19 Februari 2013

Cerpen KARENA IBU




KARENA IBU           




Ibu, jika aku datang padamu
karena lebaran, jauhkan jalan untukku
apabila aku menemuimu sebab tradisi tahunan
bentangkan saja mudik semakin jauh
tapi ibu, kalau aku bermudik ini ingin menuju
keberkahanmu bagi hidupku 11 bulan kemudian
dekatkan jalan, patahkan liku, lekatkan laut,
rendahkan ketinggian
dan keringkan peluhku oleh ikhlasmu...

Ibu, kaulah segala mudik



SISA beberapa jam lagi, takbir berkumandang. Ini puasa terakhir, dan aku akan berbuka di jalan. Tiba-tiba wajah ibu yang sedang sakit semakin melekat di benakku. Senyum ibu yang menyambut kedatanganku dan cucunya, terasa di kelopak mataku.

"Sebentar lagi Ibu, aku akan sampai dan memelukmu. Sabarlah, tak lama kok aku sudah di pelukanmu," gumamku.

"Ini cucu ibu, wajahnya tak mengingkarimu. Ia manis seperti ibu."

Sudah empat kali lebaran Syawal sejak aku aku putuskan merantau sebab di kampung tak ada lagi yang bisa diharapkan untuk menyambung hidupku sebagai anak dan bujangan. Aku malu dicemooh tetangga sebagai bujang belum berguna, hidup hanya mengempeng dengan orang tua.

Pepatah para orang tua lebih baik merantau, di kampung tak ada gunanya pun berlaku bagi keyakinan kami. Itu sebabnya, para bujang—bahkwan perempuannya—seperti berlomba-lomba bedol desa, entah ke kota ataupun ke luar negeri mencari pekerjaan.

Aku salah satunya. Selepas SLTA aku tekadkan diri merantau ke Surabaya. Bermodal ijazah yang kumiliki itu, aku diterima bekerja di perusahaan swasta di bagian staff. Lalu aku hemat-hemat gaji, aku melanjutkan kuliah. Aku pun lulus strata satu. Akhirnya aku mendapat kepercayaan memegang jabatan di perusahaan swasta itu.

Aku seperti lesap ditelan kesibukan kota besar semacam Surabaya. Aku terlena mengorek-ngorek penghasilan untuk kubawa pulang pada tahun berikutnya. Tetapi naas, tabunganku di sebuah bank swasta dikeruk orang tak bertanggungjawab. Ludes sekitar 30 juta rupiah.

Aku kembali merintis pada tahun ketiga. Dibantu isteriku yang asli orang Surabaya karena ia juga bekerja di perusahaan lain. Dan hasilnya lumayan, sebagian yang aku bawa pulang untuk membahagiakan ibu.

Isteriku sangat bahagia tatkala kuajak pulang. Sejak kunikahi ia, Fitri tak pernah tahu wajah ibu. Saat aku menikah ibu tak bisa hadir karena sakit, begitu pula ayahku. Hanya Paklik Heri yang datang dan mewakili kedua orang tuaku.

Isteriku tentu kecewa karena ketidakhadiran kedua orang tuaku. Namun kemudian memaklumi, sebab siapa mau sakit?

“Aku senang, akhirnya aku bisa menemui ibu,” ujar Fitri.

“Amin….” kataku. “Jangan kaget ya rumahku lebih pantas sebagai gubuk…”

“Husst…” ia lalu mencubitku.

Sepanjang perjalanan, isteriku selalu meminta aku bercerita tentang kampung kelahiran. Bagaimana kampungku, apakah masih ada sawah, bebukitan, ilalang, dan sungai?

Aku tertawa-tawa kecil. Lucu sekali pertanyaannya. Ia mengira setiap kampung pasti ada sawah, bukit, ilalang, maupun sungai. Tetapi aku maklumi, Fitri lahir dan besar di kota. Dia tak pernah ke kampung atau daerah pedalaman.

Mungkin soal sungai, bukit, sawah, dan kerbau hanya dia ketahui dari matapelajaran menggambar dan mengarang. Memang semenjak SD, anak-anak Indonesia seperti diajarkan tentang menggambar dengan dua bukit lalu di antara bukit itu ada matahari, sawah, jalan di antara kedua sawah, sungai, serta pepohonan.

Pada pelajaran mengarang, guru juga akan memerintahkan anak-anak menulis tentang kampung dengan nuansa seperti itu pula. Seakan musykil sebuah kampung atau desa, ada bangunan puskesma, sekolah, dan yang berbau kota lainnya.

“Kalau itu yang kau tanya, di kampungku tak ada. Namun kita pasti melihat bukit atau bahkan gunung, sawah, hutan, dan sungai…” jawabku.

Lalu kujelaskan pada isteriku, kampungku bukan di pedalaman. Tidak begitu jauh dari pusat kabupaten. Meski matapencarian masyarakatnya adalah bertani, namun bukan petani padi. Melainkan ladang kopi.

“Tapi sebelum masuk kampungku, nanti kita akan meliwati Way Abung[1],” kataku lagi.

“Way? Apa itu, mas?”

“O ya aku lupa, way dalam bahasa orang kampungku adalah sungai atau air.”

“Wah, namanya bagus sekali. Way Abung…”

“Ya, Abung adalah salah satu marga adat dari orang Lampung asli di Kotabumi[2],” jelasku sekadarnya, karena aku tak begitu faham soal suku atau adat.

Tatkala kami meliwati Way Abung, isteri dan anakku benar-benar terpesona. Mereka berulang berdecak kagum, entah sebab baru pertama melihat sungai atau sudah terhanyut oleh ceritaku. Padahal, sebelumnya kami telah meliwati Way Tegineneng[3] dan beberapa way lain di Gunung Sugih maupun Kalibalangan[4] namun tak membuat pesona isteri dan anakku.

“Besok pagi, Adel mau mandi Way Abung ya papa?” pinta anakku yang baru berusia 4 tahun.

Aku mengangguk.

“Bener?”

Lagi-lagi aku mengangguk.

“Horeee…. Kita mandi di Way Abung… Tapi ada kolamnya gak pa, ada water boom?”

Aku tertawa, lalu menggeleng.

“Ini kan sungai Adel, bukan kolam renang seperti di Surabaya…”

Adel hanya tersenyum. Entah faham atau tidak.

*

KARENA ibu kukayuh jalan bermil-mil, menggunting laut, merobek angkasa. Hanya untuk sungkem.

Aku mudik ibu, sebab hanya wajahmu tergambar dalam kartu Idul Fitri. Aku pulang ibu, karena dalam mudik itu senyummu yang memanggil. Sekiranya tak ada tradisi mudik, barangkali orang sudah melupakan ibu dan kampung halaman.

Kalau sudah tak ada ibu—juga kampung halaman—apakah aku tetap akan mudik? Pulang untuk siapa? Bagi ayah, abang dan adik, handaitaulan serta teman semasa kecil?

Aku tak bisa bayangkan, barangkali juga kau, betapa mudik akan terus ada tiap tahun. Sebab orang punya kerinduan, menyimpan kenangan, dan semacam itu.

Kesumpekan di perantauan, seperti kota-kota besar Jakarta, Surabaya, Jogjakarta, Medan, Makassar, membuat manusia diteror kesuntukan dan cemas tak mengenal lagi kampung halaman.

Sehingga kampung halaman, yang katanya, selalu ada dan dibawa dalam diri setiap manusia menjadi hilang dan terlupakan. Manusia kota seperti tercerabut dari kebudayaan di mana dia dilahirkan. Tempat kelahirannya seakan sama dengan daerah rantaunya.

Itu sebabnya, di kota-kota besar di dunia kita sulit menandai seseorang hidup bersama warna kampung kelahirannya. Karena ia telah menjadi metropolis.

Lalu tradisi mudik yang hidup di Indonesia setiap Lebaran Syawal, adalah memulangkan perantau kepada keasliannya: kampung halaman atau kampung kelahiran. Tiap manusia merasa rindu pada aroma peluh sang ibu. Karenanya, pulang adalah mengembalikan pada aroma yang sejak kecil melekat di hidung manusia.

“Ibu adalah tradisi musik itu sendiri,” kataku pada Fitri dan Adel. “Kalau Adel besar nanti dan harus tinggal di lain kota, tiap lebaran akan mudik ke mama dan papa. Mama juga akan mudik ke ibu, sekiranya Ajeng tinggal di kampung,” lanjutku.

Aku teringat sebuah puisi yang ditulis di lembar kartu pos yang dikirim temanku saat Lebaran Syawal, dua tahun lalu. Karena aku suka sekali dengan puisi itu, hingga hafal seluruhnya.

Temanku itu adalah penyair. Untuk beberapa tahun ia tinggal di Jerman untuk sebuah recidence karya sastra. Lalu ia mengirimkan kartu pos bergambar Tembok Berlin dan ditulisnya puisi ini:

Ibu, jika aku datang padamu
karena lebaran, jauhkan jalan untukku
apabila aku menemuimu sebab tradisi tahunan
bentangkan saja mudik semakin jauh
tapi ibu, kalau aku bermudik ini ingin menuju
keberkahanmu bagi hidupku 11 bulan kemudian
dekatkan jalan, patahkan liku, lekatkan laut,
rendahkan ketinggian
dan keringkan peluhku oleh ikhlasmu...

Ibu, kaulah segala mudik[5]

*

BEBERAPA menit lagi takbir berkumandang. Ini puasa terakhir.

Tinggal lima kilometer, kami harus membatalkan puasa karena adzan magrib. Segelas mineral yang sudah kusiapkan di mobil, segera kusorongkan. Kemudian isteriku membuka kue kaleng, dan memasukkan ke mulutku.

“Kita magriban di rumah aja ya?”

“Baiknya di jalan aja pa, kalau ketemu mushola,” ucap Fitri. Tiba-tiba wajah ibu yang sedang sakit kembali mengusik.

Senyum ibu menyambut kedatangan kami. Ibu yang terbaring di tempat tidur memelukku, Fitri, dan Adel. Tangis dan haru pun tumpah dari mata dan hatiku.

“Ibu, maafkan Anwar yang jarang berkabar. Maafkan Anwar, baru sekarang bisa pulang. Ini Adel dan ini isteriku Fitri…” kataku di dekat telinga ibu.

Ibu ingin membuka matanya. Hanya sesaat, lalu mengatup kembali. Selama ibu sakit, adikku yang perempuan mengurusnya. Untunglah suami adikku sangat bijaksana, tak pernah mengeluh ditumpangi mertua. Dia pula yang kerap mengantar dan menjemput ibu jika harus diopname di rumah sakit.

Kini usia ibu, aku memperkirakan, sudah lebih 87 tahun. Ibu sering sakit-sakitan, terutama diabetesnya. Sejak dua tahun terakhir ini, menurut adikku, ibu sudah harus disuntik setiap malam agar kadar gulanya tidak naik. Dan adikku itulah yang menyuntik.

Malam Lebaran di kampung kelahiranku. Isteri dan anakku sangat bahagia, meski suasana kampung tak seramai di Surabaya.
Hanya malam takbiran benar-benar lain dibanding di kota. Kalau di desa, benderang dan riuh di tiap rumah. Sementara di kota begitu sepi, sebab ditinggal penduduknya yang sedang mudik.

Empat tahun di Surabaya, kami seperti menjadi satpam bagi tetangga yang mudik. Bahkan untuk Kota Surabaya yang tiba-tiba hening, karena sebagian penduduknya adalah pendatang dari kota dan desa lain.

“Papa, lebaran nanti kita ke sini lagi ya? Enak lebaran di kampung Ajeng, rame…” celetuk Adel. Lalu kembali ia ke beranda, menyaksikan anak-anak yang bertakbiran keliling membawa beduk di gerobak, serta obor untuk penerang. Mereka berkeliling kampung.

Aku tak mampu menjawab permintaan Adel. Ibu kembali terkulai. Matanya tertutup, kedua bibirnya bergetar. Tanganku dan tangan ibu masih bergenggaman. Kubisikkan syahadah di telinga ibu, bibir ibu bergerak.

Kedua adikku dan abangku membaca surah Yaasin. Begitu pula isteriku. Malam takbiran melengkapkan khusyuk kami. Setiap takbiran dikumandangkan, aku bikkan dua kalimat syahadat: laa ila ha ilallah, muhammaddar rasulullah…. La ila ha ilallah ilallah…

Sepanjang malam takbir aku tak tidur. Dari jelas dan dekat suara takbiran, hingga jauh lalu senyap. Seusai salat subuh, ibu tak lagi bisa menemani kami salat Idul Fitri dan berlebaran.

“Mungkin ini semua jadi firasat mama…” kataku setelah satu langkah meninggalkan pemakaman ibu. “Mama begitu berkeras agar berlebaran di dekat ibu, sampai-sampai aku minj….”

“Jangan teruskan papa. Maut, jodoh, dan rezeki sudah diatur Tuhan. Dan Tuhan juga yang menggerakkan kita agar berlebaran di dekat ibu, ternyata inilah rahasia-Nya.”

Lalu kami berpelukan. Lebaran kali ini tanpa ibu. Sebuah lebaran yang benar-benar sempurna tanpa kedua orang tua. Karena itu, harap maklum, jika tahun depan aku tak mengabulkan harapan Adel. Sebab mudik kepada siapa aku, jika ibu dan bapak sebagai muaranya mudik sudah tiada?*

Kotabumi 18/8--Bandar Lampung 3/9/2012


 






[1] Way Abung, nama sungai (way) yang ada di Kecamatan Abung Tinggi, Kotabumi, Lampung Utara. Daerah ini konon, muasal orang Lampung beradat Abung yang ada di Kotrabumi. Di daerah ini ada makam “bapak”-nya orang Lampung Abung yakni Minak Trio Diso dan isterinya yang orang Semendo (Sumatera Selatan) bernama Rindang Sedayu.
[2] Lampung asli beradat Abung (pepadun) mendiami Kotabumi, Lampung Utara, dan sebagai orang Lampung asli paling tua di daerah ini. Informasi ini saya peroleh saat mengobrol untuk Jejak Islam Lampung LTV dengan Yusrizal, ST., ketua DPRD Lampung Utara. 
[3] Way Tegineneng berada di Kabupaten Pesawaran, keberadaan sungai ini antara Bandara Radin Inten II Branti-Gunung Sugih-Metro. Sebenarnya Tegineneng berasal dari bahasa Lampung yaitu Teginonong yang berarti tenang namun di dalam/dasarnya bergolak sehingga bisa menghanyutkan. Tatkala dibahasa Indonesiakan menjadi Tegineneng, makna dan pengertian menjadi lain bahkan tak bermakna.
[4] Dari percakapan dengan M. Saleh Sulaiman Manan (kakak dari Bagir Manan) di Kalibalangan, arti dari Kalibalangan ini adalah pintu masuk (dari Bandarlampung) ke Kotabumi. Daerah ini merupakan bedol desa orang-orang Panaragan Tulangbawang (Barat) untuk berladang dan berumah, yang mendapat persetujuan dari orang-orang Abung di daerah ini.
[5] Puisi ini belum ada judul, karya Isbedy Stiawan ZS, yang dilempar di facebook tertanggal 18 Agustus 2012 (30 Ramadhan 1433)





  *) Sumber Lampung Post, 16 September 2012

Tidak ada komentar: