Oleh Isbedy Stiawan ZS
Ubud Writers and Readers Festival masih dianggap penting. Karena itu, festival yang digelar setiap tahun pada September itu perlu dipertahankan. Alasannya, festival yang digagas Yayasan Saraswati dan melibatkan tak kurang 80 penulis dunia itu, sebagai festival berskala internasional. Pujian dari Harper’s Bazaar sebagai "satu dari enam festival literatur terbaik di dunia" bisa menjadi ukuran festival ini dijadikan pintu bagi para penulis Indonesia untuk go international.
Demikian kesimpulan dari diskusi kecil di sela-sela Ubud Writers and Readers Festival yang berlangsung 25-30 September 2007 bersama HIVOS di Toko-Toko Ubud, Jumat (28/9). Hadir dalam diskusi untuk memberikan masukan bagi panitia di tahun mendatang, antara lain Finlencia dari HIVOS, Ahmad Tohari, Marhalim Zaini, Debra H. Yatim, Ratih Kumala, Isbedy Stiawan Z.S., Wiratmadinata, dan Eka Kurniawan.
Ubud Writers and Readers Festival tahun ini memasuki penyelenggaraan kali keempat. Diikuti tak kurang 80 penulis dunia, antara lain Abé Barreto Soares (Timor Leste), Adam Skolnick (Amerika), Lee Hye-Kyung (Korea), Madeleine Thien (Kanada), Alexander Deriev (Swedia), Manuka Wijesinghe (Sri Lanka), Marele Day (Australia), Ann Lee (Malaysia), Azhar Abidi (Australia), Christopher Merrill (Amerika), Nury Vittachi (Hongkong), Patrick Gale (Inggris), E.B. Maranan, Angelo Suarez (Filipina), Giannina Braschi (Amerika), Rana Dasgupta (India), Iman Mersal (Mesir), Sema Kaygusuz (Turki), Susan Allen (Kanada), Tusiata Avia (New Zealand), dan Kiran Desai (India/Amerika).
Sedangkan dari Indonesia di antaranya Isbedy Stiawan, Debra H. Yatim, Marhalim Zaini, Ahmad Tohari, Ratih Kumala, Dorothea Rosa Herliany, Warih Wisatsana, Cok Sawitri, dan lain-lain.
Ellen --panggilan Finlencia-- mengakui Ubud Writers Festival tahun ini sedikit lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Tempat kegiatan tidak sebanyak dan tersebar seperti sebelumnya, sehingga para peserta dimudahkan dalam hal transportasi. Selain itu, dengan cara kurasi buku untuk menjaring para penulis bisa terukur kualitas peserta. "Saya kira panitia sudah bekerja maksimal. Namun, kalau ada kekurangan, itu biasa, dan perlu dimaklumi," ujar Ellen.
Meski pemilihan penulis --terutama dari Indonesia-- melalui kurasi buku, tenryata masih ada penulis yang diundang tanpa lewat "aturan" tersebut. Contohnya, Cok Sawitri (Bali) yang tak tergeser diundang sejak festival pertama, Dorothea Rosa Herliany, Ahmad Tohari, dan Debra Yatim. Bahkan, Tan Lioe Ie (penyair Bali) suatu ketika bertanya kepada saya (melalui SMS) mengapa para penulis luar Indonesia dipilih tidak melalui kurasi. "Jelas-jelas diskriminasi terhadap penulis Indonesia!" tandas Tan Lioe Ie.
Maka, untuk tahun-tahun depan, panitia Ubud Writers Festival harus konsekuen memberlakukan "aturan" kurasi untuk seluruh peserta. "Kurator bisa ditunjuk panitia atau lembaga semacam HIVOS terhadap individu penulis yang dianggap bisa mewakili semua kelompok yang kalau memang ada, sehingga hasil kurasinya tidak dilatari kedekatan atau kelompoknya saja," ujar Marhalim Zaini.
Usulan penyair Riau itu disetujui penulis yang hadir. Saya mengharapkan festival sekelas Ubud Writers Festival hendaknya dibebaskan dari kepentingan-kepentingan kelompok (komunitas) penulis yang ada. "Kalau ingin festival makin menjadi yang terbaik di dunia, harusnya dari penjaringan penulis sampai penentuan peserta yang akan hadir benar-benar selektif."
Sementara itu, Eka Kurniawan juga mengusulkan agar penulis yang telah diundang tidak boleh ikut pada tahun berikutnya. "Dengan demikian, dari festival ini juga bisa dijadikan forum untuk mencari bibit penulis baru," katanya.
Ratih Kumala sependapat dengan Eka. Ia masih melihat adanya penulis yang bisa diundang dua kali atau lebih ke festival ini. Hal itu akan menghambat kesempatan penulis lain. Apalagi kegiatan ini sudah berlabel sebagai festival penulis internasional. "Jadi, asumsinya juga harus meng-internasional," timpal Marhalim lagi.
Memang, soal bobot internasional itu masih mengganjal sebagian penulis Indonesia. Panitia masih berpikiran bahwa kesan internasional itu lebih didominasi pada penyajian makanan dan kesan "glamor" sebuah festival penulis. Contohnya, pada coctails party di Four Seasson Hotel. Acara malam ramah-tamah sebelum festival dibuka 26 September pukul 17.00 WITA itu hanya dihadiri sedikit penulis Indonesia. Kebetulan saya diminta membacakan dua puisi di acara itu. Namun, karena sedikitnya penulis Indonesia di acara itu, saya merasa "asing" di antara penulis luar negeri. Apalagi bahasa Inggris saya terbatas, sehingga membuat saya makin terpuruk di kumpulan para penulis manca negara itu.
Sajian makanan pun benar-benar selera bule. Nah, saya yang hendak masuk ke wilayah "global" dengan lidah "lokal" jelas sangat bermasalah. Lalu, pada dinner di Waroeng Arys atau Wine Testing and Readings di Casa Luna, sungguh lidah "lokal" tidak berselera mencicipi hidangan yang disajikan. Sambil bergurau, beberapa peserta dalam negeri berkata: "Bagaimana bisa mengenyangkan, makanan yang disajikan untuk lidah saja hanya numpang lwwat." Akibatnya, kami melanjutkan makan malam di tempat lain untuk memanjakan selera lidah lokal.
Kendala Komunikasi
Soal bahasa juga menjadi kendala komunikasi dalam Ubud Writers and Readers Festival. Sebab, tidak semua penulis Indonesia bisa berbahasa Inggris dengan baik. Yang fasih sebagai pendengar pun boleh dibilang bisa dihitung dengan jari. Padahal, bahasa komunikasi saat festival seperti itu sangatlah penting. Bagaimana mungkin kita bisa menggali persoalan kepenulisan (kesastraan) dari negara lain jika alat komunikasinya tidak dikuasai. Begitu pula sebaliknya, para penulis luar juga tak bisa "masuk" ke dalam persoalan sastra Indonesia apabila mereka tak memahami bahasa Indonesia atau tiadanya buku-buku sastra Indonesia yang telah ditranslit ke dalam bahasa Inggris, kecuali buku Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, buku Dorothea Rosa Herliany, dan kumpulan puisi Debra H. Yatim.
Itu sebabnya, Wiratmadinata (Aceh) yang membawa cukup banyak buku terbitan Tikar Pandan dalam bahasa Indonesia harus membawa pulang, karena tak terjamah pembeli. Sedangkan Marhalim Zaini yang berencana menjual buku kumpulan cerpen Amuk Tun Teja karyanya memutuskan untuk membagi-bagikan kepada teman daripada dipajang untuk dijual. Para penulis dan pembaca luar negeri lebih suka membeli buku-buku berbahasa Inggris. Sementara pada sesi seminar performance arts yang menghadirkan Wiratmadinata (Aceh), Angelo Suarez (Filipina), dan Miles Merrit (Australia), moderator justru meminta Wiratmadinata membacakan puisinya dalam bahasa Indonesia karena lebih indah (estetis). Tetapi, Wira kiranya lebih memilih puisinya dalam pengucapan bahasa Inggris.
Memang untuk sesi pembacaan puisi, panitia sudah menerjemahkan karya-karya sastra ke dalam bahasa Indonesia atau Inggris melalui proyektor. Tetapi, untuk tahun mendatang saya mengusulkan adanya penerbitan buku para penulis Indonesia dalam bahasa Inggris. Misalnya, para penulis yang lolos seleksi kurasi diminta mengirimkan karya-karyanya (untuk puisi misalnya 40 judul puisi, cerpen lima judul, dan seterusnya) untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris atau Indonesia, kemudian diterbitkan oleh panitia dengan mencari sponsor. Buku-buku sastra yang sudah diterjemahkan itulah yang dipasarkan, sehingga karya-karya sastra para penulis Indonesia benar-benar memasuki dunia global dan dibaca para penulis dari luar.
Selain penerbitan buku sastra berbahasa Inggris, tak kalah penting, ke depan panitia tidak saja menyiapkan relawan penerjemah pada sesi-sesi diskusi. Ada baiknya, setiap peserta --baik dari Indonesia ataupun luar negeri yang bermasalah dengan bahasa Inggris-- dapat didampingi oleh satu penerjemah. Dengan begitu, percakapan di luar sesi diskusi yang kadang lebih bermanfaat untuk menjalin persahabatan dan membuka link internasional seperti diniatkan oleh festival ini, bisa terpenuhi. Ubud Writers and Readers Festival pun jadi tidak sia-sia lantaran sudah dianggap sebagai festival kelas dunia.
Sumber: Jawapos, Minggu, 07 Okt 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar