RINDANG SEDAYU
CINTA
Betapa
tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka. Semenjak Tuhan
ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang
kemudian diberinya nama Adam.
Tuhan
menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan juga—tentu
pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti
ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin
perempuan. Namanya Hawa.
Hawa
dicipta bukan dari tulang rusuk lelaki—yaitu Adam—seperti kerap kalian dicekoki
selama ini. Tuhan tak perlu harus mencopot satu tulang rusuk Adam hanya untuk
mencipta Hawa. Apa guna kun fayakun-Nya?
Setelah
kedua manusia pertama itu dicipta, mulailah benih-benih cinta tumbuh di dalam
tubuh mereka. Mengalir bagai air, berkecambah layaknya biji. Lalu mengakar dan
menjadi pohon. Pohon cinta.
Karena
cinta, Tuhan memerintahkan kedua makhluk manusia itu menempati surga. Alangkah
indahnya taman eden
itu. Betapa kalian tak perlu bekerja banting badan, memutar tubuh, mengubah
letak kaki menjadi tangan dan sebaliknya. Di taman surga, segala sudah
tersedia.
Buah-buah
anggur nan manis, apel dan lezat. Bahkan pula, sungai yang di dalamnya sebagaimana
dikatakan Chairil Anwar: mengalir susu. Bayangkan, kalian tak perlu ke luar
surga jika hendak meminum susu. Apatah lagi menginginkan daging, tentulah sudah
tersedia.
Bahkan, tak kalian lihat perempuan
dan lelaki menjadi tua-keriput. Para wanita adalah bidadari, sedangkan
lelakinya ialah pangeran nan tampan. Para ustad akan menggambarkan
kira-kira seperti itu di hadapan umatnya.
Itulah
cinta Tuhan kepada Adam dan Hawa. Dia tempatkan kedua manusia pertama hasil
perdebatan-Nya dengan malaikat dan iblis saat-saat berencana mencitpa manusia
untuk menjadi “wakil-Nya” di muka bumi. Untuk sementara kedua pasang manusia
itu digodok di dalam surga, sebelum menjalani kehidupan yang sesungguhnya di
bumi.
Sudah
suratan, Adam dan Hawa tergoda rayuan iblis. Setan memang mendapat lisensi
untuk bisa mendengar yang paling rahasia sekalipun di langit. Maka karena Adam
dan Hawa boleh hidup sesukanya di surga, hanya satu catatan usah dekati
(bayangkan, hanya mendekati!) salah satu pohon yang tumbuh di dalam surga,
apatah lagi memetik buahnya yang bernama khuldi.
Lalu
iblis merayu Adam. Dia tak tergoda, sebab Adam mencintai Tuhan yang telah
menciptakannya. maka iblis tak habis rayu. Didekati Hawa. Dia bisikkan ke
telinga perempuan, yang konon ditakdirkan memiliki perasaan lebih besar
ketimbang perhitungan akal, bahwa pohon itu tak masalah kalau hanya didekati.
Lalu Hawa
mendekati. Adam melarang tersebab cinta. Dibujuknya sang kekasih itu agar
jangan mendekat apa yang telah dilarang Tuhan.
“Pohon
ini indah sekali, aku takjub. Buahnya amat memesona,” ujar Hawa makin mendekati
pohon itu.
Dan iblis
makin melancarkan tipudayanya. Dibisikkan lagi ke telinga kiri Hawa: sekiranya
buah itu dipetik lalu segera makan, abadilah kalian berdua di surga ini. Untuk apa menetap di bumi, jika apa yang
kami—iblis, malaikat—nuzumkan akan terjadi pertumpahan darah? Apakah tidak
ingin kalian tinggal di sini hingga kiamat, tanpa bekerja keras untuk
menghidupi diri dan keturunan sebagaimana jika berada di bumi?
Hawa kian
mabuk oleh rayu-bujuk. Dia dekati teman hidupnya, dia katakan kalau yang diuapkan
makhluk asing itu benar adanya. Siapa pun mau hidup abadi, tak mengalami
kematian, menetap bahagia berlimpah buah, makanan, serta minuman.
Adam
mulai mengerjap-ngerjakan matanya. Lidahnya keluar masuk, jakunnya naik turun,
ludahnya mengences. Ingin sekarali
rasanya mencicipi buah dari satu pohon yang Tuhan larang itu.
Kisah
Adam dan Hawa adalah karena cinta. Mereka dikeluarkan dari surga lalu
diturunkan ke bumi secara berpisah, juga agar keduanya menemui cintanya. Di
Bukit Rahma, setelah beratus-ratus tahun sejak keduanya diturunkan bisa
bertemu.
Bukit
Rahma atawa “bukit cinta” yang
kemdian menjadi simbol bagi pertemuan seluruh jamaah haji (juga umroh) untuk
bermalam. Di Padang Arafah untuk berwukuf, sebelum melempar jumroh.
*
KECANTIKAN
Beruntunglah
aku dilahirkan menjadi perempuan cantik. Bersyukurlah aku dititahkan untuk
memimpin sekumpulan orang di wilayah ini. Tetapi, berwajah cantik tanpa
memiliki cinta, adakah hidup menjadi gempita?
Namaku
Rindang Sedayu. Rambutku memanglah rindang layaknya tubuh cemara. Aku ayu atau
dayu, maka kedua orang tuaku menyebutnya Sedayu.
Di
kelompok semendo ini akulah ratu. Aku memimpin rakyatku penuh bijaksana dan
lemah lembut. Namun aku tegas dan keras di hadapan kerajaan lain ataupun lawan.
Aku sakti. Itu sebabnya, aku berani menetap di Canguk[1] bukan di tanah
orang semendo, yakni Sumatera Selatan.
Tetapi,
benarkah kami tak punya tanah kelahiran sehingga berpindah ke dekat arus Way
Abung[2]? Lalu menetap,
mungkin, hingga turun-temurun. Orang Semendo juga mendapat tanah untuk
berkebun, terutama kopi, cengkih, dan lada.
Kami diterima
di daerah ini dan memiliki kampung. Cuma bukan sebagaimana kaum Yahudi yang mencaplok
tanah Palestina setelah berpindah-pindah dari berbagai negera!
Kalau
ditanya apakah kami orang Lampung? Kami akan mengangguk, sebab kami meminum dan
mencari makan dari tanah Lampung. Namun, darah yang mengalir di tubuh kami
tetaplah darah Semendo.
Dan!
Asimiliasi juga berlangsung. Orang Semendo bisa menikah dengan orang Lampung.
Begitu sebaliknya, orang Lampung mengambil perempuan Semendo. Walaupun kadang
perkawinan ini diawali dengan ketidaksetujuan di dua pihak keluarga.
Aku
Rindang Sedayu. Seluruh pria di daerah ini terpesona pada kecantikanku. Negeri
tetangga baik yang jauh ataupun dekat, juga memuji paras dan ingin menjadikan
aku sebagai isteri.
Tidak
kecuali, Minak Trio Diso. Pengiran dari lereng Canguk. Dia amat tergila-gila, ingin
menyuntingku menjadi permaisurinya.
O tidak!
Aku adalah ratu bagi orang-orang Semendo di Canguk ini. Kedudukanku setingkat
dengan Minak Trio Diso. Apa kata warga Semendo jika aku menjadi permaisuri Trio
Diso? Keratuan Semendo di sini akan hilang. Titah keratuan tidak bisa
diturunkan kepada anak-anak cucuku. Putus tali titah.
Sebagai
perempuan nan cantik sekaligus ratu bagi orang Semendo di Canguk ini, tak
heranlah banyak pria ingin menyuntingku. Mereka hendak kepercik anugerah. Ingin
dipandang tak sebelah mata oleh masyarakat lantaran bersuami seorang Ratu.
Kehadiran
kami di Canguk dianggap membawa permusuhan, terutama dari orang-orang Minak
Trio Diso. Itulah muasal permusuhan di antara kami. Pertikaian kerap
berlangsung, baik siang maupun malam. Perang di lereng, di bukit, atau di dekat
aliras Sungai Abung.
Darah
mengaliri way. Mayat bergelimpangan di hutan, di ladang, di tepi sungai,
ataupun di lereng dan bebukitan.
“Kita
datang jauh-jauh dari Selatan. Hutan sudah kita masuki dan keluar, sungai kita
susuri bersampan, binatang buas ditundukkan, serta alam yang mengancam kita
tekuk di kaki. Apakah harus menyerah di Canguk ini di tangan mereka?” kataku
pada hulubalang.
Hulubalang
berseru: “Tidak!”
“Kita
datang dan menempati lahan ini untuk berhuma. Kita ditakdirkan oleh alam mesti
hidup dan beranak-cucu di daerah ini, lalu bolehlah menyebar menuju lahan
kosong yang baru. Kenapa pula kita harus kalah?” lanjutku.
“Segala
jiwa dan tenaga kami, untuk puan Rindang Sedayu….” balas hulubalang dan
masyarakat.
Maka kami
tetap bertahan di Canguk. Tak seinci tanah pun kami mau mundur. Jika Minak Trio
Diso datang menyerang, parang-parang kami akan menghadang. Apabila Minak Trio
Diso menyerbu wilayah kami, kaki-kaki kokoh bagai kaki kuda dan siap
memuantahkan debu.
Memang
Minak Trio Diso tak bisa dipandang remeh. Dia sakti mandradiguna. Tuturkatanya
mampu menidurkan orang. Sekali erang, badiknya[3] bagai kilat
mendarat di badan musuh. Hentakkan bagaikan tendangan kuda jantan yang lapar:
sekali tendang musuh bisa terbang ke seberang way.
Perawakan
Minak Trio Diso tinggi besar. Urat badannya menonjol seperti sebentang kawat.
Dan ototnya keras, kulitnya putih sebersih sutera. Tiada berminyak.
Selain
itu, Minak Trio Diso tampan wajahnya. Perempuan mana tak akan jatuh dalam
pelukannya karena pesonanya?
Aku
mengakui itu. Aku terpesona.
Ah,
tidak! Tak sudi aku besuami dia, meski akan jadi permaisurinya. Apalagi seluruh
keluargaku tak merestui jika aku disuntingnya. Terutama kakak-kakaku menolak.
Mereka siap berkubur tanah untuk mempertahankan diriku.
“Aku siap
bertarung dengan Minak Trio Diso. Kalah atau menang, kamu tetap tak boleh
menjadi isterinya. Apa kata rakyat Semendo, Rindang Sedayu mau dipersunting
orang Canguk? Ini memalukan, jauh-jauh dari seberang hutan namun kalah di sini
dengan orang sini?” kata kakak tertuaku yang diaminkan kakak kedua.
“Kecantikanmu,
ananda, bisa mendatangkan raja dari Malaya
sekalipun…” bisik ayahanda.
Ibunda ikut
berujar: “Kau putriku satu-satunya, cantik pula. Rindang Sedayu ditakdirkan
menjadi pemimpin bagi orang Semendo. Tak baik mengelak dari takdir…”
*
MUSYAWARAH
Dan perang
tak juga henti. Kedua belah pihak tak ikhlas melucuti senjata masing-masing. Canguk
cekam. Way Abung mencatat setiap mayat hanyut dan darah mengalir.
Warna
daun bercampur merah. Tanah basah. Udara gerah. Badik dan parang menari dan
bergemirincing.
Kedua
belah pihak sudah sangat lelah. Tetapi keduanya tak ada yang mau mengalah.
Badik telanjur diacungkan, pantang masuk sarung sebelum ada yang bergulung di
tanah. Begitu pula parang sudah disiapkan, tak boleh disimpan kalau tak ada
yang bersimbah di bumi.
Akhirnya
aku tak bia menolak, ketika Minak Trio Diso mengutus orang untuk menemuiku.
Utusan Minak Trio Diso yang berjumlah lima
orang menyerahkan badik dan sarungnya, dan bawaan tangan lainnya: buah, sayur, padi,
dan lain-lain.
“Kami
datang ke mari atas perintah Minak Trio Diso, tak lain untuk menyampaikan
harapan untuk sebuah pertemuan. Jikalah puan Rindang Sedayu berkenan, esok
bertemu di tepi Way Abung…”
“Apa
gerangan yang diinginkan Minak Trio Diso, wahai tuan-tuan utusan Minak?”
“Menyelesaikan
pertikaian, menyudahi permusuhan…”
“Apakah
patut pertemuan itu? Adakah muslihat di baliknya?” tanyaku curiga.
“Tiada
puan Rindang Sedayu. Hamba tak mampu menyelam dalamnya hati Minak Trio Diso…”
“Bailah,
esok aku datang. Ini semua aku terima,” kataku sambil memerintah orang membawa
masuk bawaan tangan utusan Minak Trio Diso.
*
BERSAMPAN
Tidak
jauh dari Way Abung pertemuan digelar. Sungguh, hatiku bergetar manakala
menatap mata Minak Trio Diso. Aku tertunduk-sipu. Minak Trio Diso semakin
menghunjam pandangnya. Menyapu dari rambut, kening, mata, hidung, pipi, bibir,
dagu, dada, hingga ke ujung jemari kakiku.
Wow, aku
nyaris jatuh tak sadar. Betapa benar banyak cerita, bahwa Minak Trio Diso memang
tampan rupawan. Rambutnya hitam dan tidak panjang tak juga pendek. Perawakannya
kekar-tegap dan besar.
Dadaku
berdegup kencang.
Aku lawan
tatapannya. Minak Trio Diso menunduk. Aku menunggu ia berkata, namun bibirnya semakin
mengatup. Suasana mulai terasa gaduh. Mungkin mengira aku dan Minak Trio Diso
akan beradu tanding.
Dia
mendekat. Aku diam. Semakin dekat. Aku tak bergerak.
“Aku
mengundangmu ke sini, karena aku ingin mengutarakan isi hatiku…”
“Apakah
itu?”
“Aku
menginginkan kau jadi isteriku. Jadi ibu dari anak-anakku yang akan melahirkan anak-anak
keturunan Abung…”
Aku tak
mampu berkata apa-apa.
Kakak-kakakku
berang. Mereka ingin menarik tubuhku ke belakang. Orang tuaku juga maju ke
depan, namun tak mampu menyentuh badanku.
Entah aku
menyukai Minak Trio Diso ataukah menolak keinginannya. Tak mampu kuceritakan
kepada siapa pun.
Aku sadar
ketika kami bersampan mengikuti aliran air Way Abung hingga ke suatu tempat[4] lalu menetap
cukup lama di daerah baru ini.
Minak
Trio Diso membawa lari aku untuk kemudian menjadikan aku isterinya. Lalu
lahirlah anak-anak dari rahimku. Anak-anak yang terlahir dari sebuah
pertikaian, dan berakhir tanpa bermusuhan.
Bayangkan,
saudara, orang Semendo dinikahi oleh orang Abung. Dari dendam, bermusuhan,
saling tikam. Akhirnya menyatu dalam rumah tangga yang besar: masyarakat Abung[5] yang terbuka
bagi setiap pendatang.
Adalah
keluargaku, terutama kakakku, tetap menaruh dendam pada Minak Trio Diso. Hanya
kukatakan padanya: “Untuk apa dendam, bila Minak Trio Diso sudah menjadi bagian
keluarga kita. Pernikahanku dengannya untuk menyudahi permusuhan dan dendam
yang akan merugikan seluruh orang di sini…”
Di Canguk
kami kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Membuka lahan menjadi hunian. Menurunkan
anak keterunan dari percampuran dua suku: Lampung dan Semendo.
Suamiku
meninggal dan makamnya berada di lurah, sedangkan jasadku dimakamkan di atas
bukit. Sebenarnya kedua makam kami tak berjauhan, namun terasa amat berjarak karena
ketinggian dan tertutup oleh belantara.[6]
Way Abung
airnya jernih. Banyak bujang gadis berbasuh di airnya, setiap pagi ataupun
petang. Canguk pun menjadi ramai….[7]
*
CINTA
Betapa
tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka. Semenjak Tuhan
ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang
kemudian diberinya nama Adam.
Tuhan
menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan juga—tentu
pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti
ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang
berkelamin perempuan. Namanya Hawa.
Aku
Rindang Sedayu keturunan Semendo, dinikahi Minak Trio Diso puyangnya orang
Lampung Abung. Kami berladang sekaligus membangun kampung di Canguk, beberapa
tahun setelah aku dilarikan Minak Trio Diso.
“Sudah
lama aku menaruh hati padamu, dinda, namun pertikaian antara kita selalu
menggagalkan niatku memperisterimu…” kata suamiku suatu malam.
“Aku pun
sudah tahu lama bahwa kakanda adalah lelaki tampan rupawan. Tetapi akan hina jika
perempuan lebih dulu menyatakan cinta…” balasku.
Malam
terus menjelma runcing. Begitu hening… *
Lampung,
29 Agustu 2012
[2] Way dalam bahasa Lampung berarti sungai. Sungai Abung berada di Kecamatan
Abung Tinggi, tak jauh dari Simpang Asam Kecamatan Bukitkemuning, Lampung Utara
[4] Tidak dijelaskan apa nama daerah yang dituju Minak Trio Diso saat membawa
lari Rindang Sedayu ini, namun diperkirakan Kotabumi. Adat membawa lari gadis
ini masih berlaku hingga sekarang bagi masyarakat Lampung Abung (Pepadun).
[5] Menurut catatan, orang Lampung Abung bermula dari Canguk dengan
nenekmoyangnya Minak Trio Diso-Rindang Sedayu kini menjadi orang Lampung asli
di Kotabumi, Lampung Utara.
[6] Makam yang diyakini masyarakat sebagai
makam Minak Trio Diso dan Rindang Sedayu masih bisa disaksikan di Canguk,
Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten Lampung Utara. Dari Kotabumi ke daerah ini
memerlukan waktu 2 jam lebih.
[7] Masyarakat, khususnya orang
Simpang Asam, mengenal canguk dengan sebutan Puyang Canguk. Dan untuk referensi
bagi cerpen ini saya peroleh dari Sam’an Ce, warga Canguk bersuku Semendo, yang
pernah merenovasi kedua makam tersebut. Dia banyak mendapat cerita dari juru
kunci Makam Minak Trio Diso, juri kunci ini kini sudah meninggal dunia.
--sumber Jawa
Pos, 25 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar