Seorang rekan kami yang bekerja di Harian Koran Tempo selalu "mudik mingguan" ke Bandar Lampung. Tapi, ia kesulitan bertemu dengannya, lantaran ia kelihatan begitu sibuk menulis. Kami pikir itu anggapan karena ia selalu tepat jadwal untuk menulis lantaran pilihan hidupnya kini 100 persen hidup dari menulis. Bre Redana dari Harian Kompas menjuluk: "Si Hebat dari Lampung" ketika kami bertanya perihal pengarang kelahiran Tanjungkarang, 5 Juni 1958 ini.
Dengan beberapa tahap proses pewawancaraan ini, dan membuat serakan obrolan ini dengan lanturan dan sejumlah garnish di sana sini-yang semoga masih enak dikunyah- kami menyajikannya untuk Anda, pembaca Sriti.com yang baik… ***
*) Bagaimana Anda melihat diri sendiri di mata para pembaca sastra kita?
Masyarakat pembaca lebih mengenal sebagai penyair (penulis puisi), padahal karya sastra pertama sekali dimuat media massa nasional justru cerita pendek pada 1979: sebuah cerpen bertema sosial wong cilik-pedagang kaki lima yang berhadapan dengan petugas ketertiban umum (tibum).
Tetapi selepas 1981-an beralih menulis puisi. banyak memublikasikan puisi-puisi di Pelita, Yudha Minggu, Swadesi, ataupun Simponi, juga Harian Merdeka. Itu sebabnya ketika Forum Puisi Indonesia 83-sebuah forum penyair Indonesia-yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta, dimana penyair yang ikut waktu itu antara lain Afrizal Malna, Kriapur (alm), Oewik Sanuri Emwe (alm), BY Tand, dan lain-lain, memberanikan diri menyaksikan forum itu. Beberapa penyair peserta forum sudah mulai mengenal. Dan saat itu bertekad, jika DKJ mengadakan forum sejenis pada beberapa tahun mendatang, harus diundang. "Semangat" itulah yang memicu untuk produktif dan kreatif.
Merambah media Berita Buana yang gawang budayanya dipegang penyair Andul Hadi WM (kebetulan pula penyair ini adalah Ketua Komite Sastra DKJ). Dan ketika Forum Puisi Indonesia 87 digelar, salah satu penyair asal Lampung yang diundang bersama beberapa penyair Lampung lainnya. Forum ini "membaptis" -bersama beberapa penyair Indonesia: Acep Zamzam Noer, Nirwan Dewanto, Soni Farid Maulana, untuk menyebut beberapa nama-sebagai penyair yang menampakkan kematangan dan "penyair masa depan". Penilaian ini dikemukakan oleh Sutardji Calzoum Bachri dan Abrar Yusra yang bertindak sebagai pembahas puisi-puisi para penyair Forum Puisi Indonesia 87. Dari forum ini sebuah puisi dimuat Horison tanpa saya mengirimkan ke majalah sastra tersebut. Pada 1989 kembali diundang DKJ untuk membacakan puisi bersama dua penyair Lampung.
*) Pada saat itu, Anda mulai "menyergap" pembaca dengan sejumlah tulisan?
Sebenarnya pada kurun ini saya tidak saja terfokus pada penulisan puisi. Karena "kebutuhan hidup" tersebab saya baru beberapa tahun menikah, membuat harus menulis apa saja: puisi, cerpen, esai, resensi buku, pengulas puisi-puisi anak-anak di Eska Kecil Suara Karya dan halaman anak-anak Pelita. Saya harus ambil/memilih peran "tukang" menulis. Tetapi, karena puisi-puisi dipublikasi di media massa bergensi seperti Berita Buana (Abdul Hadi WM), Pelita (HS Djurtatap), Suara Karya (Ateng Winarno) dan termasuk harian Terbit, membuat pembaca sastra menempatkan sebagai penyair tinimbang cerpenis ataupun esais.
*) Proses "ketenaran" Anda sebagai penulis itu apakah tergolong lambat atau cepat?
Sebagai sastrawan sebenarnya tergolong paling lamban "melambung-lambung" alias tenar. Dibanding Dorothea Rosa Herliany, Nirwan Dewanto, Acep Zamzam Noer, Soni Farid Maulana, atau pun Jamal D. Rahman yang juga alumni Forum Puisi Indonesia 87, kesastrawanan tidak secepat melejitnya nama-nama penyair itu. Kalau "keberhasilan" penyair diukur dari undangan sastra di negara-negara Eropa, maka tak pernah mendapat kesempatan itu. Bahkan untuk pertemuan Mastera, pun tak pernah "mencicipi". Baru pada 1999 diundang Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) di Malaysia dan Dialog Utara VII di Thailand.
Sepanjang kepenyairan, saya baru memiliki dua buah kumpulan puisi yang diterbitkan oleh sebuah penerbit. Ini jelas "menyiksa" hati saya, meski saya maklum bahwa penerbit memang tak mau gulung tikar hanya karena menerbitkan kumpulan puisi. Kedua buku puisi saya yang telah beredar adalah Aku Tandai Tahilalatmu (Gama Media Yogyakarta, Januari 2003) dan Menampar Angin (Bentang Yogyakarta, Oktober 2003). Pada tahun itu pula, saya mendapat "angin segar". Ternyata penerbit Syaamil Bandung mau menerbitkan cerpen-cerpen saya, dan penerbitan buku cerpen ini sebelum kedua buku puisi saya itu terbit.
Saya pun mulai menimbang-nimbang. Ternyata penerbitan buku prosa lebih cepat mulus ketimbang puisi. Saya juga mulai kembali menekuni cerpen yang sempat untuk sementara saya tinggalkan, karena "suntuk" menekuni penulisan puisi.
Dari sini dapat diambil benang merah atas pertanyaan mengapa saya menulis cerpen? Karena memang selain hendak menunjukkan bahwa saya memang bermula dari menulis cerpen, juga karena saya ingin membuktikan kalau saya pun mampu menulis cerpen: tidak hanya puisi, sehingga pembaca tak terfokus satu saat memandang saya yakni hanya penyair.
*) Bagaimana dengan proses cerpen?
Di sisi berikutnya adalah menulis cerpen karena seksi. Karya-karya cerpen kita yang telah dimuat media massa lalu dihimpun dan ditawarkan ke penerbit, kebanyakan penerbit dengan cepat menerima. Mungkin juga ini karena booming karya prosa sedang melanda Indonesia? Boleh jadi. Saya buktikan ini, beberapa penerbit yang awalnya saya tawarkan manuskrip kumpulan puisi kemudian melayangkan surat penolakan sambil menawarkan kalau saya punya kumpulan cerpen atau novel dipersilakan mengirimkan untuk kemudian mereka akan pertimbangkan. Ketika saya kirim, tak terlalu lama saya menunggu sudah mendapat jawaban akan diterbitkan.
*) Dari segi penghasilan, mana yang lebih bisa diandalkan?
Jadi kalau kini saya menulis cerpen juga, disebabkan "lebih menjanjikan". Selain itu, ini yang terpenting, sangat menantang saya. Dalam menulis cerpen, saya harus banyak memiliki "tabungan" kata dan kalimat, harus banyak memahami seluk-beluk alur cerita, penokohan, beserta konflik-konfliknya. Memang awalnya saya menganggap menulis cerpen untuk jeda saja, ketika saya sudah merasa jenuh dan kehabisan ide lantara terlalu produktif menulis puisi. Maka saya harus istirahat dulu menulis puisi sehingga puisi-puisi saya tak monoton atau tiada peningkatan kualitas.
Ternyata mememang cerpen "lebih menjanjikan" ketika booming prosa di pasaran dan penerbit berbondong-bondong lebih besar perhatiannya menerbitkan buku cerpen ketimbang puisi. Dengan demikian, penulis cerpen seakan merayakan pesta booming itu. Kenapa tidak, saya juga turut merayakan pula. Ditambah lagi cerpen-cerpen saya mulai diterima oleh media massa bergengsi seperti Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, Horison, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dan media lainnya. Padahal, sebelumnya saya minder sekali mengirimkan cerpen.
Berbeda jika saya menawarkan puisi ke media-media tersebut. Bahkan, dengan nada canda, Triyanto Triwikromo (Suara Merdeka) tak mengakui saya sebagai cerpenis. "Kalau pun Anda mengirim cerpen tak akan kumuat, sebab kekuatanmu ada di puisi." Tetapi, belakangan cerpen-cerpenku lolos seleksi Suara Merdeka yang kita tahu Triyanto sangat ketat untuk meloloskan karya sastra. Begitu pula, tentunya, ketika Nirwan Dewanto meloloskan cerpen "Mata Elangmu Nyalang" di Koran Tempo. Cerpen ini mungkin kedua atau ketiga yang saya kirim ke Koran Tempo.
*) Anda sering menyergap pembaca cerpen koran di Hari Minggu, bagaimana dengan produktivitas yang luar biasa ini?
Produktivitas menulis cerpen memang saya akui cukup tinggi belakangan ini, itu tak lepas dari menyambut "perayaan" booming prosa di Tanah Air. Tetapi saya juga tergolong produktif melahirkan puisi. Kalau kemudian saya lebih dikenal sebagai penyair:, mungkin predikat itu sudah demikian menyatu dalam diri saya sejak lama. Dan, terus terang, saya justru merasa percaya diri disebut penyair ketimbang cerpenis. Boleh jadi suatu waktu saya akan meninggalkan dunia cerpen. Hanya untuk saat ini belum.
Dan, kalau bertahun-tahun saya geluti kepenyairan, namun saya hanya bisa menerbitkan dua buku puisi, berbeda dengan cerpen. Sampai kini, sudah 6 kumpulan cerpen saya diterbitkan: Ziarah Ayah (Syaamil, 2003), Bulan Rebah di Meja Diggers (Beranda, Agustus 2004), Dawai Kembali Berdenting (Logung Pustaka, November 2004), Perempuan Sunyi (Gama Media, Desember 2004), Selembut Angin Setajam Rantinmg (Lingkar Pena Publishing House, April 2005), Seandainya Kau Jadi Ikan (Gramedia, Meil 2005), dan Hanya untuk Satu Nama (Bentang Pustaka, Agustus 2005), dan sebuah kumpulan cerita anak Dongeng Sebelum Tidur (Beranda, September 2004).
Artinya, cerpen memang benar-benar mendapat perhatian lebih. Ini yang membuat saya sedikit "banting setir" dari puisi ke prosa. Tentu saya tak pernah untuk mengabaikan penulisan puisi. Saya masih menulis puisi, ketika saya benar-benar ingin menulis puisi. Frekuensi keseriusan dalam menulis puisi saat ini benar-benar saya tingkatkan, sehingga saya tak hendak melahirkan puisi yang "sekadar" atau hanya memainkan tipografi namun tidak bermakna. Atau memainkan gambar, tetapi bahasa yang digunakan milik orang atau mencaplok dari yang ada: dasri puisi atau ayat kitab suci. Ditambah lagi, saya tidak punya kemampuan menciptakan sensasi-sensasi di dalam sastra demi popularitas.
*) Dengan tidak bisa "menghindar" - nya dari cerpen Anda, begitu banyak bertebaran di sejumlah media. Apakah tidak ingin membuat citra diri semacam mengkhususkan untuk media besar macam Kompas, Koran Tempo, Republika, atau Media Indonesia saja? Kalau saja cerpen itu dimuat di sana akan menjadikan cerpen Anda menjadi cerpen "kelas satu"…
Saya tak pernah berpikiran adanya "sastra kelas dua" ataupun "sastra nomor wahid" hanya karena alasan media yang memuatnya. Saya beranggapan, tidak semua karya yang dimuat Kompas, Koran Tempo (Kortem) ataupun Media Indonesia (MI) tidak lagi cacat kualitasnya. Para redaktur media berkelas itu juga manusia, karena itu ada kalanya mereka jenuh dan menururnkan karya yang tak berkualitas. Tetapi, ada juga karya yang bagus bisa ditemukan di Tabloid NOVA, bukan?
Jadi, saya berkesimpulan media bukan ukuran kualitas sebuah karya sastra. Akan tetapi, karya itu sendiri yang berbicara meski ia dimuat di media massa yang mungkin saja tidak diperhitungkan oleh pembaca. Kalau Kompas, Kortem, MI banyak pembacanya, memang harus diakui. Kalau ketiga media massa itu kerap menurunkan karya-karya berkualitas dan menjadi perhitungan pembaca sastra, juga ada benarnya dan harus diakui kebenarannya. Tetapi, kalau media massa tersebut pastilah menurunkan karya-karya sastra berkualitas, belum tentu. Apalagi sampai menomor duakan karya sastra yang tidak muncul di tiga media massa itu.
*) Mengapa menulis cerpen?
Dalam menulis cerpen, saya banyak belajar dari mengamati berbagai karakter (tokoh) orang yang ada di sekitar saya. Saya dapat lebih memasuki setiap karakter tokoh, seting, atau alur cerita. Saya bisa bebas memainkan bahasa-sesungguhnya berperan penting bagi karya sastra-ketika menulis cerpen. Sementara dalam puisi, kewajiban saya ialah memadatkan imajinasi yang berkeliaran-berkelindan ke dalam kalimat-kalimat sebisa mungkin ekonomis sehingga tak kelewahan.
Saya juga ingin menghidupkan tokoh-tokoh dalam cerpen saya seakan benar-benar hidup. Tokoh-tokoh itu bisa saja saya, teman, orang tua, istri, ibu, atau pun anak. Tokoh-tokoh itulah, setelah cerita itu jadi, kembali berdialog dan berdiskusi dengan saya betapa pentingnya hidup lurus dan bersih. Betapa indahnya menengok hidup yang acap berzigzag. Tokoh-tokoh dalam cerita itu juga seperti membuka mata dan hati saya kembali: "kok ada ya tokoh seperti ini? Memang ada!" bisik tokoh-tokoh itu.
Selain itu, ini yang terpenting, sangat menantang. Saya harus banyak memiliki "tabungan" kata dan kalimat, harus banyak memahami seluk-beluk alur cerita, penokohan, beserta konflik-konfliknya. Memang awalnya saya menganggap menulis cerpen untuk jeda saja, ketika saya sudah merasa jenuh dan kehabisan ide lantara terlalu produktif menulis puisi. Maka saya harus istirahat dulu menulis puisi sehingga puisi-puisi saya tak monoton atau tiada peningkatan kualitas.
*) Bisa dibilang ini ‘banting stir’ dalam proses selanjutnya?
Ini yang membuat saya sedikit "banting setir" dari puisi ke prosa. Tentu saya tak pernah untuk mengabaikan penulisan puisi. Saya masih menulis puisi, ketika saya benar-benar ingin menulis puisi. Frekuensi keseriusan dalam menulis puisi saat ini benar-benar saya tingkatkan, sehingga saya tak hendak melahirkan puisi yang "sekadar" atau hanya memainkan tipografi namun tidak bermakna. Atau memainkan gambar, tetapi bahasa yang digunakan milik orang atau mencaplok dari yang ada: dari puisi atau ayat kitab suci. Ditambah lagi, saya tidak punya kemampuan menciptakan sensasi-sensasi di dalam sastra demi popularitas.
*) Hidup total dari menulis, bisa diceritakan?
Sebagaimana saya katakan sebelumnya. Saya memilih profesi menulis setelah media massa tempat saya bekerja yang kedua bangkrut. Awalnya saya bekerja jurnalis di sebuah media terbitan lokal. Namun karena kami "melawan" pimpinan, 67 karyawan termasuk saya dipecat tanpa pesangon hingga kini. Saya mulai kecewa pada "dunia kapitalis" media massa, yang sesungguhnya sempat "menjara" kreativitas saya sebagai sastrawan lantaran rutinitas kerja. Tak kurang 5 tahun saya jalani rutinitas yang amat monoton ini, ditambah 2 tahun ini di media yang baru.
*) Ada semacam pencerahan, begitu?
Nah, ketika media tempat saya bekerja di ambang kebangkrutan, hati saya berontak. Imajinasi-imajinasi kepenyairan saya mulai meminta tempat untuk diperhatikan. Maka saya menulis puisi, mungkin sekitar 5 atau 7 puisi, yang kemudian saya kirimkan ke "Bentara" Kompas. Mengapa puisi itu saya kirim ke Kompas? Alasanya sederhana sekila: redakturnya adalah Sutardji! Jelas ada kebanggan tersendiri jika lolos dari "tangan besi" penyair O Amu Kapak itu. Kenyatannya memang 3 puisi lolos, bahkan mendapat pujian (catatan) khusus dari SCB (baca: Hijau Kelon & Puisi 2002, penerbit Buku Kompas, 2002).
Sejak itu saya merasakan "nasib baik" mulai berpihak pada saya. Dan ketika media massa tempat saya bekerja benar-benar gulung tikar pada 2001 itu, saya pun memilih total pada profesi sastrawan.
Tentu saja pilihan ini bukan tak ada sebab. Saya pernah kecewa pada media massa sebelum di Trans Sumatera yang bangkrut. Saya bersama 60-an jurnalis dan karyawan pers dipecat karena melakukan unjuk rasa pada pimpinan, dan sialnya sampai kini tanpa pesangon. Lalu salah seorang redaktur media massa yang saya tinggalkan itu amat "menganiaya" saya, sangat tendensius dalam setiap penulisan tentang saya. Teringat saya pada Sade yang menyatakan seniman semakin ditekan, maka ia makin produktif berkarya. Kreativitas seniman tak akan bisa dihadang-bahkan oleh senjata meriam sekalipun, kecuali waktu itu sendiri yang menghentikannya.
Maka, dengan "dendam kreatif" itulah saya melangkah dan melaju. Saya lupakan media lokal yang terbit di Lampung. Saya mengerahkan seluruh keahlian saya untuk melahirkan karya sastra yang bermutu. Ketika sebuah cerpen saya dimuat Kompas, terbayang bagi saya inilah awal saya merengkuh apa yang saya cita-citakan. Ditambah lagi dengan cerpen saya yang dimuat Koran Tempo yang kita tahu redakturnya amat selektif pada kualitas karya, begitu pula Suara Merdeka yang redakturnya adalah salah satu cerpenis terbaik yang dimiliki Indonesia. Belakangan sebuah cerpen saya pun dimuat Media Indonesia yang juga redakturnya kita tahu tak sembarang menurunkan karya sastra.
*) Nulis cerpen setiap hari?
Entah mengapa, atau karena energi apa, sehingga akhir-akhir ini saya memang demikian produktif menulis cerpen. Mungkinkah karena memang saatnya saya harus produktif, disebabkan saya tak lagi "diatur" oleh kapitalis melainkan "diatur" oleh diri sendiri (dan "kebutuhan") di mana kapan saya harus produktif menulis dan kapan saya mesti istirahat. Saya juga ingin "istirahat", akan tetapi "panggilan" untuk menulis cerpen begitu besar sehingga mengalahkan "kehendak untuk" istirahat. Apalagi adanya "tuntutan" pihak yang menghendaki saya mati bersastra, maka "kehendak" untuk hidup pun makin besar. Tersebab inilah saya pun produktif. Tersebab sentuhan-sentuhan estetika yang demikian layaknya air bah membuat saya tak mati-mati (kreatif).
Soal apakah setiap hari saya menulis cerpren, saya kira tidak juga. Ada beberapa cerpen saya yang masih terbengkalai. Tetapi, kini puisi-puisi saya kembali mengalir lagi. Puisi-puisi yang dimuat Kompas (24 Juli 2005), 3 puisi di antaranya ada terbaru dan saya kirim ke redaksi pada 19 Juli 2005. Sejak cerpen saya terakhir diterbitkan Media Indonesia berjudul "Batu itu Tak Terbang ke Langit" saya belum lagi melahirkan cerpen.
Terkadang saya bisa menyelesaikan satu cerpen sehari, bahkan tak sampai 3 jam untuk merampungkan cerpen pernah saya lakukan. Misalnya, "Gelombang Besar di Kota itu" (Jawa Pos) tak sampai 2 jam saya selesaikan, dan hanya 2 hari dari saya kirimkan (31 Desember 2004) sudah dimuat (2 Januari 2005). Atau "Ibu Berperahu Sajadah" (Horison, Maret 2005) saya selesikan 4 jam. Tetapi, cerpen "Kupu-Kupu di Jendela" cukup lama mengendap di Communicator 9210 i saya atau sebelum terjadi musibah tsunami di Aceh dan baru bisa saya rampungkan dalam penerbangan Pekanbaru-Jakarta pada 30 Januari 2005 dan kemudian cerpen ini dimuat Suara Pembaruan.
Sampai kini saya belum bisa menyelesaikan beberapa cerpen dalam sehari, tetapi kalau puisi saya cukup sering dapat melakukannya. Namun demikian, tak menutup kemungkinan, kalau saya tak salah ingat saya pernah dalam sehari bisa menulis 2 cerpen. Hanya saya lupa kedua cerpen itu.
*) Bagaimana dengan proses regenerasi cerpen kita saat ini?
Regenerasi itu alami saja. Dan, khasanah sastra Indonesia kini memang "dikuasai" yang muda-muda meski yang sastrawan tua tetap berkarya. Bersaing sehat saja. Ratih Kumalasari dan Yetti A.Ka saya kira karya-karyanya bagus: ini subyektif saja, saya menyenangi karya-karya kedua cerpenis itu.
*) Soal proses kreatif dalam menulis, apakah faktor mood itu sangat berpengaruh?
Sebagaimana manusia biasa, kejenuhan adalah hal wajar. Begitu pula tidak ada (mendapatkan) mood. Cerpen yang saya kerjakan cukup lama sekali, contohnya adalah "Kupu-Kupu di Jendela" yang pertama saya tulis November 2004, kemudian saya lanjutkan pada Desember bertepatan tsunami di Aceh juga tak selesai. Baru sekembali saya membaca puisi atas undangan Dewan Kesenian Riau, 30 januari 2005, saya bisa merampungkan di atas pesawat.
Cerpen ini tak diawali dengan mood. Saya hanya mau menulis dan membicarakan soal kupu-kupu di jendela yang kemudian tak lagi sering hinggap. Saya hanya memainkan narasi-narasi, imaji-imaji mengenai kupu-kupu yang sudah migrasi entah ke mana itu. Saya tentu amat merindukan kupu-kupu yang warna sayapnya amat indah itu. Saya tak sedang membicarakan persoalan Aceh, ihwal tsunami yang banyak menelan korban itu, tak juga mau bicara soal ladang ganja dan seterusnya. Saya hanya mau menulis tentang kupu-kupu di jendela (rumah saya). Tetapi, ketika terjadi bencana tsunami di Aceh saya tergerak untuk menarik cerpen ini ke persoalan tersebut. Tak juga selesai. Buntu. Mood lenyap untuk sekadar merampungkan. Dan, ketika di pesawat itu saya tergerak lagi untuk menulis, ketika saya dengan leluasa memandang awan dari jendela pesawat yang bagai buih yang menggiurkan untuk bunuh diri! Itu sebabnya suana di pesawat itu tanpa sengaja masuk ke dalam narasi cerpen "Kupu-Kupu di Jendela" itu: "HANYA awan memutih. Bagai wajahmu yang pasi. Bertumpuk antara serakan tubuh. Aku masih mencari kupu-kupu itu. Kini. Kupu-kupu yang pernah hinggap di bibir jendela kamarku. Dulu sekali.//Ah, aku tak berani mengenangmu kembali. Di angkasa ini aku hanya menyaksikan serakan awan; diam. Atau berjalan pelan. Bagai timbunan tanah yang mengubur tubuhku, juga tubuhmu sayang.//Biarlah ia tak akan pernah hinggap di jendela kamarku. Warnanya telah berganti putih, sebagaimana awan yang kulirik dari jendela pesawat ini. Tanpa terlihat kota-kota itu. Seakan mengajakku ingin bermain dalam kelembutannya."
*) Bisa diceritakan bagaimana caranya menangkap ide?
Ide menulis cerpen, bagi saya, bisa dari mana saja. Ketika tsunami di Aceh, saya dapat menulis beberapa cerpen antara lain "Gelombang Besar di Kota itu", "Ibu Berperahu Sajadah", "Perempuan yang Berenang saat Bah", "Kupu-Kupu di Jendela", dan "Seandainya Kau Jadi Ikan".
Artinya, dari satu peristiwa, saya menulisnya dari ragam sudut pandang dan masalah. Dari cerpen-cerpen itu pun, saya tak melakukan sewarna dalam cara mengungkapkannya.
Kemudian cerpen "Tikus" (dalam Seandainya Kau Jadi Ikan, Gramedia, Mei 2005), sesungguhnya ide itu datang dari yang ada di rumah saya. Beberapa bulan terakhir ini-bahkan sampai kini-di rumah saya banyak sekali tikus. Seperti mereka bersarang di dalam rumah saya. Jika malam menjelang, bayangkan gaduhnya tikus-tikus itu terutama di dapur. Dari sedikit ide itu saya lalu kembangkan ke persoalan rukun tetangga (masyarakat) hingga ke persoalan bangsa: "para tikus" yang juga sudah bersarang di gedung kantor legislatif dan eksekutif. Dari persoalan tikus di dalam rumah yang sejatinya persoalan sepele, akhirnya menjadi masalah bersama. Sebab ketika ketua RT mengadakan rapat untuk membasmi tikus, muncul beragam gagasan. Sampai-sampai ada ide seluruh warga "diwajibkan" memelihara kucing demi memburu tikus. Selesai? Tidak. Sebab kucing-kucing itu kawin dan beranakpinak. Begitulah seterusnya: setiap gagasan muncul selalu timbul masalah baru. Sampai akhirnya, aku tak lagi dipusingkan oleh tikus. Yang penting tidak menggangguku selagi bercinta dengan istri!
*) Soal penolakan naskah, bisa diceritakan?
Saya pikir setiap penulis, siapa pun ia, pasti akan berhadapan dengan penolakan dari redaktur/editor sebuah media massa/penerbit. Perasaannya, ya tak ada perasaan apa-apa. Ya. Tugas saya sebagai penulis merasa selesai begitu karya rampung dan dikirimkan ke redaksi media massa/penerbit. Setelah itu tugas redaktur untuk meloloskan atau menolak karya saya. Jadi, alhamdulillah, sampai kini saya tak pernah kecewa jika tulisan saya ditolak. Sebab saya percaya benarpada kredibilitas seorang redaktur untuk meloloskan atau menolak, dengan melalui pertimbangan kualitas dan keburukan karya kita.
Saya selalu berprasangka baik pada redaktur/editor, mereka sudah bekerja keras untuk mempertimbangkan karya saya. Mereka tentu obyektif. Kecuali ia tak obyektif, like and dislike atas pribadi (dan karya) saya, mungkin saya akan kecewa dan akan menyatakan (semacam sumpah): tak akan mengirim ke media itu selagi redakturnya tidak obyektif. Sebagaimana ditolak, ketika dimuat pun saya punya perasaan sama: biasa-biasa saja. Meski demikian, saya tak akan pernah lupa begitu ada kabar dari teman saya di Jakarta (terutama yang paling baik memberi informasi isi media massa Jakarta setiap minggu adalah Kurnia Effendi dan Zen Hae) bahwa di koran itu atau anu memuat karya saya, mengucapkan "Alhamdulillah" sebab akan tertutupilah kebutuhan hidup keluarga saya. Hahahaha….
*) Anda kelihatan sangat digandrungi oleh banyak Redaktur Seni media massa…
Saya setuju-setuju saja. Sebab, ketika saya memilih jadi penulis sebagai jalan hidup saya, saya juga ingin sekali menjadikan profesi ini sebagai "dunia yang tenteram dan damai" kepada siapa pun. Karena itu pula, saya tak pernah ingin berkarib-karib terlalu rapat dengan satu (redaktur) media. Sebagai sesama manusia, para redaktur itu adalah sahabat saya. Tetapi ketika posisi saya sebagai penulis dan mereka redaktur, yang saya harapkan, marilah jaga profesional masing-masing. Itu sebabnya saya pernah amat berang, ketika ada seorang penulis (Lampung) yang menuding saya karena dekat Korrie Layun Rampan dan memiliki link kuat di KSI sehingga puisi-puisi saya masuk Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Sungguh pikiran ini amat picik. Saya katakan, silakan tanya pada "bos" KSI waktu itu, Wowok Hesti Prabowo, apakah saya tercatat sebagai anggota KSI? Tanya pula Korrie soal apakah ada kedekatan saya yang amat kental sehingga ia memilih puisi-puisi saya?
Ini juga berlaku pada semua media massa. Saya tak memiliki kekuatan yang penuh untuk menundukkan para redaktur itu, selain kekuatan karya-karya saya sendiri. Karena itu pula, karya-karya saya bisa diterima, misalnya oleh Koran Tempo, Kompas, Horison, Republika, Jawa Pos, Suara Mwerdeka, Pikiran Rakyat, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Nova, sampai Annida, Sabili, dan Noor.
Saya hanya memercayai pada karya. Dan, karyalah yang akan mengantar apakah diterima atau ditolak oleh suatu media. Jadi, bukan karena link-link atau kubu, yang membuat karya kita diterima atau tak diterima jika sebaliknya. Ya, saya pikir enjoy saja dalam menulis ini. Atau meminjam pendapat teman-teman penyair di "Komunitas Berkat Yakin" (Lampung), ya rock n roll saja dalam berkesenian ini.
*) Soal selera para redaktur Seni Budaya itu, bisa diceritakan…
Saya tak pernah mau tahu dan terlalu jauh memasuki agar supaya tahu tentang "selera" redaksi (Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan juga media lainnya), karena "selera" sifatnya relatif. Kita bisa buktikan cerpen-cerpen yang dimuat Kompas sebulan saja, bisa kita dapati empat perbedaan yang mencolok. Bagaimana mungkin saya mesti menyamakan gaya saya dengan cerpenis Hamsad Rangkuti, Seno, Triyanto Triwikromo hanya untuk dimuat suatu media? Jadi yang saya percaya pada redaksi soal "selera" ini, adalah "selera" kualitas.
Dengan "selera" begitu, barulah saya memilah ketika suatu cerpen saya rampung akan saya kirim ke media mana. Bukan terlebih dulu dalam benak saya adalah media, baru saya menulis cerpen. Ketika cerpen "Mata Elangmu Nyalang" jadi, saya memutuskan untuk mengirimnya ke Koran Tempo karena saya menganggap cerpen ini layak dikirim ke sana. Atau "Batu itu Tak Terbang ke Langit" jadi, saya memilih Media Indonesia untuk saya tawarkan, dan bukan media lainnya. Alasan saya, cerpen itu (ini menurut saya sebagai penulisnya) sudah cukup kuat dan pantas ditawarkan ke MI (Media Indonesia). Di samping itu, cerpen saya belum pernah dimuat MI karena itu saya merindukan pula cerpen saya dimuat di sana. Ternyata dimuat, bahkan amat cepat waktunya sejak saya mengirimkannya.
*) Ada proses tambal sulam untuk cerpen yang ditolak?
Saya tak pernah dan tak akan melakukan tambal sulam untuk sebuah cerpen (ataupun puisi), hanya karena ditolak suatu media massa. Cerpen atau puisi yang ditolak media A, maka cerpen/puisi itu pula apa adanya akan saya kirim ke lain media. Kecuali saya pernah melakukan copy paste untuk beberapa cerpen saya, hanya karena dianggap redaksi kepanjangan.
Saya pernah melakukan dua kali untuk cerpen saya yang akan dimuat Nova. Karena kepanjangan sementara cerpen saya sudah lolos seleksi, Redaksi meminta kesediaan saya untuk memanggas sampai karakter yang dimintanya. Akhirnya saya copy paste untuk melakukan editing (tepatnya pemangkasan). Cerpen ‘kopian’ yang sudah dipangkas itulah yang saya kirimkan untuk dimuat, sedang yang aslinya tak saya lakukan. Cerpen dalam file inilah nanti yang akan saya muat jika ingin menerbitkan kumpulan cerpen. Saya juga pernah sekali melakukan pemangkasan panjang cerpen saya yang akan dimuat Republika (cerpen "Perempuan yang Berenang saat Bah").
*) Tentang cerpen remaja. Apa tidak berniat menulis cerita remaja?
Kebetulan sekali, mungkin karena memang saya tak ahli, saya tidak pernah mencipta cerpen remaja. Jadi, saya tak akan mampu menyesuaikan mood menulis cerpen remaja atau untuk orang dewasa. Saya hanya menulis dan sementara di hadapan saya, saya membayangkan seolah-seolah yang akan membaca saya adalah masyarakat umum tanpa dibedakan oleh usia atau kelas intelektualnya. Karena memang saya benar-benar tak ahli menulis cerpen untuk konsumsi remaja, maka itu ketika Kurnia Effendi meminta saya menulis novel remaja untuk sebuah majalah remaja sampai kini satu kata pun belum tergores. Padahal, deadline-nya bulan depan. Maafkan ya Kurnia, sampai hari ini saya belum dapat memenuhi permintaan Anda.
*) Untuk novel, bagaimana?
Kalau rencana selalu ada, tapi merampungkan novel yang sampai kini belum ada. Hahaha....
*) Bisa ceritakan perbedaan menulis cerpen, atau puisi…
Menulis puisi lebih sulit dari menulis prosa. Tetapi, tak berarti menulis prosa pun dianggap gampang. Bahkan, cerpen-cerpen saya yang dinilai realisme itu pun, menurut Yanusa Nugroho: "justru sebaliknya, dimanfaatkannya energi itu untuk membuat semuanya kembali pada keseharian. Di tengah lautan yang serba ingin ‘berbeda’, yang melanda dunia sastra kita saat ini, percayalah "menjadi sehari-hari" adalah sesuatu yang tidak mudah."
Sedang soal novel, sampai saat ini saya belum pernah merampungkan novel. Meski ada tidak file bertuliskan novel di komputer dan communicator 9310 i saya, tapi entah kapan bisa saya selesaikan. Saya benar-benar tak bisa, karena itu untuk apa saya paksakan?
Soal "beda rasa" memang terasa sekali pada saat menulis puisi. Karena puisi-puisi saya belakangan ini amat berbeda dengan gaya, stil, atau cara ungkapnya dibanding puisi-puisi saya terdahulu yang cenderung naratif dan prosaik-memanjang ke samping kanan. Dengan kalimat-kalimat pendek, tipografi pendek-pendek, saya mesti selektif memilih kata di mana kata merupakan kekuatan puitik pula bagi sebuah puisi. Sehinga saya mesti memeras seluruh apa yang miliki-baik ide, diksi, kekuatan puitik dst.nya-pada saat saya menuangkan ide menulis puisi. Sementara menulis cerpen, saya lepaskan "tabungan" kata dan kalimat yang saya miliki agar cerpen menjadi mengalir, terjaga ceritanya, dan tetap memiliki kekuatan (kualitas).
*) Ada saran untuk para pembaca muda yang ingin mulai menulis?
Saya tak punya banyak saran bagi penulis pemula, selain siap disiplin terhadap waktu, pikiran, dan pilihan untuk menjadi penulis. Jangan sampai mengabaikan disiplin itu…
*) Terakhir sedang mengerjakan 'proyek' tulisan apa?
Baru saja menyelesaikan 100 puisi pilihan yang akan diterbitkan Penerbit Grasindo. Buku 100 puisi pilihan itu yang semulai berjudul "Dari Dunia Lain", akhirnya menjadi Kota Cahaya itu, menurut Bapak Pamusuk Eneste tak lama lagi terbit.
Saya juga baru merampungkan penyusunan ulang dan ditambah beberapa puisi terbaru saya untuk kumpulan puisi "Kembali Ziarah" (terbit pertama kali 1996) yang akan diterbitkan ulang oleh Penerbit Gama Media Yogyakarta. Kabarnya, penerbit itu mau menerbitkan ulang buku puisi saya itu, karena pihak penerbit "mengintip" bahwa buku tersebut lolos untuk buku proyek di Depdiknas. Makanya mereka meminta izin untuk mencetak ulang. Mudah-mudahan saja "proyek" ini tak ada aral.
Terakhir masih "memulung" sejumlah cerpen saya yang belum masuk antologi, untuk dihimpun dalam kumpulan cerpen. Saya hendak menawarkan kembali ke penerbit, yang sampai kini belum saya tetapkan penerbit mana. Inilah "proyek-proyek" kecil saya, dari sisa hidup saya masih tersedia ini.
*) Sekarang bergiat di areal ‘politik’ juga?
Di Dewan Kesenian Lampung saya sebagai Ketua Program, suatu jabatan setelah Ketua Umum dan Ketua Harian. Kalau memang "jabatan" di Dewan Kesenian sebagai kancah "politik", maka saya hanya terlinat di dunia politik yang satu ini, sebab saya tak terlibat di partai meski ada juga yang (pernah) menawarkan. Sebagai "kancah politik" itulah, saya melihat Ratna Sarumpaet dkk. Dari DKJ sepertinya hendak mempolitisasi Dewan Kesenian Indonesia. Artinya, saya sebenarnya tidak "menggugat DKI" karena dalam kongres di Papua saya sudah kalah ketika saya menolak lahirnya DKI.
Tetapi, di kongres itu saya mengusulkan agar pengurus jangan dipilih semata dari peserta kongres karena tidak mewakili seniman Indonesia. Kalau kongres tetang menghendaki DKI, maka usul saya bentuk dululah "rumahnya". Sayangnya, Ratna dkk tampak "ambisius" untuk "menguasai DKI", maka ia berupaya agar DKI tetap gol dengan pengurusnya adalah orang-orangnya. Caranya, ia manupulasi tim formatur yang di kongres diputuskan adalah para ketua-ketua dewan kesenian se-Indonesia, lalu hanya yang hadir saja. Tetapi, ketika banyak peserta yang sudah pulang pada hari menjelang penutupan digelar lagi sidang yang memutuskan bahwa formatur terdiri dari 11 ketua DK ditambah 2 SC: Agus Sarjono dan Jamal D. Rahman. Ini kan akal-akalan: kedua SC ini adalah orangnya Ratna. Karena itu Ratna dengan mulus "mengendalikan" tim formatur yang lain. Konon, pengurus DKI itu sudah ada di tangan Ratna, hanya ketika kita tanya ke tim formatur mereka akan menjawab: belum.
Selain itu, DKI ini ditengarai akan menjadikan senatralistik bagi dunia kesenian. Ini yang membahayakan, di sampiang akan dijadikan "perpanjangan tangan" SBY untuk mengontrok kesenian dan seniman. Padahal yang kami inginkan, seperti juga pernah dikatakan Ketua Umum Dewan Kesenian Riau Taufik Ikram Jamil, bahwa DKI hendaknya bersemangat federal dan bersifat koordinator-informatif. Kepengurusan harus mencerminkan presidium. Kalau ini bisa, DKR akan mendukung. Ini yang saya tahu dari Riau. Saat ini mereka embargo terhadap tim formaturnya, sementara Sumatera Barat mencabut tim formatur dan dukungannya terhadap DKI. Begitu pula Jawa Tengah yang telah "mengadili" tim formaturnya ke DKI karena tidak becus. Sedangkan Jatim sudah sejak di Papua menolak DKI. Belum lagi penolakan yang saya tahu datang dari Bali, Sumatera Utata, Kepulaun Riau, dan lain-lain. Jadi, kalau Ratna masih ngotot membentuk DKI, jelas tidak memiliki alasan yang kuat. Karena itu, SBY juga tak akan segegabah menandatangani SK kepengurusan DKI karena gejolak penolakan terhadap DKI lebih besar dibandingkan yang setuju.
Selain itu, kongres di Papua itu juga sebenarnya cacat hukum. Tidak ada kongres di dalam tubuh dewan kesenian, tapi yang lazim adalah musyawarah. Dan, Musyawarah Dewan Kesenian se-Indonesia di Yogyakarta yang merekomendasikan di Papua, tidak sedikit pun berniat mengganti menjadi kongres apalagi ada rekomendasi tentang terbentuknya Dewan Kesenian Indonesia/Nasional, tetapi di tata tertib kongres di Papua tersebut butir tentang terbentuknya DKI. Sekali lagi, ini jelas akal-akalan SC yang notabene dari DKJ. Saya memaklumi ambisius Ratna Sarumpaet dkk untuk membentuk DKI, karena tak lama lagi mereka akan meninggalkan DKJ karena masa jabatannya berakhir. Nah, ibarat kereta yang hampir sampai di stasiun ternyata mereka telah menyiapkan kereta lain untuk membawanya dengan fasilitas yang tentunya tidak kecil. Saya kok meragukan niat mereka untuk mensejahterakan seniman dengan terbentuknya DKI, karena dari hari pertama kongres saya sudah mencium aroma politik yang sangat kuat. ***
* Wawancara oleh Chusnato
** Diolah oleh Sjaiful Masri dan Taofik Hidayat
Sumber: Sriti.com, Edisi 11/24/2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar