14 Juni 2010

Kisah

KISAH-KISAH YANG INGIN KUCATAT AGAR TAK HILANG

Oleh Isbedy Stiawan ZS


MAAFKAN jika sampai kini aku tak mampu membahagiakanmu. Aku hanya manusia biasa. Tak sempurna dan tak sesempurna kau bayangkan. Seorang lelaki yang tak gagah namun tak gagap, lelaki yang tak kurus namun belum sejahtera, lelaki yang setengah gemuk walau jauh dari makmur. Karena beginilah adanya badanku. Dipenuhi noktah.

Aku datang dari suatu keluarga yang biasa-biasa. Ayahku bekerja dengan pangkat rendahan di sebuah pemerintahan. Ibuku adalah gadis manis dari sebuah dusun nan jauh di ujung Jawa Barat, namun semasa kecil tak menikmati kursi sekolah. Ibuku datang dari keluarga di bawah mampu, sehingga mencicipi kue sekolah pun adalah hal yang mahal. Berbahagialah ibuku yang kemudian diangkut ke Jakarta oleh mamangnya demi mencari kehidupan baru, setidaknya agar tidak merepotkan orang tua. Tetapi belum lagi menikmati kehidupan kota Jakarta dan masa remaja direngkuh secara puas, ayahku meminangnya lalu membawa ibu ke Lampung setelah beranak satu: kakak tertua perempuan.

Di daerah yang nyaris sesak oleh kehadiran bergerombol orang dari Pulau Jawa, ayahku memulai kehidupan baru bersama ibu. Selain mengelola perkebunan kelapa yang diwariskan kakek--ayah dari ayahku, ayah juga pandai menjahit. Kedua pekerjaan ini dilakoni seusai ayah pulang dari bekerja di pemerintahan sebagai pegawai rendahan.

Ayah menyukai hewan. Dia memelihara banyak ayam. Karena sayangnya, setiap pagi ia keluarkan dari kandang dan sore hari ia angon agar pulang. Akibat kedekatan ayah dengan ayam-ayam peliharaannya, setiap ibu memotong ayam untuk lauk makan, ayah tak tega menyantapnya. Bahkan, bila ibu menyuruh ayah memotong ayam yang sudah kebanyakan itu, lebih baik ayah serahkan kepada orang lain menyembelihnya. Ayah akan menutup wajahnya, tatkala leher ayam disembelih dengan pisau.

Peliharaan hewan lain ayah ialah seekor kucing berwarna keemasan. Kucing ini tahu benar jam berapa ayah pulang dari bekerja. Kucing akan menunggu di depan jalan, begitu melihat ayah menuntun sepeda ontelnya maka kucing itu melompat ke sadel belakang tempat biasa aku dibonceng jika ingin ke rumah sakit atau ayah antar aku ke sekolah.

Persahabatan ayah dengan ayam-ayamnya dan seekor kucing yang manis dan penurut berlangsung cukup lama. Ketika kucing kesayangan ayah mati, ayah segera menguburkan layaknya manusia yang meninggal. Maksudnya, ayah menggali tanah di dekat kebun labuh lalu kucing yang tak bernyawa lagi dia bungkus dengan kain sobekan (gombal), setelah ayah kuburkan dengan sangat rapi. Sejak kematian kucing itu, ayah tak mau lagi memelihara kucing.

Ayah ketika kami tanya mengapa tak mencari kucing lain untuk dipelihara, alasannya bahwa tak akan menemukan lagi--bahkan hanya menyerupai--kucing yang sudah dikuburkan itu. Karena itu, kata ayah, untuk apa memelihara kucing lagi. Ayah juga sulit melupakan karena kenangan-kenangannya selama bersama kucing yang sudah mati itu. Dia menjelaskan, kucing itu sangat mengerti. Tidak mau membuang kotoran di dalam rumah. Setiap ingin berak, kucing itu akan mengenong meskipun pada malam buta. Kucing itu akan menunggu ayah pulang, jika hendak makan. Seperti tahu bahwa mendahului 'tuannya' makan, tidak sopan.

Jadi, kucing kesayangan ayah itu, akan menunggu di depan rumah. Terkantuk-kantuk, mungkin tepanya karena menahan lapar, sampai ayah terlihat di depan jalan lalu kucing itu berlari dan melompat di boncengan belakang. Setelah ayah menarok sepeda, kucing itu pun melompat dan mengelus-elus kaki ayah. Kemudian ayah mencuci tangan, ke meja dan makan. Kucing kesayangan ayah ikut makan di bawah meja. Setelah ayah selesai makan, kucing itu selesai pula makannya.

Kemudian ayah menyuruh kucing itu tidur di kursi yang sengaja disediakan. Tanpa rewel, kucing itu pun mencari tempat: tidur. Ayah akan bekerja menjahit pakaian milik tetangga. Sampai menjelang ashar, lalu dilanjutkan hingga mendekati magrib. Kucing itu pun akan mengantar ayah ked musala.

Ah. Begitulah ayah. Bagiku dia begitu sempurna. Sesempurna ia mencintai ibu hingga ia meninggal lebih dulu. Kini ibu sudah uzur, tinggal bersama adikku. Tetapi kaish sayang ibu, terutama kepadaku, sungguh tak tertandingi oleh perempuan-permepuan lain mana pun yang pernah kukenal. Bahkan isteriku! Bahkan isteriku! Bahkan...

Sampai seusiaku kini, ibu masih memperhatikan anak-anaknya. Jika sebulan saja ada anaknya yang tidak berkunjung, ibu menyuruh adikku menelepon. Ibu juga akan meminta adikku mengabarkan, sekiranya ibu memasak kesuakaan anak-anaknya. Terutama aku yang amat menyukai sayur jengkol atau sambal goreng jengkol, tempoyak, dan botok khas Bengkulu (pendap), segeralah aku ditelepon. Sampai-sampai aku malu dengan anak-anakku, seusia begini aku masih disuruh makan di rumah ibu. Bayangkan! Semoga saja ibumu seperti ibuku. Selalu ingat kesukaan makanan anaknya.

Maka itu, kuanggap ibu juga sudah begitu sempurna. Meski ia tah tahu baca dan tulis, namun ibu amat pandai menjaga keuangan ayah. Ibu boleh tak bisa mneulis dan membaca, tapi kalau soal berapa uang yang dimilikinya dan berapa yang harus diterima dari belanja, ibu tak pernah salah hitung. Artinya hitung-menghitung--kurangtambah, kalibagi--tak ada masalah bagi ibu.

Ibu juga tak pernah tersasar padahal ia tak bisa membaca jalan. Menurut ibu jika ia ke suatu kota yang belum pernah ia datangi, pertama sekali adalah menandai liwat sbeuah bangunan yang agak lain dari lainnya. Dengan menandai itilah, ibu tak pernah tersasar. Karena itu ibu tak khawatir sekiranya ia mendapat kepercayaan berhaji. Ibu tak akan kesasar. Sayangnya, hingga usianya kini 86 tahun lebih, ibu belum berkesempatan ke Tanah Suci.

Barangkali dua kisah tentang ayah dan ibuku ini, aku berkesimpulan bahwa aku jauh dari sempurna yang dimiliki mereka. Aku gagal menjadi seseorang. Aku tak pernah mampu mengelola cinta, kasih sayang, rasa sosial, pengasih sesama. Juga perhatian lebih pada keluargaku.



MAAFKAN jika sampai kini aku tak mampu membahagiakanmu. Aku juga belum bisa meluluskan permintaan bantuan semua orang. Aku hanyalah seseorang yang sangat biasa. Tak punya kemampuan lebih seperti ayahku yang menyayangi hewan (ayam dan kucing) dan mengasihi anak-anaknya dan isterinya, dan sangat santun dengan tetangga. Nah, soal santun ini, sudah kubuktikan berkali-kali. Waktu aku kecil, daerahku penuh oleh kebun kepala, pohon petai, kebun labuh. Begitu ada orang yang mengiba untuk mendapatkan sepetak tanah buatnya istirahat, ayah akan menebang pohon kelapa lalu memberinya untuk dibangun rumah. Setelah rumah berdiri, dipastikan rumah itu akan dikuasai oleh orang itu. Bahkan ada yang kemudian dijual setelah disertikiasi.

Begitu pula ibu. Dia tak pernah melatang seriap yang telah menjadi keputusan ayah. Apa pun itu. Sehingga, sampai ayah meninggal, bisa kuhitung dengan jari satu tangan, keduanya bertengkar. Mungkin hanya dua atau tiga kali. Itu pun tak sampai piring bisa terbang. Hanya sebentar, lalu keduanya kembali seperti biasa.

Berbeda denganku. Amat sangat berbeda? *


*

Penunggu warung

GAJI ayah sebagai pegawai rendahan di pemerintahan, meski ditambah dengan hasil dia menjahit, pastilah tak cukup untuk menghidupi delapan anak--seluruhnya sekolah. Meski anak ayah--kakakadikku--bersekolah di negeri, tetap saja untuk membeli buku dan biaya SPP membuat saku ayah seperti tersobek-sobek setiap bulan. Dari penghasilan menjahit, tidak setiap hari orang meminta bikinin pakaian.

Untunglah ibu pandai membuat pangaan ringan, yaitu kue. Selain itu, inilah yang membuatku amat sangat salut, tidak pernah mengenal lelah. Ibu bangun tengah malam. Setelah tahajud, ibu menyalakan api di dapur. Memasak kue, seperti serabi, pisang goreng, tahu bunting, roti kukus, dan lain-lain. Seusai salat subuh, beratangan para ibu dan anak-anak yang menjajakan. Para penjaja kue keliling itu, tentu mendapat persentase dari jajanan konsinyasi buatan ibu. Sekitar pukul 10 siang ibu akan meneri para penjaja kue keliling untuk menyetor hasil jualan. Di sini ilmu menghitung uang ibu selalu teruji, dan tidak pernah meleset.

Kue-kue yang tak laku itu, kemudian ibu kumpulkan menurut jenisnya. Kemudian ibu titipkan di warung milik kami. Akulah yang menunggu warung itu sebelum aku berangkat sekolah pukul 12.30.
Ibu sangat percaya padaku. Dia tak pernah menanyakan berapa laku dan mana uangnya. Sebab setiap yang terjual--bahkan bukan hanya kue--uangnya langsung kemauskkan ke kotak terbuat dari kayu buatan ayah, yang oleh ibu setiap pagi sebelum warung dibuka dimasukkan bawang dan cabai seerta selembar daun, namun setelah ibu meninggalkan wakrung benda-benda itu kubuang: seperti membuang kesyirikan ibu!

Beberapa jam menunggu warung, aku banyak belajar tentang banyak orang. Biasa memperhatikan orang lalu lalang di depan warung, kereta yang kerap meliwati depan rumahku, jeritan orang tatkala sepur menyeret orang hingga mati. Anak-anak yang bermain kelereng, gobaksodor, atau berjudi di samping warung ibu. Dan, biasanya para penujudi itu selalu saja berakhir perkelahian: bahkan kerap saling tujah.

Ibu pernah tak sadar ketika dua penujudi berkelahi. Lalu yang seorang karena kalah melawan, kedua pahanya ditancap dengan ujung belati berkali-kali. Belum juga puas, lehernya disobek. Memang tak sampai tewas, tapi seumur hidup sang korban tak bisa lagi berucap dengan baik seperti sebelumnya.

Sebagai penunggu warung, aku belajar untuk selalu jujur. Jujur kepada pembeli, jujur pada ibu, juga jujur kepada diriku sendiri. Aku mendapat pelajaran yang sangat berharga: tidak mau mencuri. Setiap uang pembelian, kumasukkan ke dalam kotak. Setiap pembeli kuhitung hati-hati agar tak salah memberi pengembalian sisa uang pembeli.

Akulah penunggu warung. Seorang remaja yang masih bersekolah di bangku SMP. Penunggu warung yang juga tak pernah membolos sekolah. Penunggu warung yang tak membuang rasa malu, tatkala wanita-wanita remaja datang lalu membeli kue atau pempek atau tahu bunting. Berteduh jika hujan, sekadar sandar apabila lelah.

Sebagai penunggu warung, aku memiliki khayalan dan impian. Tapi mimpi-mimpi yang kupunya itu tidak terlalu muluk. Bukan untuk segera sampai di gedung Dewan, bukan pula menduduki kursi di pemerintahan. Aku tak akan kesampaian tiba di tempat itu. Hatiku seperti menolak. Bahkan tak terbayangkan. Meski nasib kemudian mengantarku menjadi abdi pemerintah, namun kemudian kutinggalkan.

Aku pun merantau selepas SMA. Kota pertama yang kutuju adalah Jakarta. Aku tahu, sebagai syair lagu, "siapa suruh datang Jakarta, siapa suruh..." cuma lebih jutaan urba dari banyak daerah lain pun, aku juga menyerbu Jakarta. Kota yang di tengah-tengahnya ada Monumen Nasional dan di pucuknya bagai percikan api yang dibungkus emas berwarna kuning, memang sangat menggiurkan di sleuruh pelosok pertiwi. Rasanya belum menjadi (orang Indonesia), kalau belum memandangi monas dari bawahnya.

Siapa suruh datang Jakarta? Ya. Aku memang tak mendapatkan apa-apa. Beberapa lama aku hanya pengangguran. Pergi pagi dari kawasan Penjaringan Jakarta Timur menuju Jakarta Pusat, lalu pulang menjelang isya. Duduk-duduk di kawasan Taman Ismail Marzuki, tanpa makan siang--bahkan terkadang tidak merokok agar bisa pulang karena uang di sakuku dari bibik--adiik dari ibuku--hanya cukup untuk membayar buskota. Itu pun dilanjutkan jalan kaki, sebab untuk membayar ojek sepeda ontel dari terminal ke rumah bibik tak bisa dibayar.

Dalam perjalanan kaki dari terminal ke rumah bibik di malam hari, banyak yang kusaksikan. Para perempuan berhias menor menyapa, mengajak, dan mencolek pantat setiap lelaki yang lalu. Jika terpancing atau bagi lelaki hidung belang yang memang sudah sengaja ke sana, tempat pun sudah mereka sediakan: di kolong jembatan. Di bawah jembatan itu, para penjaja seks itu membikin bilik-bilik dari kardus, kain gombal, dan sejenisnya.

Di bawah jembatan itu, baunya tak sedap. Air kali yang tak lagi mengalir, aroma busuknya sangat menyengat. Tetapi, yang aku herankan, mereka seperti tidaik terusik. Para lelaki yang masuk ke bawah jembatan itu dengan membungkuk-bungkuk, menikmati benar segala yang ada di sana. Menikmati para perempuan yang sudah dipilih itu, meski pupur di wajahnya berharga murah. Atau lisptik yang memoles bibirnya, juga lipstik tak bermerek. Dan, aku pernah pula terdampar di sana...

Kisah kembali ke penunggu warung. Terus terang banyak hikmah yang kuperoleh menjadi anak pemilik warung kue. Selain aku belajar berniaga, kendati hingga seusiaki kini aku tak berani bebrisnis, tapi setidaknya aku belajar bagaimana mengelola modal ibu yang tak seberapa itu. Misalnya, kalau aku punya sifat korup apalah jadinya bisnis kecil-kecilan ibu. Atau kalau aku tak amanah, juga akan bangkrut bisnis ibu.

Aku juga bisa memanfaatkan waktu selama menunggu warung. Bila tak ada pembeli--biasanya lebih banyak anak-anak apalagi warung ibu tak jauh dari SD--akan kuisi dengan membaca. Buku yang amat kugemari adalah cerita-cerita silai dari Kho Ping Ho. Entah karena filosofi China-nya, atau disebabkan cara Asmawaman Kho Pingho itu menuturkan kisahnya dengan indah, sehingga aku terbuai sampai berjilid-jilid aku menyewa buku itu.

China memang tak pernah bermimpi. Ketika mereka memamerkan ilmu beladiri kungfunya di buku-buku cerita silat ataupun di film-filmnya, kenayataannya memang masyarakat China sangat tangguh dan piawai menerapkan ilmunya. Berbeda dengan Amerika, karena pasukannya kalah di Vietnamj maka mereka bikin tokoh rekaan yang perkawa bernama Rambo. Begitu pula Indonesia, yang merasakan penjajahan selama 350 tahun dari Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang, dibikinkanlah film-film seperti Si Pitung dan lain-lain, termasuk komik-komiknya Djair dan lain-lain. Sedangkan China? Sudah mereka buktikan, negara itu dalam sejarahnya tak pernah dijajah!

Begetulah filosofi China melekat dalam jiwaku. Ajaran yang sangat kuhafal dan kemudian kujalani sendiri dan kuterapkan kepada anak-anakku adalah, seseorang harus diajarkan beladiri dan ilmu seni. Kata-kata yang masih kuingat dari seorang tokoh dalam cerita silat Kho Ping Ho, yaitu "jika kau memiliki ilmu beladiri tanpa pernah menghayati seni, kau akan kasar dan zalim. Jika kamu hanya mendalami seni tanpa belajar ilmu beladiri, kau akan lemah dan akan dizalimi orang."

Maka orang China, biasanya selain pandai berkunfu juga sangat apresiasi dengan karya seni. Tengok saja arsitektur rumah-eumah orang China atau bangunan rumah-rumah ibadah Konghucu, lampion, dan patung-patung naga yang menghiasinya. Bahkan alat untuk beribadah pun, semisal lilin, bisa dibuat dengan sangat artistik. Bersembahyang pun butuh keindahan. Mungkin mereka menyadari, bahwa Tuhan sangat indah dan menyukai keindahan? Entahlah.

Warung dan kecanduan membaca buku-buku silat Kho Ping Ho seiring sejalan. Karena buku-buku Asmaraman itu pula, kemudian aku mempunya kesenangan melamun, berlama-lama berkhayal. Seperti para seniman yang tengah memburu inspirasi. Aku juga mempunya kegemaran mencoret-coret kalimat di lembaran kertas.

Aku belum tahu, ternyata beberapa tahun kemudian semua ini menghantarku suka menulis sastra. Aku tak juga menyadari seseungguhnya ini semua cikalbakal membentuk diriku menjadi sastrawan seperti sekarang ini. Warung, Kho Ping Ho, berkhayal...


AH, kiranya berkhayal itu tidaki mahal. Mengkhayal mendapat banyak hikmah. Aku diajarkan oleh agamaku, bahwa seorang nabi pernah setiap malam keluar rumah lalu dia bertanya pada bulan apakah bulan itu yang menciptakan dia. Dia juga bertanya pada bintang, apakah bintang asalah Tuhan? Dia tak habis tanya, ditanyalah bukit, batu, langit, dan semesta ini apakah mereka Tuhan? Itulah gambaran tentang sebuah pencarian hakikat Tuhan. Karena tak ditemukan jawaban dari benda dan semesta itu, hatinya berkata: "aku harus mencari Tuhan dan melihat wajahnya!"

Diceritakan lagi dalam kitab suci, lelaki itu pun mendapat bisikan jika ia ingin benar-benar melihat Tuhan, pergilah ke bukit Tursina. Apa yang dilihatnya? Bukit Tursina pecah setelah ada kilatan mahadahsyat. Kilatan itu berasal dari Tuhan, yang tak bisa dilihat secara kasatmata oleh hamba-Nya.

Aku juga selalu bertanya, mencari sesuatu yang mungkin sulit dicari. Menanyakan hal-hal yang berakhir juga dengan kata tanya. Hidup ini penuh misteri. Sastra maka diselimuti kerahasiaan. Seni itu panjang, hidup amatlah singkat.






TEMAN abangku sewaktu belajar beladiri silat, mengajakku bekerja sebagai petugas parkir di Mayestik. Bang Alex, demikian aku memanggilnya, kujumpai di sebuah buskota jurusan Senen-Blok M. Dia begitu menyireni aku sebagai adik Boy--abangku dipanggil begitu oleh teman-temannya: panjangnya Boyke sebagai singkatan dari Buyung kecil. Bang Alex menanyai pekerjaanku di Jakarta, kujawab saja masih menganggur. Dia juga bertanya apakah aku hanya sementara, kukatakan kalau aku ada pekerjaan maka akan menetap lama: mungkin juga akan menjadi warga DKI Jakarta.

Ya. Aku seperti mendapatkan sebuah emas, yang dipreteli taliu pucuk Monas. Bang Alex yang memberi, dan aku menerima senang hati. Aku pun menjadi petugas parkir. Jadi anak jalanan. Minum-minuman: mabuk. Sesekali menjadi kurir ganja bagi pemesan. Bang Alex memang semakin mobile tatkala beberapa kawasan parkir ia serahkan kepada anak buah, sepertiku. Dia sering bolak-balik Jakarta Lampung membawa ganja. Waktu itu daun berasal dari tanah Aceh ini tidak seketat seperti sekarang. Bahkan, kemudian setelah aku kembali ke Lampung, aku pun menanam pohon yang mirip biunga rampai ini di kamar mandi dan halaman belakang rumahku. Tak ada razia.

Selama bersama Bang Alex, aku mulai memasuki dunia hitam. Pelan-pelan tapi pasti, aku mulai menjadi penjahat pemula. Bang Alex mendidikku agar aku membunuh segala bentuk ketakutan dan pengecut. Bang Alex bilang, hidup di Jakarta kalau lemah dan pengecut akan ditindas atau dizalimi. Daripada ditindas orang, lebih baik dan lebih dulu kita yang menindas orang. Itu sebabnya, Ban Alex semakin banyak menguasai lahan parkir. Dia lumpuhkan preman di kawasan itu untuk merebutnya. Setelah direbut, ia serahkan kepada orang yang semuanya dari Lampung. Bang Alex hanya menerima setoran setiap harinya.

Sebagai petugas parkir, aku juga sering menghadapi perlawanan. Tak sedikit aku harus berkelahi dengan genk lain. Bahkan, aku harus tega menggores kenderaan orang lain sekiranya tak mau bayar parkir. Pemiliknya lalu turun, ngomel dan petenteng-petenteng. Tentu saja, gaya seperti itu sangat kutunggu. Sekali tanganku bergerak, dipastikan ada korban. Aku bersyukur, semasa SMP hingga SMA aku belajar karate. Lalu Bang Alex menggenapi aku dengan beladiri silat. Meski aku memiliki ilmu beladiri, tak urung di pinggangku terselip sekin. Senjata tajam berjenis pisau itu, hanya untuk menjaga diri jika aku kalah...

Waktu itu belum ada Front Betawi Rempug (FBR), begitu Front Pembela Islam (FPI) juga belum terbentuk. Karena itu, aku tak pernah berhadapan dengan kedua organisasi massa yang dinilai militan dan acap dengan cara-cara kekerasan itu. Sekiranya kedua ormas yang kini sangat popular, ditakuti, sekaligus juga dikritik keberadaannya, pastilah suatu kesempatan aku akan berhadapan. Dan, aku yakin pula, akan mati di jalan.

Pekerjaanku, pasalnya, sangat berdekatan dengan resiko pertikaian. Selain sebagai petugas parkir, aku juga nyambi mengamankan sebuah diskotek dangdut di dekat Pasar Rumput Manggarai. Bersama temanku anak Betawi asli yang kukenal saat aku mabuk di sana, akhirnya kukuasai daerah itu. Teman baruku ini, memintaku jadi ketua keamanan. Sementara Ribut--sahabatku itu--bagian penagih uang keamanan kepada pemilik diskotek.

Kerja sama dengan warga setempat memang ampuh. Setidaknya, Ribut yang ‘anak Betawi asli”—dan aku memang kerap memanggilnya Aba ketimbang Ribut—kami bisa menguasai kawasan tersebut, tanpa harus beresiko adu tikai.


*) dari kutipan naskah yang akan lebih panjang

Tidak ada komentar: