02 Desember 2008

MUKJIZAT KOMUNIKASI DALAM ANTOLOGI “TAHI LALAT”

Oleh Maman S. Mahayana



Salah satu ciri khas puisi adalah hadirnya apa yang disebut mukjizat komunikasi (the miracle of communication), begitu pandangan Cleanth Brooks –salah seorang tokoh penting dalam aliran kritik baru Amerika (the new criticism). Sebuah kekhasan yang ajaib; bagaimana sebuah kata atau serangkaian kata dalam puisi berpotensi menghadirkan sejumlah makna sesuai dengan konteksnya. Melalui konteks itulah, kata-kata dalam lingkaran metafora, simbol, ironi, paradoks atau majas yang lain, seperti didesakpaksa atau dibiarkan bergulir memancarkan berbagai makna. Oleh karena itu, puisi mestilah diperlakukan semata-mata sebagai puisi. Ia lahir dari sebuah sikap yang memperlakukan objek sebagai bagian dari dirinya. Subjektivitas penyair membawa penghayatannya atas objek, masuk, menyatu-padu dalam emosi pribadinya.

Sesungguhnya, Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri” mesti dipahami dalam kerangka menyimpan berbagai potensi makna dan ia sanggup memancarkan beragam makna, dan bukan sebaliknya, menjadi sesuatu yang tak bermakna. Kata atau sejumlah kata yang digunakan penyair mesti diterima dan dicurigai menyimpan kekayaan potensi makna, serangkaian makna, dan siap memancarkan makna-makna baru. Bagaimanapun juga, puisi hadir dalam kapasitasnya sebagai hasil pergulatan kultural –sekaligus intelektual—dari sosok seorang penyair yang tidak pernah berhenti menyimpan kegelisahan atas dunia di sekitarnya.

***

Antologi puisi Aku Tandai Tahi Lalatmu (Gama Media, 2003) karya Isbedy Stiawan ZS –sebagaimana yang juga terjadi pada puisi penyair lain—terkesan hendak menawarkan berbagai potensi atas kegelisahan emosionalnya. Setiap puisinya seperti memancarkan makna sejalan dengan konteks dan situasi peristiwa yang dihadapi. Maka, ketika ia mewartakan penghayatannya, mengungkapkan emosinya, kita dihadapkan pada sebuah dunia subjektif. Objek yang menjadi pemicu kegelisahannya, digiring dalam subjektivitas penyair. Yang hadir kemudian adalah suasana-suasana batin, monolog yang memantul kembali dalam diri penyair, dan peristiwa yang dihadapi subjek penyair yang tak kuasa menyimpan kegelisahannya.

Gaya kepenyairan model ini, tentu saja bukan satu-satunya –juga bukan yang pertama—dilakukan Isbedy. Di belakang itu, ada nama-nama Dodong Djiwapradja, Toto Sudarto Bachtiar, Ajip Rosidi, Sapardi Djoko Damono, sampai ke nama-nama penyair terkini macam Nanang Suryadi atau Tjahjono Widarmanto. Tetapi, Isbedy berusaha mencari—dan menawarkannya sekaligus—potensi lain yang mungkin. Ia juga mencoba bersiasat melalui beragam majas dan serangkaian enjambemen. Di sinilah, impresinya atas sesuatu memantulkan citraan-citraan yang sesungguhnya merupakan tanggapannya terhadap peristiwa yang sedang dihadapi dan kehidupan yang mengganggu emosinya.

Sebagai contoh kasus, periksa, misalnya, puisinya yang berjudul “Di Pantai”.
dekaplah aku, kata pantai pada laut, tapi,/setelah didekap, pantai pun membiarkan laut/ menjauh kembali, lalu burung-burung camar/hanya memandang sepi ujung bibirmu// Hubungan laut—pantai yang komplementer itu tiba-tiba menjadi sebuah paradoks, karena pantai di satu pihak tak dapat melepaskan dirinya dari kerinduan atas laut, dan di pihak lain, selalu membiarkan laut kembali menjauh. Sebuah pertemuan dan perpisahan yang sepertinya merupakan peristiwa biasa, tetapi justru menyimpan begitu banyak misteri.

Universalitas kehidupan bipolar itu, tentu saja setiap saat bakal kita jumpai dalam kehidupan keseharian. Kita pun sememangnya tak kuasa menolaknya. Tetapi, bagi Isbedy, peristiwa itu digiring ke dalam sebuah paradoks universal yang justru menghadirkan misteri kehidupan. Dan burung-burung camar –manusia atau malaikat sekalipun—hanya dapat memandang, meski ia juga dijerat misteri yang tak berjawab.

Persoalannya ternyata tidak cuma sampai di sana. Kecerdikan Isbedy melakukan siasatnya terjadi pada dua bait terakhir. Bahwa citraan alam yang dibangunnya dalam kerangka hubungan holistik itu, nyatanya harus pula berhadapan dengan kenyataan sosial. Laut dan pantai pada akhirnya bukan lagi sebagai sumber kehidupan manusia –nelayan, Sang Khalifah yang mencari penghidupan dari sana—ketika muncul manusia lain yang membawa permusuhan bagi laut. …laut pun terpana/lantaran maut yang memagut//

Itulah yang dimaksud mukjizat komunikasi! Sangat mungkin Isbedy sendiri sekadar menyampaikan penghayatannya tentang laut dan pantai yang tak bersahabat lagi bagi kehidupan. Boleh jadi ia tergoda untuk mewartakan kerusakan sebuah pantai. Tetapi, kita ternyata menjumpai makna lain yang lebih hakiki, lebih kompleks dan problematik, bersifat holistik, dan bermuatan universal. Di situlah, sebuah puisi –yang baik—tidak hanya menurunkan makna tekstual, melainkan juga makna kontekstual –yang dalam bahasa Cleanth Brooks— menyimpan potensi melahirkan keberagaman makna.

***

Antologi Aku Tandai Tahi Lalatmu ini berisi 78 puisi yang berdasarkan tarikhnya merupakan karya Isbedy yang ditulisnya sejak tahun 1998—2002. Penyusunannya yang kronologis membantu kita melihat perkembangan kepenyairannya selepas Daun-Daun Tadarus (1997). Mencermati antologi ini, kita laksana sedang melihat sebuah potret perjalanan kegelisahan emosional. Sebuah pergulatan emosi yang tak dapat dibendung ketika ia berhadapan dengan berbagai macam problem manusia. Oleh karena itu, tema yang diangkat Isbedy menjadi sangat beragam. Kesepian dan ketersiksaaan ketika sendiri berada di kamar hotel, kerinduan saat ia harus meninggalkan sebuah kota, kegamangan menerima sebuah berita yang mengejutkan, kesadaran introspektif kala berhadapan dengan usianya sendiri, kecemasan atas nasib negeri ini, atau hasrat mengusung problem puak yang makin tersisih.

Secara tekstual, sejumlah simbol dan metafora cenderung memanfaatkan benda-benda alam untuk membangun citraan puitik. Di antara itu, tidak sedikit pula Isbedy mencoba melakukan siasat melalui enjambemen. Kesengajaannya itu ternyata tidak hanya hendak membangun keindahan persajakan (bunyi), tetapi juga memberi tekanan pada tema yang hendak diusungnya. Di sana, enjambemen terkesan menjadi sebuah paradoks, ada ketersendatan komunikasi, kegagalan sesuatu yang mestinya justru tak terjadi. Periksa misalnya, sebuah puisinya yang berjudul “Menjaga Kota”. Hujan mengguyur kota-kota jadi kelam. jalan/basah, pandang mengembun. Tanpa jas hujan aku tembus/pisau air yang panjang. Perih mengguyur tubuhku//

Larik-larik itu –secara sintaksis— mestinya dibaca jalan basah, … aku tembus pisau air … Dengan pemenggalan jalan dan larik berikutnya basah, menempatkan kata jalan menjadi sesuatu yang paradoksal. Jalan yang mestinya memberi kelancaran transportasi (:komunikasi), justru mengalami ketersendatan. Niscaya ada sesuatu yang tak beres di sana. Pemanfaatan enjambemen memberi tekanan pada ketidakberesan itu. Hal yang juga terjadi pada pemenggalan aku tembus, yang memperkuat citraan derasnya hujan. Dan pisau air yang panjang jadinya punya makna lain dari sekadar hujan deras, yaitu musibah. Maka, perih menguyur tubuhku mewartakan sebuah malapetaka yang dahsyat. Pada larik terakhir, ia cukup mengatakannya dengan satu kata : kehancuran …// Dengan demikian, puisi ini menghadirkan sesuatu yang kontradiksi, paradoksal: Judul puisi “Menjaga Kota” justru mewartakan kehancuran sebuah kota. Sebuah pilihan kata yang tampak dipikirkan secara cermat-matang.

Begitulah, sarana persajakan serta berbagai macam diksi, telah dimanfaatkan sedemikian rupa, tidak hanya untuk membangun keindahan persajakan dan citraan yang lebih asosiatif, melainkan juga memberi tekanan pada tema yang hendak diangkatnya. Dalam hal itu pula, sangat penting bagi Isbedy untuk meluaskan kosa kata, mencermati makna-maknanya, dan mengolah repetisi secara lebih segar. Tanpa itu, sangat mungkin ia akan tergelincir pada repetisi basi, diksi yang klise, dan perulangan yang tak perlu. Bahan yang berlimpah, memaksanya harus melebarkan pencarian berbagai kemungkinan baru. Maka, tak terelakkan, Isbedy mesti segera melakukan penciptaan idiom-idiom yang lebih segar, suasana yang tajam-mempesona, dan pengolahan majas dengan siasat yang cerdas.

***

Contoh kasus dua puisi yang dibincangkan sepintas itu, tentu saja tidak mewakili keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini. Apalagi jika kita menghubung-kaitankannya dengan keberagaman tema, kekayaan majas dan pengolahannya yang penuh siasat. Bagaimanapun juga, antologi ini, makin jelas mengukuhkan sosok Isbedy Stiawan ZS sebagai penyair yang makin memperlihatkan kepribadiannya yang kukuh dan kepenyairannya yang matang. Kecenderungan memanfaatkan berbagai diksi dan sarana puitik, tampak diintegrasikan ke dalam jalinan kata yang potensial memancarkan keberagaman makna. Segala sarana puitik itu kelihatan digarap Isbedy secara serius. Di situlah, sosok kepenyairannya makin memperlihatkan kesadarannya bahwa puisi bukan sekadar larik-larik kosong tak bermakna. Di sana, ada sebuah dunia makna yang sangat mungkin berisi ideologi, sikap, wawasan—pengalaman atau intelektualitas.

Menulis puisi ibarat pengMiringeMiringjawantahan pergulatan emosi, kesadaran penghayatan atas berbagai problem manusia dan kemanusiaan, dan sekaligus juga pandangan kulturalnya atas sebuah puak. Dengan demikian, setiap kata dalam larik-larik dan setiap larik dalam bait, sangat mungkin sesungguhnya mewartakan banyak hal. Di situ pula, mukjizat komunikasi dalam puisi meneguhkan sosok puisi sebagai salah sebuah ruh kebudayaan. Ia lahir dari sebuah proses panjang pergulatan batin penyairnya.

Terlepas dari persoalan itu, tak berlebihan jika saya menyampaikan tahniah buat Lampung yang telah mengantarkan warganya sebagai penyair yang berpengharapan!



*) Dr Maman S. Mahayana, kritikus sastra dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI Depok. Tulisan ini diposting dari Lampung Post (tanggal terbit lupa)

Tidak ada komentar: