KARENA IBU
Ibu, jika aku datang padamu
karena lebaran, jauhkan jalan untukku
apabila aku menemuimu sebab tradisi tahunan
bentangkan saja mudik semakin jauh
tapi ibu, kalau aku bermudik ini ingin menuju
keberkahanmu bagi hidupku 11 bulan kemudian
dekatkan jalan, patahkan liku, lekatkan laut,
rendahkan ketinggian
dan keringkan peluhku oleh ikhlasmu...
Ibu, kaulah segala mudik
karena lebaran, jauhkan jalan untukku
apabila aku menemuimu sebab tradisi tahunan
bentangkan saja mudik semakin jauh
tapi ibu, kalau aku bermudik ini ingin menuju
keberkahanmu bagi hidupku 11 bulan kemudian
dekatkan jalan, patahkan liku, lekatkan laut,
rendahkan ketinggian
dan keringkan peluhku oleh ikhlasmu...
Ibu, kaulah segala mudik
SISA beberapa
jam lagi, takbir berkumandang. Ini puasa terakhir, dan aku akan berbuka di
jalan. Tiba-tiba wajah ibu yang sedang sakit semakin melekat di benakku. Senyum
ibu yang menyambut kedatanganku dan cucunya, terasa di kelopak mataku.
"Sebentar lagi Ibu, aku akan sampai dan memelukmu.
Sabarlah, tak lama kok aku sudah di pelukanmu," gumamku.
"Ini cucu ibu, wajahnya tak mengingkarimu. Ia manis
seperti ibu."
Sudah empat
kali lebaran Syawal sejak aku aku putuskan merantau sebab di kampung tak ada
lagi yang bisa diharapkan untuk menyambung hidupku sebagai anak dan bujangan.
Aku malu dicemooh tetangga sebagai bujang belum berguna, hidup hanya mengempeng dengan orang tua.
Pepatah
para orang tua lebih baik merantau, di kampung tak ada gunanya pun berlaku bagi
keyakinan kami. Itu sebabnya, para bujang—bahkwan perempuannya—seperti
berlomba-lomba bedol desa, entah ke kota ataupun ke luar
negeri mencari pekerjaan.
Aku salah
satunya. Selepas SLTA aku tekadkan diri merantau ke Surabaya. Bermodal ijazah yang kumiliki itu,
aku diterima bekerja di perusahaan swasta di bagian staff. Lalu aku hemat-hemat
gaji, aku melanjutkan kuliah. Aku pun lulus strata satu. Akhirnya aku mendapat
kepercayaan memegang jabatan di perusahaan swasta itu.
Aku
seperti lesap ditelan kesibukan kota besar
semacam Surabaya.
Aku terlena mengorek-ngorek penghasilan untuk kubawa pulang pada tahun
berikutnya. Tetapi naas, tabunganku di sebuah bank swasta dikeruk orang tak
bertanggungjawab. Ludes sekitar 30 juta rupiah.
Aku
kembali merintis pada tahun ketiga. Dibantu isteriku yang asli orang Surabaya karena ia juga
bekerja di perusahaan lain. Dan hasilnya lumayan, sebagian yang aku bawa pulang
untuk membahagiakan ibu.
Isteriku
sangat bahagia tatkala kuajak pulang. Sejak kunikahi ia, Fitri tak pernah tahu
wajah ibu. Saat aku menikah ibu tak bisa hadir karena sakit, begitu pula
ayahku. Hanya Paklik Heri yang datang dan mewakili kedua orang tuaku.
Isteriku
tentu kecewa karena ketidakhadiran kedua orang tuaku. Namun kemudian memaklumi,
sebab siapa mau sakit?
“Aku
senang, akhirnya aku bisa menemui ibu,” ujar Fitri.
“Amin….”
kataku. “Jangan kaget ya rumahku lebih pantas sebagai gubuk…”
“Husst…”
ia lalu mencubitku.
Sepanjang
perjalanan, isteriku selalu meminta aku bercerita tentang kampung kelahiran. Bagaimana
kampungku, apakah masih ada sawah, bebukitan, ilalang, dan sungai?
Aku
tertawa-tawa kecil. Lucu sekali pertanyaannya. Ia mengira setiap kampung pasti ada
sawah, bukit, ilalang, maupun sungai. Tetapi aku maklumi, Fitri lahir dan besar
di kota. Dia
tak pernah ke kampung atau daerah pedalaman.
Mungkin
soal sungai, bukit, sawah, dan kerbau hanya dia ketahui dari matapelajaran
menggambar dan mengarang. Memang semenjak SD, anak-anak Indonesia seperti diajarkan tentang
menggambar dengan dua bukit lalu di antara bukit itu ada matahari, sawah, jalan
di antara kedua sawah, sungai, serta pepohonan.
Pada
pelajaran mengarang, guru juga akan memerintahkan anak-anak menulis tentang
kampung dengan nuansa seperti itu pula. Seakan musykil sebuah kampung atau
desa, ada bangunan puskesma, sekolah, dan yang berbau kota lainnya.
“Kalau
itu yang kau tanya, di kampungku tak ada. Namun kita pasti melihat bukit atau
bahkan gunung, sawah, hutan, dan sungai…” jawabku.
Lalu
kujelaskan pada isteriku, kampungku bukan di pedalaman. Tidak begitu jauh dari
pusat kabupaten. Meski matapencarian masyarakatnya adalah bertani, namun bukan
petani padi. Melainkan ladang kopi.
“Tapi
sebelum masuk kampungku, nanti kita akan meliwati Way Abung[1],” kataku lagi.
“Way? Apa
itu, mas?”
“O ya aku
lupa, way dalam bahasa orang kampungku adalah sungai atau air.”
“Wah,
namanya bagus sekali. Way Abung…”
“Ya,
Abung adalah salah satu marga adat dari orang Lampung asli di Kotabumi[2],” jelasku
sekadarnya, karena aku tak begitu faham soal suku atau adat.
Tatkala
kami meliwati Way Abung, isteri dan anakku benar-benar terpesona. Mereka
berulang berdecak kagum, entah sebab baru pertama melihat sungai atau sudah terhanyut
oleh ceritaku. Padahal, sebelumnya kami telah meliwati Way Tegineneng[3] dan beberapa way lain di Gunung Sugih maupun
Kalibalangan[4]
namun tak membuat pesona isteri dan anakku.
“Besok
pagi, Adel mau mandi Way Abung ya papa?” pinta anakku yang baru berusia 4
tahun.
Aku
mengangguk.
“Bener?”
Lagi-lagi
aku mengangguk.
“Horeee….
Kita mandi di Way Abung… Tapi ada kolamnya gak pa, ada water boom?”
Aku
tertawa, lalu menggeleng.
“Ini kan sungai Adel, bukan kolam renang seperti di Surabaya…”
Adel
hanya tersenyum. Entah faham atau tidak.
*
KARENA ibu
kukayuh jalan bermil-mil, menggunting laut, merobek angkasa. Hanya untuk
sungkem.
Aku mudik
ibu, sebab hanya wajahmu tergambar dalam kartu Idul Fitri. Aku pulang ibu,
karena dalam mudik itu senyummu yang memanggil. Sekiranya tak ada tradisi
mudik, barangkali orang sudah melupakan ibu dan kampung halaman.
Kalau
sudah tak ada ibu—juga kampung halaman—apakah aku tetap akan mudik? Pulang
untuk siapa? Bagi ayah, abang dan adik, handaitaulan serta teman semasa kecil?
Aku tak
bisa bayangkan, barangkali juga kau, betapa mudik akan terus ada tiap tahun.
Sebab orang punya kerinduan, menyimpan kenangan, dan semacam itu.
Kesumpekan
di perantauan, seperti kota-kota besar Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Medan, Makassar, membuat
manusia diteror kesuntukan dan cemas tak mengenal lagi kampung halaman.
Sehingga
kampung halaman, yang katanya, selalu ada dan dibawa dalam diri setiap manusia menjadi
hilang dan terlupakan. Manusia kota
seperti tercerabut dari kebudayaan di mana dia dilahirkan. Tempat kelahirannya
seakan sama dengan daerah rantaunya.
Itu
sebabnya, di kota-kota besar di dunia kita sulit menandai seseorang hidup
bersama warna kampung kelahirannya. Karena ia telah menjadi metropolis.
Lalu
tradisi mudik yang hidup di Indonesia
setiap Lebaran Syawal, adalah memulangkan perantau kepada keasliannya: kampung
halaman atau kampung kelahiran. Tiap manusia merasa rindu pada aroma peluh sang
ibu. Karenanya, pulang adalah mengembalikan pada aroma yang sejak kecil melekat
di hidung manusia.
“Ibu
adalah tradisi musik itu sendiri,” kataku pada Fitri dan Adel. “Kalau Adel
besar nanti dan harus tinggal di lain kota,
tiap lebaran akan mudik ke mama dan papa. Mama juga akan mudik ke ibu,
sekiranya Ajeng tinggal di kampung,” lanjutku.
Aku
teringat sebuah puisi yang ditulis di lembar kartu pos yang dikirim temanku
saat Lebaran Syawal, dua tahun lalu. Karena aku suka sekali dengan puisi itu,
hingga hafal seluruhnya.
Temanku
itu adalah penyair. Untuk beberapa tahun ia tinggal di Jerman untuk sebuah recidence karya sastra. Lalu ia
mengirimkan kartu pos bergambar Tembok Berlin
dan ditulisnya puisi ini:
Ibu, jika aku datang padamu
karena lebaran, jauhkan jalan untukku
apabila aku menemuimu sebab tradisi tahunan
bentangkan saja mudik semakin jauh
tapi ibu, kalau aku bermudik ini ingin menuju
keberkahanmu bagi hidupku 11 bulan kemudian
dekatkan jalan, patahkan liku, lekatkan laut,
rendahkan ketinggian
dan keringkan peluhku oleh ikhlasmu...
Ibu, kaulah segala mudik[5]
karena lebaran, jauhkan jalan untukku
apabila aku menemuimu sebab tradisi tahunan
bentangkan saja mudik semakin jauh
tapi ibu, kalau aku bermudik ini ingin menuju
keberkahanmu bagi hidupku 11 bulan kemudian
dekatkan jalan, patahkan liku, lekatkan laut,
rendahkan ketinggian
dan keringkan peluhku oleh ikhlasmu...
Ibu, kaulah segala mudik[5]
*
BEBERAPA menit lagi takbir berkumandang. Ini puasa terakhir.
Tinggal lima
kilometer, kami harus membatalkan puasa karena adzan magrib. Segelas mineral
yang sudah kusiapkan di mobil, segera kusorongkan. Kemudian isteriku membuka kue
kaleng, dan memasukkan ke mulutku.
“Kita magriban di rumah aja ya?”
“Baiknya di jalan aja pa, kalau ketemu mushola,” ucap Fitri. Tiba-tiba
wajah ibu yang sedang sakit kembali mengusik.
Senyum ibu menyambut kedatangan kami. Ibu yang terbaring di
tempat tidur memelukku, Fitri, dan Adel. Tangis dan haru pun tumpah dari mata
dan hatiku.
“Ibu, maafkan Anwar yang jarang berkabar. Maafkan Anwar, baru
sekarang bisa pulang. Ini Adel dan ini isteriku Fitri…” kataku di dekat telinga
ibu.
Ibu ingin membuka matanya. Hanya sesaat, lalu mengatup
kembali. Selama ibu sakit, adikku yang perempuan mengurusnya. Untunglah suami
adikku sangat bijaksana, tak pernah mengeluh ditumpangi mertua. Dia pula yang
kerap mengantar dan menjemput ibu jika harus diopname di rumah sakit.
Kini usia ibu, aku memperkirakan, sudah lebih 87 tahun. Ibu
sering sakit-sakitan, terutama diabetesnya. Sejak dua tahun terakhir ini,
menurut adikku, ibu sudah harus disuntik setiap malam agar kadar gulanya tidak
naik. Dan adikku itulah yang menyuntik.
Malam Lebaran di kampung kelahiranku. Isteri dan anakku
sangat bahagia, meski suasana kampung tak seramai di Surabaya.
Hanya malam takbiran benar-benar lain dibanding di kota. Kalau di desa,
benderang dan riuh di tiap rumah. Sementara di kota begitu sepi, sebab ditinggal penduduknya
yang sedang mudik.
Empat tahun di Surabaya,
kami seperti menjadi satpam bagi tetangga yang mudik. Bahkan untuk Kota
Surabaya yang tiba-tiba hening, karena sebagian penduduknya adalah pendatang
dari kota dan
desa lain.
“Papa, lebaran nanti kita ke sini lagi ya? Enak lebaran di
kampung Ajeng, rame…” celetuk Adel. Lalu kembali ia ke beranda, menyaksikan
anak-anak yang bertakbiran keliling membawa beduk di gerobak, serta obor untuk
penerang. Mereka berkeliling kampung.
Aku tak mampu menjawab permintaan Adel. Ibu kembali terkulai.
Matanya tertutup, kedua bibirnya bergetar. Tanganku dan tangan ibu masih bergenggaman.
Kubisikkan syahadah di telinga ibu, bibir ibu bergerak.
Kedua adikku dan abangku membaca surah Yaasin. Begitu pula
isteriku. Malam takbiran melengkapkan khusyuk kami. Setiap takbiran
dikumandangkan, aku bikkan dua kalimat syahadat: laa ila ha ilallah, muhammaddar rasulullah…. La ila ha ilallah ilallah…
Sepanjang malam takbir aku tak tidur. Dari jelas dan dekat
suara takbiran, hingga jauh lalu senyap. Seusai salat subuh, ibu tak lagi bisa
menemani kami salat Idul Fitri dan berlebaran.
“Mungkin ini semua jadi firasat mama…” kataku setelah satu
langkah meninggalkan pemakaman ibu. “Mama begitu berkeras agar berlebaran di
dekat ibu, sampai-sampai aku minj….”
“Jangan teruskan papa. Maut, jodoh, dan rezeki sudah diatur
Tuhan. Dan Tuhan juga yang menggerakkan kita agar berlebaran di dekat ibu,
ternyata inilah rahasia-Nya.”
Lalu kami berpelukan. Lebaran kali ini tanpa ibu. Sebuah
lebaran yang benar-benar sempurna tanpa kedua orang tua. Karena itu, harap
maklum, jika tahun depan aku tak mengabulkan harapan Adel. Sebab mudik kepada
siapa aku, jika ibu dan bapak sebagai muaranya mudik sudah tiada?*
Kotabumi 18/8--Bandar Lampung 3/9/2012
[1] Way Abung, nama sungai (way)
yang ada di Kecamatan Abung Tinggi, Kotabumi, Lampung Utara. Daerah ini konon,
muasal orang Lampung beradat Abung yang ada di Kotrabumi. Di daerah ini ada
makam “bapak”-nya orang Lampung Abung yakni Minak Trio Diso dan isterinya yang
orang Semendo (Sumatera Selatan) bernama Rindang Sedayu.
[2] Lampung asli beradat Abung (pepadun) mendiami Kotabumi, Lampung Utara, dan
sebagai orang Lampung asli paling tua di daerah ini. Informasi ini saya peroleh
saat mengobrol untuk Jejak Islam Lampung LTV dengan Yusrizal, ST.,
ketua DPRD Lampung Utara.
[3] Way Tegineneng berada di Kabupaten
Pesawaran, keberadaan sungai ini antara Bandara Radin Inten II Branti-Gunung
Sugih-Metro. Sebenarnya Tegineneng berasal dari bahasa Lampung yaitu Teginonong
yang berarti tenang namun di dalam/dasarnya bergolak sehingga bisa
menghanyutkan. Tatkala dibahasa Indonesiakan menjadi Tegineneng, makna dan
pengertian menjadi lain bahkan tak bermakna.
[4] Dari percakapan dengan M. Saleh
Sulaiman Manan (kakak dari Bagir Manan) di Kalibalangan, arti dari Kalibalangan
ini adalah pintu masuk (dari Bandarlampung) ke Kotabumi. Daerah ini merupakan
bedol desa orang-orang Panaragan Tulangbawang (Barat) untuk berladang dan
berumah, yang mendapat persetujuan dari orang-orang Abung di daerah ini.
[5] Puisi ini belum ada judul, karya
Isbedy Stiawan ZS, yang dilempar di facebook
tertanggal 18 Agustus 2012 (30 Ramadhan 1433)
*) Sumber Lampung
Post, 16 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar