuk menanam.
 
Ah! Itulah yang menguatkan hatinya menyusul sang kekasih. Lari dari rumah. Meninggalkan orang tuanya yang kaku pada adat dan tradisi, seakan menolak ketentuan jodoh dari Tuhan.
 
Dia siap hidup hanya menunggu mukjizat alam pegunungan, daripada tinggal di rumah yang serba kecukupan. Lebih baik hidup berlaki di gunung karena ia mencintainya, ketimbang bersama orang tua di rumah mewah namun bagai dalam sangkar.
 
Perempuan itu mulai kehausan. Tenggorokannya kering. Lidahnya pahit. Tiada air setetes pun untuk membasuh mulutnya. Dia pun diserang lapar.
 
Perjalanan mencapai kaki gunung masih jauh. Diperkirakan masuk fajar baru sampai. Kini sudah pukul 03.00, jika pertanda suara burung yang baru di dengarnya. Keinginan sangat untuk bertemu kekasihnya, perempuan itu masih kuat berjalan.
 
*
 
FAJAR menguak perempuan itu sampai di puncak. Hening. Udara bening. Kabut menyelimuti pepohonan. Laiknya salju luruh di pucuk daun. Pandangnya tak tembus jauh. Hanya berjarak beberapa langkah.
 
Kunang-kunang tumbuh di kepalanya. Pagi belum lagi terang. Perempuan itu kehabisan daya. Sedang jejaka yang dicari belum dijumpa. Tak ada orang. Dia pun hilang…
 
*
 
PEREMPUAN itu, yang sedang memburu kekasihnya naik ke puncak gunung, bernama Sukma. Lahir dari keluarga terpandang sebab telah melangsungkan gawi untuk sebuah gelar di depan namanya.
 
Saat remaja hingga menjelang dinikahi, ia memiliki jejaka yang dicintai dan mencintainya. Namun terganjal karena tak direstui orang tuanya. Jodoh pun menjadi ajang guna menjunjung martabat.
 
Bagi keluarga yang memiliki anak perempuan harus dilamar mahal. Kalau tak bisa, lebih baik pernikahan dibatalkan. Anak perempuan yang dilarikan lelaki dianggap aib. Dinilai tak bisa menjaga anak. Apatah lagi kalau diramut[8], pantang pulang!
 
Sukma memilih caranya sendiri. Bukan sebambang atau minta diramut oleh kekasihnya, namun ia menyusul ke puncak gunung[9] itu. Kendati ia hilang ditelan kabut.
 
Lampung, 30 Agustus 2012—(perbaikan) 29 November 2012





[1] Naik pepadun: mengambil gelar
[2] Berarti pesta. Canggot ini ada beberapa ragam, canggot ngebanton, canggot mepadun, canggot pilangan, canggot bakha. Canggot Bakha dilaksanakan pada malam purnama, dan dihadiri/dilaksanakan oleh bujang gadis
[3] Tiyuh berarti kampung/dusun/desa.
[4] Zaman dulu mungkin menggunakan lampu minyak/obor, tetapi saat ini sudah memakai petromaks atau lampu emergency dari depan rumah. Para gadis mengenakan pakaian adat lengkap seperti siger.
[5] Tempat begawi adat dilangsungkan.
[6] Adat melarikan perempuan untuk dinikahi dengan sebutan sebambangan. Ada satu lagi perkawinan, namun kurang dibenarkan oleh adat, yakni ngeramut yaitu merampas/merampok anak gadis. Dalam sebambangan, setelah gadis dilarikan ke rumah saudara lelaki maka utusan sang jejaka dating ke rumah gadis membawa keris, uang, dan bawaan lainnya untuk menjelaskan kalau anak gadis yang dilarikan aman. Lalu dilaksanakan musyawarah untuk menentukan hari pernikahan, mahar, dan seterusnya.
[7] Maksudnya rumah/gubuk, agar terhindar dari panas, hujan, dingin malam, serta untuk istirahat jika lelah dan tidur bila mengantuk.
[8] Ramut atau merampas anak gadis untuk dinikahi masih terjadi di Kotabumi, Lampung Utara. Seseorang bujang yang ingin menikahi perempuan pilihannya namun si gadis tak memberi tanda bahwa suka, maka melalui keluarga bujang dilakukan cara “menjebak” sang gadis lalu dibawa ke rumah keluarga. Setelah itu dating utusan dari keluarga lelaki, seperti juga sebambangan, membawa uang dan keris. Biasanya kemudian bermusyawarah dua keluarga. Namun dalam musyawarah itu suasana tegang karena emosi kerap ditunjukkan, utamanya dari keluarga si gadis.
[9] Gunung dalam cerpen ini, sampai kini dikenal bernama Gunung Sukma Hilang. Keberadaan gunung ini di Kabupaten Pesawaran. Setiap pagi gunung itu diliputi kabut, sore menjelang malam bagaikan luruh hujan. Sedangkan kisah dalam cerita ini, tak ada sangkut paut dengan nama, adat, dan asal-usul nama gunung tersebut.


*) telah dimuat Lampung Post, Desember 2012

Tidak ada komentar: