Pati Pejurit
NAMAKU Pejurit. Orang tuaku memberi nama itu agar kelak aku
dewasa menjadi manusia perkasa. Sebagaimana para prajurit, aku diharapkan dapat
menjaga wilayah kekuasaan ayahku dari serangan musuh.
Aku terlahir dari orang tua beragama Hindu. Sebab keyakinan itu yang hidup di zamanku saat itu di sebuah kampung yang diapit dua way datang dari arus satu sungai Tulangbawang.
Tetapi begitu remaja, aku tergoda untuk meninggalkan agama yang dianut oleh ayahku: (Tuanku) Rio Mangku Bumi. Aku selalu dikepung gelisah, aku selalu ingin mencari tahu bagaimana bisa hidup tenang? Seperti ada sinar dari langit yang datang dari seberang selat.
Aku terlahir dari orang tua beragama Hindu. Sebab keyakinan itu yang hidup di zamanku saat itu di sebuah kampung yang diapit dua way datang dari arus satu sungai Tulangbawang.
Tetapi begitu remaja, aku tergoda untuk meninggalkan agama yang dianut oleh ayahku: (Tuanku) Rio Mangku Bumi. Aku selalu dikepung gelisah, aku selalu ingin mencari tahu bagaimana bisa hidup tenang? Seperti ada sinar dari langit yang datang dari seberang selat.
Aku yakin di sanalah aku akan memeroleh kedamaian. Aku pamit
mau menyeberang. Kusiapkan sampan. Kualiri arus Sungai Tulangbawang, dan
tibalah di Teluk Lampung bernama Way Lunik (sungai kecil). Dari sana kuseberangi Selat
Sunda dan berlabuh di pantai Banten.
Bertahun-tahun aku berguru di Banten. Bertahun-tahun pula kudalami ilmu dunia dan agama. Aku tergoda untuk mengikuti ajaran yang dianut orang Banten. Katanya, agama yang mereka peluk datang dari Tanah Suci. Aku pun berikrar dua kalimah syahadat. Memeluk Islam.
Semula kedatanganku ke tanah Banten ingin berguru kanuragan dan menjalin persahabat untuk suatu masa mungkin bisa minta bantuan untuk membalas dendam kekalahan ayahku (Tuan) Rio Mangku Bumi dari Kerajaan Palembang. Atau sebaliknya, Banten meminta bantuan pada orang Lampung jika sedang berhadapan dengan lawan.
Begitu aku telah memeluk Islam, dendam itu pun terbenam. Aku memaafkan. Bahkan aku hendak melanjutkan mendalami agama ke Mekah. Sebelum ke tanah kelahiran para nabi dan rasul tersebut, aku sempat belajar di Cina. Tanah Tiongkok sudah kuketahui dari cerita ayah, tentang seorang pejangga yang menyebut To-lang Pohwang.
Di Mekah aku dalami al-Quran dan al-Hasdist, serta tasauf untuk mencapai Hakikat: puncak tertinggi sebagai manusia bertakwa.
Setelah waktu yang kuanggap cukup menetap di Tanah Suci, aku pun pulang ke Tolang-Pohwang. Sebelum tiba di tanah Pagar Dewa, aku menyempatkan singgah di Kerajaan Palembang. Bukan untuk membalas dendam karena ayahku ditawan dan bukan pula ingin membawa pulang ayah dari tawanan, melainkan aku menyebarkan agama yang baru kudalami.
Setelah dari tanah Palembang aku mampir di lereng Gunung Pesagi, pusatnya Kerajaan Skala Beghak (baca: Skala Brak) kuno yang masih menganut animisme, sebelum kedatangan empat Umpu dari Pagaruyung menyebarkan Islam.
Setelah itu aku pulang ke tanah Pagar Dewa, tumpah-darah kelahiranku. Aku memulai menjaga adat dan menjadi orang pertama di sini menyebarkan Islam. Aku pun raja terakhir dan raja pertama memeluk Islam di Kerajaan Tulangbawang. 1)
Aku bangun dan jaga tradisi agar tetap lestari, kendati Hindia Belanda berupaya memecahbelah melalui kebudayaan tersebut. Bersama marga-marga lain di adat Pepadun bersepakat mempertahan adat-tradisi di tanah Lampung.
Bertahun-tahun aku berguru di Banten. Bertahun-tahun pula kudalami ilmu dunia dan agama. Aku tergoda untuk mengikuti ajaran yang dianut orang Banten. Katanya, agama yang mereka peluk datang dari Tanah Suci. Aku pun berikrar dua kalimah syahadat. Memeluk Islam.
Semula kedatanganku ke tanah Banten ingin berguru kanuragan dan menjalin persahabat untuk suatu masa mungkin bisa minta bantuan untuk membalas dendam kekalahan ayahku (Tuan) Rio Mangku Bumi dari Kerajaan Palembang. Atau sebaliknya, Banten meminta bantuan pada orang Lampung jika sedang berhadapan dengan lawan.
Begitu aku telah memeluk Islam, dendam itu pun terbenam. Aku memaafkan. Bahkan aku hendak melanjutkan mendalami agama ke Mekah. Sebelum ke tanah kelahiran para nabi dan rasul tersebut, aku sempat belajar di Cina. Tanah Tiongkok sudah kuketahui dari cerita ayah, tentang seorang pejangga yang menyebut To-lang Pohwang.
Di Mekah aku dalami al-Quran dan al-Hasdist, serta tasauf untuk mencapai Hakikat: puncak tertinggi sebagai manusia bertakwa.
Setelah waktu yang kuanggap cukup menetap di Tanah Suci, aku pun pulang ke Tolang-Pohwang. Sebelum tiba di tanah Pagar Dewa, aku menyempatkan singgah di Kerajaan Palembang. Bukan untuk membalas dendam karena ayahku ditawan dan bukan pula ingin membawa pulang ayah dari tawanan, melainkan aku menyebarkan agama yang baru kudalami.
Setelah dari tanah Palembang aku mampir di lereng Gunung Pesagi, pusatnya Kerajaan Skala Beghak (baca: Skala Brak) kuno yang masih menganut animisme, sebelum kedatangan empat Umpu dari Pagaruyung menyebarkan Islam.
Setelah itu aku pulang ke tanah Pagar Dewa, tumpah-darah kelahiranku. Aku memulai menjaga adat dan menjadi orang pertama di sini menyebarkan Islam. Aku pun raja terakhir dan raja pertama memeluk Islam di Kerajaan Tulangbawang. 1)
Aku bangun dan jaga tradisi agar tetap lestari, kendati Hindia Belanda berupaya memecahbelah melalui kebudayaan tersebut. Bersama marga-marga lain di adat Pepadun bersepakat mempertahan adat-tradisi di tanah Lampung.
*
HAJI Pejurit namaku. Orang-orang sering menyapaku dengan Minak Pati Pejurit, sedangkan yang lainnya memanggilku Minak Kemala Bumi, Haji Pejurit Hidayatullah, dan banyak lagi panggilan. Untuk yang terakhir ini adalah gelarku.
HAJI Pejurit namaku. Orang-orang sering menyapaku dengan Minak Pati Pejurit, sedangkan yang lainnya memanggilku Minak Kemala Bumi, Haji Pejurit Hidayatullah, dan banyak lagi panggilan. Untuk yang terakhir ini adalah gelarku.
Orang Lampung biasa dengan gelar di belakang namanya. Seperti
aku, namaku Pejurit. Karena adat aku diberi gelar Minak Kemala Bumi. Sehingga lengkapnya
namaku; Haji Minak Pati Pejurit gelar Minak Kemala Bumi. Aku pemimpin adat atau
marga, dan lainnya menyebutkan Raja dari Kerajaan Tulangbawang.
Sebagai
Raja Tulangbawang, aku dinisbahkan oleh ayahku Tuan Rio Mangku Bumi. Sedikit
cerita tentang keluargaku. Anak Tuan Rio Mangku Bumi, Raja Tulangbawang pada
zaman animisme-Hindu memunyai tiga putra.
Putra
pertama adalah aku yang menurunkan orang Pagar Dewa. Putra kedua menurunkan
orang Menggala, dan ketiga yang menurunkan orang Panaragan. Orang tuaku sebelum
mangkat, memberi wasiat tiga kotak: aku mendapatkan berupa tanah, sedangkan
anak kedua dan ketiga atau kedua adikku, memeroleh kotak berisi emas, besi dan
kertas.
Aku
sempat protes pada orang tuaku, Tuan Rio Mangku Bumi. Aku tidak terima, kenapa
sebagai anak tertua hanya mendapat warisan berupa tanah? Kenapa bukan emas,
besi dan kertas?
Ternyata
setelah aku tahu kemudian, tanah adalah simbol dari kekuasaan. Aku mewariskan
titah orang tuaku sebagai Raja Tulangbawang. Tanah juga bermakna bahwa di
dalamnya tersimpan emas, besi, dan kertas. Apabila kita mau dan mampu mengolah
tanah, niscaya emas, besi, ataupun kertas bisa diperoleh.
Karena
protes itu, akhirnya aku seperti dikutuk: hanya menunggu tiyuh (kampung) yang kerontang ini. Sampai-sampai tiyuh Pagardewa ini sampai kini bagaikan
kampung mati, lantaran ditinggal warganya merantau ke kota.
Banyak
rumah panggung yang roboh sebab tidak dirawat ataupun ditunggu. Rumah-rumah
panggung itu banyak pula yang tinggal tiang-tiang penyangga saja. Dinding dan
atapnya entah sudah ke mana. Kampung Pagardewa seperti menatap sunyi Sungai
Tulangbawang yang airnya berwarna kecoklatan.
Sementara
kedua adikku: orang Panaragan dan Menggala hidup lumayan baik. Bahkan, Menggala
menjadi ibukota Kabupaten Tulangbawang, dan Panaragan juga hidup layak. Dan
aku, sebagai kakak tertua, selalu tertinggal. Kampung Pagardewa seperti
terisolir, tak ada pembangunan berarti. Lampu penerang pun tak sampai ke mari.
Alangkah mahaduka…
*
AKU
terlahir dari sebuah kampung bernama Pagar Dewa. Kenapa dinamakan Pagar Dewa?
Banyak cerita yang membungkusnya. Misalnya, di kampung ini banyak makam para
kstaria, menteri raja, dan raja: Tuan Rio Mangkubumi.
Disebut
Pagar Dewa karena kampung ini didiami para dewa—maksudnya orang-orang lebih
(perkasa)—selain maknanya adalah tempat pembunuhan, saling bebrunuh, sehingga
di daerah ini banyak pekuburan. Makna lain adalah tempat para ningrat atau raja
bertahta.
Jika dilihat dari atas, Pagar
Dewa dilingkungi oleh kuburan keramat. Menurut anggapan masyarakat, sama halnya
dengan dewa karena kesaktian mereka dan mukjizat para dewa. Jadi Pagar Dewa adalah
kampung yang dikelilingi oleh dewa dewa.
Dan, aku
adalah raja terakhir sekaligus raja pertama yang beragama Islam. Istriku Ratu
Balau, kupinang dari Negeri Balau di Kedaton. Bukan mudah aku meminang putri
Balau tersebut. Aku harus bersampan dari Tulangbawang dan mendarat di perairan
Teluklampung yakni Waylunik.
Negeri
Balau dijaga para hulubalang sejak Waylunik. Masih hutan belantara. Binatang
buas berkeliaran. Aku coba untuk memasuki penjagaan, namun terlalu ketat pagar
betisnya. Seluruh pohon laksana manusia: bergerak-gerak dan ingin segera
menyergapku.
Bagaimana
caranya mengeluabui para hulubalang yang menjaga sangat ketat itu? Aku cari
muslihat. Aku tangkap seekor rusa, aku bakar dengan api panggang. Kebetulan ada
orang mati, lalu kuseret agar mendekat denganku.
Daging
rusa pun matang. Aku makan. Ternyata dikira para penjaga itu aku sedang memakan
daging manusia. Lalu tersebarlah kabar bahwa “ulun Pagar Dewa mengan jimou.”
2)
Aku pun
mendapat kemudahan memasuki Negeri Balau. Aku pinang putrinya, dan kuajak ke
tanah Banten. Istriku akhirnya meninggal di Pagar Dewa, sampai meninggal dan
dimakamkan di Pagar Dewa.
Minak
Pati Pejurit atau Minak Kemala Bumi adalah namaku. Dua nama namun satu orang;
yang menurunkan orang-orang Pagar Dewa. Karena aku adalah raja terakhir,
Tulangbawang tahun-tahun selanjutnya tak ada lagi seorang raja.
Meskipun sejarah
kemudian menyebutkan, di Tulangbawang tak ada raja. Karena sisa-sisa
peninggalan yakni berupa puing istana ataupun senjata dan warisan lainnya tak
ditemukan, namun masyarakat Pagar Dewa—bahkan Tulangbawang umumnya—tetap
mengakui adanya raja di sini. Akulah raja terakhir pada masa Islam masuk.
Meski
baru kini aku menyesal, kenapa aku protes saat mendapatkan warisan hanya berupa
sekepal tanah dari orang tuaku, Tuan Rio Mangku Bumi. Padahal, sekiranya aku
tak tamak—benarkah aku tamak?—dan kuterima warisan yang memang itulah rezekiku,
niscaya aku mampu menguak filosofi di balik pemberian tersebut.
Sebagaimana
dongeng Sri saat diperintahkan ibunya agar memasak bulir padi namun jangan
dibuka atau dilihat sebelum matang. Sri penasaran lalu dibukalah tutup tempat
masak itu. Apa yang terjadi? Sampai kini manusia harus menumbuk padi menjadi
beras sebelum dimasak.
Aku
meninggal dunia bukan di medan
pertempuran, baik melawan Kerajaan Palembang atau dari negeri lain. Karena
usiaku yang sudah tak bisa lagi apa-apa, dan harus mengahadap Illahi. Seperkasa
apa pun manusia, sekstaria bagaimana manusia. Suatu saat ia akan dipanggil
Tuhan.
Maka
makamku dijaga oleh keturunanku di Pagar Dewa. Sekitar 30 meter dari makam
istriku, Ratu Balau. Atau sekitar 200 meter dari makam Tuan Rio Mangku Bumi,
ayahku, yang masih beragama animisme.
Sejak
itu, tak ada lagi kerajaan di Tulangbawang. Tetapi yang ada, dan ini adalah
rintisanku adalah marga-marga. Ada
empat marga atau yang lazim disebut mego
pak. Ke empat marga itu yakni Pagar Dewa (Marga Tegam o’an), Buay Bulan,
Sway Umpu, Marga Haji.
Orang-orang
boleh meniadakan keberadaanku semasa hidup. Boleh pula tak mengakui adanya
kerajaan di Tulangbawang, dalam hal ini berpusat di Pagar Dewa.
Masih banyak lagi keanehan dan keganjilan. Tetapi, entah kenapa, aku tidak hendak ditahbis sebagai raja. Aku adalah Haji Pejurit Hidayatullah, seorang ulama yang menyebarkan ajaran Islam di kampung ini: orang Lampung!
Pagar Dewa-Bandarlampung, Januari-Februari 2012
1)
nama sungai sekaligus nama kabupaten: Tulangbawang dan
Tulangbawang Barat setelah pemekaran
2)
orang Pagar Dewa makan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar