19 Februari 2013

Cerpen RINDANG SEDAYU




RINDANG SEDAYU  



CINTA
Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka. Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam.

Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan juga—tentu pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa.

Hawa dicipta bukan dari tulang rusuk lelaki—yaitu Adam—seperti kerap kalian dicekoki selama ini. Tuhan tak perlu harus mencopot satu tulang rusuk Adam hanya untuk mencipta Hawa. Apa guna kun fayakun-Nya?

Setelah kedua manusia pertama itu dicipta, mulailah benih-benih cinta tumbuh di dalam tubuh mereka. Mengalir bagai air, berkecambah layaknya biji. Lalu mengakar dan menjadi pohon. Pohon cinta.

Karena cinta, Tuhan memerintahkan kedua makhluk manusia itu menempati surga. Alangkah indahnya taman eden itu. Betapa kalian tak perlu bekerja banting badan, memutar tubuh, mengubah letak kaki menjadi tangan dan sebaliknya. Di taman surga, segala sudah tersedia.

Buah-buah anggur nan manis, apel dan lezat. Bahkan pula, sungai yang di dalamnya sebagaimana dikatakan Chairil Anwar: mengalir susu. Bayangkan, kalian tak perlu ke luar surga jika hendak meminum susu. Apatah lagi menginginkan daging, tentulah sudah tersedia.

Bahkan, tak kalian lihat perempuan dan lelaki menjadi tua-keriput. Para wanita adalah bidadari, sedangkan lelakinya ialah pangeran nan tampan.  Para ustad akan menggambarkan kira-kira seperti itu di hadapan umatnya.

Itulah cinta Tuhan kepada Adam dan Hawa. Dia tempatkan kedua manusia pertama hasil perdebatan-Nya dengan malaikat dan iblis saat-saat berencana mencitpa manusia untuk menjadi “wakil-Nya” di muka bumi. Untuk sementara kedua pasang manusia itu digodok di dalam surga, sebelum menjalani kehidupan yang sesungguhnya di bumi.

Sudah suratan, Adam dan Hawa tergoda rayuan iblis. Setan memang mendapat lisensi untuk bisa mendengar yang paling rahasia sekalipun di langit. Maka karena Adam dan Hawa boleh hidup sesukanya di surga, hanya satu catatan usah dekati (bayangkan, hanya mendekati!) salah satu pohon yang tumbuh di dalam surga, apatah lagi memetik buahnya yang bernama khuldi.

Lalu iblis merayu Adam. Dia tak tergoda, sebab Adam mencintai Tuhan yang telah menciptakannya. maka iblis tak habis rayu. Didekati Hawa. Dia bisikkan ke telinga perempuan, yang konon ditakdirkan memiliki perasaan lebih besar ketimbang perhitungan akal, bahwa pohon itu tak masalah kalau hanya didekati.

Lalu Hawa mendekati. Adam melarang tersebab cinta. Dibujuknya sang kekasih itu agar jangan mendekat apa yang telah dilarang Tuhan.

“Pohon ini indah sekali, aku takjub. Buahnya amat memesona,” ujar Hawa makin mendekati pohon itu.

Dan iblis makin melancarkan tipudayanya. Dibisikkan lagi ke telinga kiri Hawa: sekiranya buah itu dipetik lalu segera makan, abadilah kalian berdua di surga ini.  Untuk apa menetap di bumi, jika apa yang kami—iblis, malaikat—nuzumkan akan terjadi pertumpahan darah? Apakah tidak ingin kalian tinggal di sini hingga kiamat, tanpa bekerja keras untuk menghidupi diri dan keturunan sebagaimana jika berada di bumi?

Hawa kian mabuk oleh rayu-bujuk. Dia dekati teman hidupnya, dia katakan kalau yang diuapkan makhluk asing itu benar adanya. Siapa pun mau hidup abadi, tak mengalami kematian, menetap bahagia berlimpah buah, makanan, serta minuman.

Adam mulai mengerjap-ngerjakan matanya. Lidahnya keluar masuk, jakunnya naik turun, ludahnya mengences. Ingin sekarali rasanya mencicipi buah dari satu pohon yang Tuhan larang itu.

Kisah Adam dan Hawa adalah karena cinta. Mereka dikeluarkan dari surga lalu diturunkan ke bumi secara berpisah, juga agar keduanya menemui cintanya. Di Bukit Rahma, setelah beratus-ratus tahun sejak keduanya diturunkan bisa bertemu.

Bukit Rahma atawa “bukit cinta” yang kemdian menjadi simbol bagi pertemuan seluruh jamaah haji (juga umroh) untuk bermalam. Di Padang Arafah untuk berwukuf, sebelum melempar jumroh.

*



KECANTIKAN
Beruntunglah aku dilahirkan menjadi perempuan cantik. Bersyukurlah aku dititahkan untuk memimpin sekumpulan orang di wilayah ini. Tetapi, berwajah cantik tanpa memiliki cinta, adakah hidup menjadi gempita?

Namaku Rindang Sedayu. Rambutku memanglah rindang layaknya tubuh cemara. Aku ayu atau dayu, maka kedua orang tuaku menyebutnya Sedayu.

Di kelompok semendo ini akulah ratu. Aku memimpin rakyatku penuh bijaksana dan lemah lembut. Namun aku tegas dan keras di hadapan kerajaan lain ataupun lawan. Aku sakti. Itu sebabnya, aku berani menetap di Canguk[1] bukan di tanah orang semendo, yakni Sumatera Selatan.

Tetapi, benarkah kami tak punya tanah kelahiran sehingga berpindah ke dekat arus Way Abung[2]? Lalu menetap, mungkin, hingga turun-temurun. Orang Semendo juga mendapat tanah untuk berkebun, terutama kopi, cengkih, dan lada.

Kami diterima di daerah ini dan memiliki kampung. Cuma bukan sebagaimana kaum Yahudi yang mencaplok tanah Palestina setelah berpindah-pindah dari berbagai negera!

Kalau ditanya apakah kami orang Lampung? Kami akan mengangguk, sebab kami meminum dan mencari makan dari tanah Lampung. Namun, darah yang mengalir di tubuh kami tetaplah darah Semendo.

Dan! Asimiliasi juga berlangsung. Orang Semendo bisa menikah dengan orang Lampung. Begitu sebaliknya, orang Lampung mengambil perempuan Semendo. Walaupun kadang perkawinan ini diawali dengan ketidaksetujuan di dua pihak keluarga.

Aku Rindang Sedayu. Seluruh pria di daerah ini terpesona pada kecantikanku. Negeri tetangga baik yang jauh ataupun dekat, juga memuji paras dan ingin menjadikan aku sebagai isteri.

Tidak kecuali, Minak Trio Diso. Pengiran dari lereng Canguk. Dia amat tergila-gila, ingin menyuntingku menjadi permaisurinya.

O tidak! Aku adalah ratu bagi orang-orang Semendo di Canguk ini. Kedudukanku setingkat dengan Minak Trio Diso. Apa kata warga Semendo jika aku menjadi permaisuri Trio Diso? Keratuan Semendo di sini akan hilang. Titah keratuan tidak bisa diturunkan kepada anak-anak cucuku. Putus tali titah.

Sebagai perempuan nan cantik sekaligus ratu bagi orang Semendo di Canguk ini, tak heranlah banyak pria ingin menyuntingku. Mereka hendak kepercik anugerah. Ingin dipandang tak sebelah mata oleh masyarakat lantaran bersuami seorang Ratu.

Kehadiran kami di Canguk dianggap membawa permusuhan, terutama dari orang-orang Minak Trio Diso. Itulah muasal permusuhan di antara kami. Pertikaian kerap berlangsung, baik siang maupun malam. Perang di lereng, di bukit, atau di dekat aliras Sungai Abung.

Darah mengaliri way. Mayat bergelimpangan di hutan, di ladang, di tepi sungai, ataupun di lereng dan bebukitan.

“Kita datang jauh-jauh dari Selatan. Hutan sudah kita masuki dan keluar, sungai kita susuri bersampan, binatang buas ditundukkan, serta alam yang mengancam kita tekuk di kaki. Apakah harus menyerah di Canguk ini di tangan mereka?” kataku pada hulubalang.

Hulubalang berseru: “Tidak!”

“Kita datang dan menempati lahan ini untuk berhuma. Kita ditakdirkan oleh alam mesti hidup dan beranak-cucu di daerah ini, lalu bolehlah menyebar menuju lahan kosong yang baru. Kenapa pula kita harus kalah?” lanjutku.

“Segala jiwa dan tenaga kami, untuk puan Rindang Sedayu….” balas hulubalang dan masyarakat.

Maka kami tetap bertahan di Canguk. Tak seinci tanah pun kami mau mundur. Jika Minak Trio Diso datang menyerang, parang-parang kami akan menghadang. Apabila Minak Trio Diso menyerbu wilayah kami, kaki-kaki kokoh bagai kaki kuda dan siap memuantahkan debu.

Memang Minak Trio Diso tak bisa dipandang remeh. Dia sakti mandradiguna. Tuturkatanya mampu menidurkan orang. Sekali erang, badiknya[3] bagai kilat mendarat di badan musuh. Hentakkan bagaikan tendangan kuda jantan yang lapar: sekali tendang musuh bisa terbang ke seberang way.

Perawakan Minak Trio Diso tinggi besar. Urat badannya menonjol seperti sebentang kawat. Dan ototnya keras, kulitnya putih sebersih sutera. Tiada berminyak.

Selain itu, Minak Trio Diso tampan wajahnya. Perempuan mana tak akan jatuh dalam pelukannya karena pesonanya?

Aku mengakui itu. Aku terpesona.

Ah, tidak! Tak sudi aku besuami dia, meski akan jadi permaisurinya. Apalagi seluruh keluargaku tak merestui jika aku disuntingnya. Terutama kakak-kakaku menolak. Mereka siap berkubur tanah untuk mempertahankan diriku.

“Aku siap bertarung dengan Minak Trio Diso. Kalah atau menang, kamu tetap tak boleh menjadi isterinya. Apa kata rakyat Semendo, Rindang Sedayu mau dipersunting orang Canguk? Ini memalukan, jauh-jauh dari seberang hutan namun kalah di sini dengan orang sini?” kata kakak tertuaku yang diaminkan kakak kedua.

“Kecantikanmu, ananda, bisa mendatangkan raja dari Malaya sekalipun…” bisik ayahanda.

Ibunda ikut berujar: “Kau putriku satu-satunya, cantik pula. Rindang Sedayu ditakdirkan menjadi pemimpin bagi orang Semendo. Tak baik mengelak dari takdir…”

*

MUSYAWARAH
Dan perang tak juga henti. Kedua belah pihak tak ikhlas melucuti senjata masing-masing. Canguk cekam. Way Abung mencatat setiap mayat hanyut dan darah mengalir.

Warna daun bercampur merah. Tanah basah. Udara gerah. Badik dan parang menari dan bergemirincing.

Kedua belah pihak sudah sangat lelah. Tetapi keduanya tak ada yang mau mengalah. Badik telanjur diacungkan, pantang masuk sarung sebelum ada yang bergulung di tanah. Begitu pula parang sudah disiapkan, tak boleh disimpan kalau tak ada yang bersimbah di bumi.

Akhirnya aku tak bia menolak, ketika Minak Trio Diso mengutus orang untuk menemuiku. Utusan Minak Trio Diso yang berjumlah lima orang menyerahkan badik dan sarungnya, dan bawaan tangan lainnya: buah, sayur, padi, dan lain-lain.

“Kami datang ke mari atas perintah Minak Trio Diso, tak lain untuk menyampaikan harapan untuk sebuah pertemuan. Jikalah puan Rindang Sedayu berkenan, esok bertemu di tepi Way Abung…”

“Apa gerangan yang diinginkan Minak Trio Diso, wahai tuan-tuan utusan Minak?”

“Menyelesaikan pertikaian, menyudahi permusuhan…”

“Apakah patut pertemuan itu? Adakah muslihat di baliknya?” tanyaku curiga.

“Tiada puan Rindang Sedayu. Hamba tak mampu menyelam dalamnya hati Minak Trio Diso…”

“Bailah, esok aku datang. Ini semua aku terima,” kataku sambil memerintah orang membawa masuk bawaan tangan utusan Minak Trio Diso.

*




BERSAMPAN
Tidak jauh dari Way Abung pertemuan digelar. Sungguh, hatiku bergetar manakala menatap mata Minak Trio Diso. Aku tertunduk-sipu. Minak Trio Diso semakin menghunjam pandangnya. Menyapu dari rambut, kening, mata, hidung, pipi, bibir, dagu, dada, hingga ke ujung jemari kakiku.

Wow, aku nyaris jatuh tak sadar. Betapa benar banyak cerita, bahwa Minak Trio Diso memang tampan rupawan. Rambutnya hitam dan tidak panjang tak juga pendek. Perawakannya kekar-tegap dan besar.

Dadaku berdegup kencang.

Aku lawan tatapannya. Minak Trio Diso menunduk. Aku menunggu ia berkata, namun bibirnya semakin mengatup. Suasana mulai terasa gaduh. Mungkin mengira aku dan Minak Trio Diso akan beradu tanding.

Dia mendekat. Aku diam. Semakin dekat. Aku tak bergerak.

“Aku mengundangmu ke sini, karena aku ingin mengutarakan isi hatiku…”

“Apakah itu?”

“Aku menginginkan kau jadi isteriku. Jadi ibu dari anak-anakku yang akan melahirkan anak-anak keturunan Abung…”

Aku tak mampu berkata apa-apa.

Kakak-kakakku berang. Mereka ingin menarik tubuhku ke belakang. Orang tuaku juga maju ke depan, namun tak mampu menyentuh badanku.

Entah aku menyukai Minak Trio Diso ataukah menolak keinginannya. Tak mampu kuceritakan kepada siapa pun.

Aku sadar ketika kami bersampan mengikuti aliran air Way Abung hingga ke suatu tempat[4] lalu menetap cukup lama di daerah baru ini.

Minak Trio Diso membawa lari aku untuk kemudian menjadikan aku isterinya. Lalu lahirlah anak-anak dari rahimku. Anak-anak yang terlahir dari sebuah pertikaian, dan berakhir tanpa bermusuhan.

Bayangkan, saudara, orang Semendo dinikahi oleh orang Abung. Dari dendam, bermusuhan, saling tikam. Akhirnya menyatu dalam rumah tangga yang besar: masyarakat Abung[5] yang terbuka bagi setiap pendatang.

Adalah keluargaku, terutama kakakku, tetap menaruh dendam pada Minak Trio Diso. Hanya kukatakan padanya: “Untuk apa dendam, bila Minak Trio Diso sudah menjadi bagian keluarga kita. Pernikahanku dengannya untuk menyudahi permusuhan dan dendam yang akan merugikan seluruh orang di sini…”

Di Canguk kami kembali setelah bertahun-tahun lamanya. Membuka lahan menjadi hunian. Menurunkan anak keterunan dari percampuran dua suku: Lampung dan Semendo.

Suamiku meninggal dan makamnya berada di lurah, sedangkan jasadku dimakamkan di atas bukit. Sebenarnya kedua makam kami tak berjauhan, namun terasa amat berjarak karena ketinggian dan tertutup oleh belantara.[6]

Way Abung airnya jernih. Banyak bujang gadis berbasuh di airnya, setiap pagi ataupun petang. Canguk pun menjadi ramai….[7]

*

CINTA
Betapa tua usia cinta. Tak terjelaskan oleh hitungan: angka-angka. Semenjak Tuhan ingin dicintai dan disembah oleh manusia, Dia jadikan seorang lelaki yang kemudian diberinya nama Adam.

Tuhan menghendaki dari tubuh Adam ini mengalir cinta, kasih sayang, dan juga—tentu pula—benci dan dendam. Cuma untuk melahirkan dan mengalirkan cinta itu, mesti ada kawan. Maka diciptakan lagi seorang teman bagi Adam, yaitu seseorang berkelamin perempuan. Namanya Hawa.

Aku Rindang Sedayu keturunan Semendo, dinikahi Minak Trio Diso puyangnya orang Lampung Abung. Kami berladang sekaligus membangun kampung di Canguk, beberapa tahun setelah aku dilarikan Minak Trio Diso.

“Sudah lama aku menaruh hati padamu, dinda, namun pertikaian antara kita selalu menggagalkan niatku memperisterimu…” kata suamiku suatu malam.

“Aku pun sudah tahu lama bahwa kakanda adalah lelaki tampan rupawan. Tetapi akan hina jika perempuan lebih dulu menyatakan cinta…” balasku.

Malam terus menjelma runcing. Begitu hening… *


Lampung, 29 Agustu 2012










[1] Nama daerah di Kecamatan Abung Tinggi, Kotabumi, Lampung Utara
[2] Way dalam bahasa Lampung berarti sungai. Sungai Abung berada di Kecamatan Abung Tinggi, tak jauh dari Simpang Asam Kecamatan Bukitkemuning, Lampung Utara
[3] Senjata orang Lampung, sejenis pisau namun lebih besar
[4] Tidak dijelaskan apa nama daerah yang dituju Minak Trio Diso saat membawa lari Rindang Sedayu ini, namun diperkirakan Kotabumi. Adat membawa lari gadis ini masih berlaku hingga sekarang bagi masyarakat Lampung Abung (Pepadun). 
[5] Menurut catatan, orang Lampung Abung bermula dari Canguk dengan nenekmoyangnya Minak Trio Diso-Rindang Sedayu kini menjadi orang Lampung asli di Kotabumi, Lampung Utara.
[6] Makam yang diyakini masyarakat sebagai makam Minak Trio Diso dan Rindang Sedayu masih bisa disaksikan di Canguk, Kecamatan Abung Tinggi, Kabupaten Lampung Utara. Dari Kotabumi ke daerah ini memerlukan waktu 2 jam lebih.
[7] Masyarakat, khususnya orang Simpang Asam, mengenal canguk dengan sebutan Puyang Canguk. Dan untuk referensi bagi cerpen ini saya peroleh dari Sam’an Ce, warga Canguk bersuku Semendo, yang pernah merenovasi kedua makam tersebut. Dia banyak mendapat cerita dari juru kunci Makam Minak Trio Diso, juri kunci ini kini sudah meninggal dunia.




 --sumber  Jawa Pos, 25 November 2012

Tidak ada komentar: