03 Desember 2008

Kumppuisi: Salamku Pada Malam

ISBEDY STIAWAN ZS

K u m p u l a n P u i s i











isi

Kau Dengar Orang-orang Menyanyi?
Datanglah Saat Senja
Di Sini Kucium Melati
Menziarahi Riwayat
Catatan (Setiap) Hari
Dada Biru Jamblang
Bulungan
Ia Pulang
Sebelum Kusinggahi Taman, Sekian Meter lagi
Kususuri Masa Lalu
Asap dari Kuburku
Aku Sudah Lupa
Kaukirim Airmata
Anganmu Perih
Di Bukit Randu
Raib Silsilah
Kami Menari di Sungai ini
Ihwal Orang-orang Lama
Meniti Hujan
Dari Ribuan Mimpi
Salamku pada Malam
Kekasih Kecilku
Rindu yang Sasap
Zahra
Saat Janji di Bawah Pohon
Terbang Menuju-Mu
Seluas Sembahyang
Sekelebat Bayang
Hanya untuk Menujumu
Lengang
Aceh 1
Aceh 2
Jadi Burung di Ruang ini
Dilesapkan Gumam
Gelora Ombak
Mengulum Embun
Satu Malam Dikurangi Tiga Jam
Rahasia Rambutmu
Sebuah Musik
Pada Malam Kesekian
Pisau dan Sepasang Bibir
Aku Menghirup Asap
Dari Seberang Rumah
“Blues”
Metafora Malam
Sedikit tentang Ingatan
Di Mana Pelangi akan Turun Kembali
Warna Kuning dan Putih
Ruang Flamboyan
Kamar 408 (Dari Seberang Telepon)
Lautmu Mencuri Mautku







kau dengar orang-orang menyanyi?


kau dengarkah orang-orang
itu menyanyi, di siang gerah?

mungkin Tuhan saja
enggan datang
karena nyanyian itu,
berapa pun baris syair
habis disenandungkan

tapi, kau selalu mendengar
suara orang-orang menyanyi?

entah di ruang mana,
mungkin di rumah-Mu
selagi kau tak ada
dan cinta kehabisan kata

apakah karena syair-syair
yang disenandungkan,
hingga ayat-ayat
kehilangan kebenaran?

kami belum mau mati
di tiang gantungan ini
kami kembalikan ayat-Mu
yang dikhianati

dan kau tak perlu lagu,
tak penting syair-syair!


April 2004









datanglah saat senja


mengembaralah kau
selagi matahari di timur
dan aku siap pula pergi
mencari cahaya lain

pakaian sudah kusiapkan
di dalam tas. juga sepatu,
handuk, sikat gigi, dan
keperluanmu yang lain

telah kuilalangkan
jalan menuju rumah
kurubuhkan jembatan,
dan kenangan-kenangan
kuhanyutkan bersama
banjir semalaman

jika kau datang esok
jangan menemuiku
dengan rambut putihmu
tapi datanglah
dengan usia senja
yang warnai cinta

meski rumah yang dibangun
dengan pasir akan runtuh
kita akan
dirikan lagi. mungkin
di dalam diri,
di arus airmata

juga di setiap
langkah kita


01/04/03—19/04/04







di sini kucium melati


di sini selalu kucium
aroma melati yang
terselip di telinga kirimu,
saban pagi atau senja

lalu kintamani melantun,
juga ubud yang berbukit
(dan orang-orang
menanam warna
di kanvas: seperti merah
dari api, juga hitam…)

tapi di kuta atau sanur
pernah kutancapkan
ciumanku di pasir
selagi kau menyisir
di samping debur ombak

hingga kunci kamar
jatuh dan tertimbun pasir
lalu aku melunta
di kotamu ini
sebagaimana ahasveros
tak kenal kembali…

aku tersasar di sangeh
bergumul dengan kawan lama
yang lari setelah mencuri
(kalau ia saudaraku, seperti
katamu, mengapa kami
tak bersapa dan sembahyang
bersama-sama?)

tiba-tiba aku ingat kau
yang membiarkan
aku sendiri menutup matahari…


denpasar 2001, lampung 19/10/2004








menziarahi riwayat


sekarang kucari cinta
bukan di tubuhmu yang pepaya
tapi di napasmu
beraroma kesturi

sepanjang waktu
kurapal lagi ayat-ayat
menziarahi riwayat
yang belum tamat

usahlah ingat jalan lalu
dipenuhi ranggas
sebab sudah usai
segala yang alpa

sekarang kubuka pintu
jalan kembali terbentang
kukubur silam
merenggut usia lebam

hari-hari ruah,
ayat yang mengalir
akan kutulis
akan kususuri cinta:
o kuriwayatkan, namun
bukan di tubuh pepayamu

duh, aku malu memandang
tubuhku sendiri yang arang!


25X2004










catatan (setiap) hari


tubuh anakku
ditelan televisi
lalu menjelma
jadi nenek sihir

menyulap dirinya
sebagai pahlawan
yang kalah
ditikam raja

sekejap lalu
ia panggil baja hitam
untuk melepas ikatan
dan menumpas raja kejam

tapi, sampai malam
anakku tak kembali
dari dalam televisi
dan dengkurnya
mengalahkan ledakanmu!

(mungkin ia terlelap,
mungkin…)


14 Juli-29 Agustus 2004







dada biru jamblang
: zen hae


dan kisah pun terhenti
begitu subuh masuk
ke ruang ini,
setelah itu kamar mandi
gemuruhkan gigilmu

dada membiru jamblang
menggigil di bak mandi
melupakan kisah lama
dalam mabuk ganja

mana soto betawi
yang kau janjikan
setelah aku mabuk
pulang ke lembah?

“aku sakit, abang,
kawinkan…” lalu
membelah ketakutan
memilih masuk
ke ladang larangan

dan aroma ganja
sedap soto betawi
menjadi kenangan

: lengking…


18 Juli 2004







bulungan


Dulu sekali (ketika
tahun-tahun hitam,
taman kelam) aku
datang ke situ
dengan pikiran biru

Menyisir taman
menyapa kegelapan,
lalu berteriak
laksana panglima perang
menembaki demonstran
di jalan-jalan

Dulu sekali (saat
panggung menghitam,
teriakan tak terekam)
aku membawa dendam
dari kobaran api
kekerasan negeri

Dan, kini aku
berdiri di panggung
menghitung orang-orang
yang telah tumbang


Februari-Juli 2004








ia pulang


ia pulang setelah
bertahun-tahun
mencari Rumah
yang terbakar

gambaran belukar
dan pohon yang tumbuh
di sebelah dirimu telah
menumbuhkan rindu

cuma ia tak lagi
mengenal jalan kembali
sungai menenggelamkan
pohon yang dulu

dijadikan rambu:
pertama ia keluar
seperti ular
menuju belukar

ia pulang setelah
bertahun-tahun
kehilangan rindu
pada wajah-Mu

ia pulang
ke rumahnya
membawa cerca


2003







sebelum kusinggahi taman,
sekian meter lagi


aku kehilangan angka
ketika menghitung cerca
yang kaualamatkan
ke dalam bajuku

kucari pasar
untuk menukar
tapi keburu tutup
dan lampu tiada

mungkin sabarku sirna
namun tak kembali
aku belum lagi
membangun rumah

maka melunta aku
sebagaimana ahasveros
yang kehilangan pintu

“kau badut tua
tinggal menunggu pembisik
tentang alamat baru,” katamu
sebelum kusinggahi taman,
sekian meter lagi,

duduk berhari-hari
mengharap bintang jatuh
atau daun di atasku luruh

kayu rapuh
tak akan lagi berguna


2003—2004







kususuri masalalu


(lagi-lagi kenangan). kususuri
masalalu. di sini matahari
telah lesap, hingga sulit
nemukan jejakku kembali…

ke mana pipiku
yang kau tampar
saat matahari memar?
di mana kau sembunyikan
jejakku yang terpeta
di sepanjang bumi itu?

pohon-pohon hilang
rumpun. daun-daun
luruh. menghapus
arah:

mengatup rumah
bagiku pulang


11 Oktober 2004







asap dari kuburku


bayang-bayang. ah, terlalu
jauh jarak silam dengan
kini. tinggal samar
di mataku yang nanar

kuingin kembalikan
jarak hingga parak
antara pandangan
dan bayang

seperti perahu
dengan lautmu
yang selalu ingin
karam di pantai

sebelum angin
inginnya mengempaskan
tubuhku tanpa batas!

ah, terlalu jauh jarak
pantai dengan laut
seperti titik kecil
di bola mataku

muara pun lesap
di tenggorokanku kini
mengepul asap
dari kuburku
jauh di pantai


Selat Sunda-Lampung, 10-17 Oktober 2004







aku sudah lupa


aku sudah lupa
pada pertemuan pertama
sehabis gerimis,
awan hitam berlapis
apakah aku menggamit tanganmu
atau kau yang menuntunku
melampaui gordin
menuju mimbar itu?

aku sudah lupa
saat pertamakali
jelmaan ular itu
merangkul waktuku

aku sudah lupa
pada pertemuan pertama
lalu kita mulai pertikaian
hingga aku luka
berahiku layu

aku, sungguh, sudah lupa
juga pada wajahmu!


8 September 2004








kaukirim airmata


kau tersenyum
setelah itu
kaukirim airmata
sampai ke akar-akar

jadi amunisi
yang meledak siang itu
selagi nyala matahari
basuh tubuh jalanan

dan kaca gedung pecah
tubuh-tubuh melepuh
bagai pohon tumbang
menjelma arang

lalu orang tua itu
kembali kecewa
menanti cerca

(ia selalu jadi boneka
di antara ledakan-ledakan)


09-10/09/04













anganmu perih


sesiang ini kau masih
terlelap. tubuhmu
nyeri. anganmu perih
terbayang wajah peri

kasur kian lembab
dan tipis ditikam
tubuhmu semalaman
juga dengkurmu,
igaumu yang
tak henti mencaci

kauinginkan raja
dari bangsa kera
biar hutan-hutan
setia menghijau
sebagai rumah
bagi orang-orang
terusir sepanjang tahun

dengkurmu, juga
igaumu menyebar
jadi mimpi
yang tak pernah
rampung


2004






di bukit randu*)


aku rindu bukit
yang kauciptakan semalam
dengan linangan peluh
dan erang

kunaiki lerenagnya
dengan rindu tertahan
sebelum malam
aku pulang

di puncaknya
kutumpahkan peluh
juga keluh
tahun-tahun tualang

dalam sujud
subuh tadi
aku sampai
puncak-nya

: kini kudengar
erangmu
karena runtuhan


2004



*) sebuah bukit di Kota Bandar Lampung, setelah dijadikan restoran, kini “disulap” pula jadi villa dan hotel. Pembangunannya sempat mencemaskan warga di sekitar.







raib silsilah


selebihnya aku kembali
pada kesepian
setelah eva dilempar
ke lain padang

aku pun melunta
dari padang ke padang
menumbuhkan harapan
di setiap selangkangan

yang menganga...

aku bukan jantan
yang kaupinang
pada mula penciptaan
sebelum eva datang
dan pohon ada di taman

lalu kaubujuk aku
dengan buah itu
hingga raib silsilah

kecuali kalian baca
dalam sejarah!


2004








kami menari di sungai ini


sungai membuat kami menari
tangan kami menggerakkan
arus. membelai pakaian
di batu-batu cadas

kami menari mengikuti
irama air, tangan kami
melambai dan menengadah
langit yang putih
seperti tubuh kami
dibalut kapas pagi ini

dendang kami berpacu
dalam arus, luruh bersama
irama air yang kaukirim
setiap detik ke mari

kami menari
setiap pagi dalam
irama sungai ini!


Bukitkemuning, 20/XI/04








ihwal orang-orang lama


segelas kopi
setumpuk rokok
membuka ihwal
orang-orang lama
yang kini hilang

dari kesibukan kota
pendaman dendam
janji pun berganti belati
menikam segala asali

riuh menata diri
melucuti pakaian:
seperti kota yang
makin telanjang!

kautenggelam
makin hilang
dari ihwal silam

dan berjuta kecupan
membara di hilirmu


08/XI/04











meniti hujan


meniti barisan hujan
yang menembus mantelku
kulihat cairan kabut
menjelma jadi mata
mengalir dalam pukaumu

kuraih jalan lain
menuju bukit yang
mendamparkan perahumu
tanpa nama-nama dan rambu
juga matahari atau bulan
karena di sini tak lagi
kutemukan siang dan malam

: waktu seperti tanpa bandul
tak pernah mendaki
juga tiada lembah di sini

menembus bayangan hujan
kudapati dari balik mantelku
seharis jalan licin
menghadang lekasku


23 November 2004










dari ribuan mimpi


sepagi ini kaudatang
bersama luruhan kabut
menghidupkan lampu
pandangku. segala yang
berbuah dari ribuan mimpi
kini menjelma

di sini, aku makin bimbang
menakar sisa perjalanan
menyusun lagi kenangan
yang kuluku setiap langkahku

mungkin pada esok musim
kau akan menuai
entah sebagai kenangan


24 November 2004






salamku pada malam

mengiris barisan hujan
malam hari, jalan pekat:
lolong anjing dari semak
melepas pungguk ke langit
seusai mencopiti sayap-sayap
di bawah pohon senyap

kuhitung patahan sayapmu,
semak basah, dan lolong anjing
yang gerayangi tubuhku. basah
oleh hujan, berdarah karena
tombakan…

mengiris barisan hujan
selalu kudengar lolong anjing
menubuhkan gemetarku

malam ini. salamku
pada malam
yang selalu mencekam


Okt-Nov 2004









kekasih kecilku
: zahra putri balqis


kekasih kecilku
tak alpa tersenyum
walau di musim kemarau
terik menggali keluh
di matanya kudapati
hujan tak pernah reda

kekasih kecilku
selalu tersenyum
meski hatiku
berwarna keluh

malam-malam ia bangun
sekejap menangis
kemudian mencumbu
dan lelap lagi
membawa tidur
kota-kota kenangan
semak berhujan

ladang basah
mengatup resah
kekasih kecilku
menabur tawa


28 Oktober 2004







rindu yang sasap


“ia bukan lagi anakku
setelah dibawa perjaka,” katamu
lalu rumah pun jadi sunyi
tungku acap tak berasap
mengenang masa anak-anak
dibuai ayunan, dilelapkan
di gendongan. dan nyanyian
“ninabobo” didendangkan
dekat telinga…

“aku selalu berdoa, kenangan-
kenangan itu tak terlupakan
kelak setelah dipinang,” inginmu
tapi busur telah lepas dan
anakpanah bukan lagi
di tanganmu. ia telah melesat
dan melupakan sarangnya:
amat jauh dari buaian
juga dendang anak-anak

seribu mimpi
di gendongan pun lesap

kini sungguh jauh busur
meraih anakpanah itu
seperti kauingin
meluk asap

rindu yang sasap


2004








zahra


kau perempuan cantik
yang pernah kukenal
seperti perempuan balqis
membuat hati sulaiman
berbunga dan memindahkan
istana ke hadapanmu

zulaikha memang manis
namun tak pula yusuf tergoda
maka kupilih engkau meski
harus menggotong
puing-puing istana dan
merapikannya di depanmu

kau perempuan cantik
yang pernah kutahu
maka kupilih kau
jadi kekasih

aroma istana
sepanjang waktu


27 November 2004













saat janji di bawah pohon


di bawah pohon depan rumahmu
aku janji suatu nanti akan kembali
dan menjemputmu. waktu itu
bulan mencatat, langit mengecat
sementara kau tak sempat berucap

“tubuhku gigil,
lantaran sepi yang dekil,” kataku.
tak kugenggam tanganmu
sebab aku tak ingin
kehilangan aroma tubuh,

dan peluh ibu yang bertahun-tahun
mendekap selalu menyusuiku
telah jadi warna ciumanku

aku tak mau tergoda
hanya untuk memelukmu
sedekap sekejap
betapa pun wangimu

peluh ibu
amatlah wangi
alamatku nanti!


Juni-November 2004











terbang menuju-mu

selepas burung itu
terbang melenggang
aku baru merasa kehilangan
hidup dalam taman-taman

kemudian kulukis sayapnya
di seluruh tubuhku
hingga serupa burung
aku pun lepasterbang

memburu anganku yang hilang
susai mimpi semalal
bersamamu setaman
mandi kembang-kembang

serupa burung yang melenggang
aku terbang bersama lukisan

sayap-sayap burung
yang menjelma bijian
menumbuh di ladang
akan berbuah burung lain

(pun akan terbang menuju-Mu)


29 November 2004







seluas sembahyang


aku lupa pada cinta
yang menubuhkan waktuku
dalam ombaklaut luas ini

semula ingin kutikam
ketika datang malam-malam
yang bikinku tergoda
oleh warna pekat

sekerat, sekarat…

kukatakan padanya
aku belum mau mati
masih suka mimpi
atau pulas usai berahi

menabur ingin
seluas sembahyang


29 November 2004









sekelebat bayang


menyusuri pematang
di bawah hujan
di waktu kelam
sekelebat bayang
berlari di depan

lalu tenggelam

dengan sayap zikir
dari kalimat-kalimat langit
melenyapkan diri
sebagai wujud
memburu bayang-bayang
antara ada dan hilang

di gerbang taman
terengkuh bayang
bersalaman:
bercinta

rumputan bergetar
daun-daun terbang
ke langit-Mu lengang
akhir tujuan!


akhir November 2004








hanya untuk menujumu


setelah menembus angkasa
kini kususuri lautan
hanya untuk menujumu,
persinggahan yang lalu

belum genap inginku
waktu sudah menandu
tunggang angin puyuh
kembali juga padamu

di selebar bumi:
angkasa dan lautan,
tanah dan cairan
membilang kapan?

aku kehabisan sapa
di depan persinggahan
ini waktu
sekarang jua!


selat sunda, 30 januari 2005; pkl.16.44







lengang


aku menunggui siang
membunuh lengang

tataplah ketinggian
atau lepas lautan
yang terbit diam-diam
dan mencekam dalam dirimu

usah ingat mimpi-mimpi
sebagai kenangan usang
sebab ini jalan telah
membuka wajah bagimu,

kau berkata sebelum
kulempar selimut
ke sampah malam
dan padamkan lampu

aku membunuh lengang
menanti lembar-lembar siang

di mana kau menunggu,
tapi…


dalam penerbangan jakarta—pekanbaru , 29 januari 2005; pkl.10.50









aceh 1

terhapus segala kenangan,
semua yang pernah kaukisahkan
juga seudati ataupun didong
ah, cut nyak, kuingin kembali
menyusuri tapakmu saat masuki hutan
daripada diperah si kafir
lalu menyuruh penyair
membacakan bait pembangkit

tapi aku tak pernah dapat
menemukan tanda langkahmu
sebab telah terhapus bah
yang datang di pagi ahad
sedang perahu Nuh
sudah lama terdampar
dan tak lagi kembali


aku mengenangmu, cut nyak
cuma untuk menubuhkan kegagahan
sebagai orang aceh
meski didera luka bertahun-tahun
takkan larut dalam tangis

cut nyak, kupilih inong
dan orang-orang yang tersisa
karena bencana yang maha
untuk menjaga aceh
sebab di bumi, di tengah ladang ganja ini
aku bersekutu agar luka
tak terus-terusan jadi peristiwa

maafkan jika aku selalu mendekap aceh
tersebab ia hidup dan matiku

izinkan


bandara cenkareng, 29 januari 2005







aceh 2

demikian. setiap mengenang
pagi ahad yang petaka itu,
aku menyigi seluruh alpa
juga khianat pada-Mu

sudah berkali-kali
kulupakan Dikau
jalanan yang hitam
kutempuh berwaktu-waktu

atau inilah pertanda
kasih-Mu sebelum kulalui
jalan paling panjang
melepuhkan segala cerca

sebelum aku benar-benar
diam dan mataku nanar


pesawat wing pekanbaru-jakarta, 30 januari 2005








jadi burung di ruang ini


di ruang ini aku jadi burung
sedang kau sebagai sarang
lalu bagaimana bisa
burung pergi dari sarang?

maka aku mengeram di dalammu
aku beternak ruh yang
bersayap di masa datang
kepakkan segala kata

jadi kalimat
rimba keramat
yang kau eram pula
sehabis hujan luruh
di luar rencana…

aku jadi burung di ruang ini
mengeram di sarangmu
beternak kalimat-kalimat
dusta,
tumbuh sayap di masa datang
yang pulang dengan kaki patah

merimba keramat….


21-22 Juli 2005






dilesapkan gumam


aku mau pulang
sebab malam
sudah makin bunting
dan para peri
sudah beterbangan

tak ada lagi
yang dapat dijaga
-bahkan usia-
ketika malam makin
membunuh bayang
lalu kausarangkan
ke diriku paling dalam

dan para peri datang
ingin bawaku jauh
ke pulau tanpa labuh
membuatku lupa jalan pulang

laut hilang tanda
pantai lupa akan pasir
bintang makin sasar

tapi aku mau pulang
sebab malam makin sungsang
dilesapkan gumam!


2004/2005








gelora ombak


setelah lampu lampu dihidupkan
dan kau beranjak dari kursi
kiranya ada yang tertinggal:
sebuah kenangan amatlah indah
dan jejak yang mungkin akan
bertanya, entah bila kita
kemari lagi. membikin sejarah
lain di sebaris bibir yang berlaut

hendaklah kau simpan gelora
ombak itu. seperti perahu perahu
tak pernah lupa mencatat pantai
bagi batas pelayaran. dan hanya
pelaut yang baik tahu kapan
dan di pantai mana
untuk sampai,

jika kini kita masih berlayar
dimainkan laut hingga
perahu bergelora
cukuplah rasakan getarnya
lalu kita akan ke pantai
dengan tubuh tanpa luka

dan esok pastikan berlayar
lagi, mencari pantai lain dan
waktu baik untuk singgah.
sebab sebagaimana pelaut
yang baik akan tahu
waktu untuk kembali
dan membasuh segala luka
-apabila ada
di kening, di pipi, di bibir,
di seluruh rambut
hidup ini-


sampai larut
terkenang!


5 Agustus 2005; menjelang 00.00





mengulum embun


maka seperti malam
engkau benderang
membiarkan seseorang
berlari ke rimbunan
: mengulum embun
jatuh di daun

di garis fajar
kuterima berita itu…


7-8 Agustus 2005








satu malam dikurangi tiga jam


selembar bekas pelukan
jadi kenangan di dinding

satu malam
dikurangi tiga jam
sungai telah tumbuh di sini
dari matamu yang pedih
seperti membentang air
dan aku ingin sekali membasuh
mencatat lagi satu nama
sebagai daftar menu

selembar bekas ciuman
jadi sungai di dinding

satu malam
dikurangi beberapa waktu
berkeliling kota
mencari persinggahan
dan dari bibirmu
seperti membentang lautan
membuat rinduku berenang
meski akhirnya terhalang
mercu berlampu merah

“kalau cuaca tak ramah
baiknya menepi di pantai,
dan lepaskan pegangan
sehabis menulis kenangan,”
bisikku sambil merenggang
lalu meninggalkan malam

catatlah namaku
juga aroma tubuhku
karena malam nanti
aku sudah lupakan
segala perjalanan
--juga persinggahan--
sepertiga malam
dikurangi beberapa menit
oleh kebimbangan:

kau sudah rasakan
gerimis mulai datang
sejak kita susuri malam
meninggalkan keramaian
untuk mencapai sepi

selembar bekas pelukan
jadi sungai di dinding


Jakarta 14/9-Lampung, 20/9/2005







rahasia rambutmu


“kita ditakdirkan
untuk berjumpa
lalu saling lupa
dan mencakar-cakar
setiap kali bertemu
di lain waktu,” katamu
melepas penutup kepala
yang menyimpan
rahasia rambutmu

seperti kaujanjikan
saat angin sampai
malam hari
rahim kebiri
bibir yang berlumut
bahwa kita harus
berjumpa jika
waktu longgar

“tapi, kumohon jangan
sentuh rambutku
yang sejak kanak
sudah cabik,” bisikmu

aku mengangguk,
juga tubuhmu yang lain
tak akan menggodaku:
“aku akan jaga malam
dari ibu segala peri
yang hendak kawin,”
jawabku

sebab ini malam
bukan milik kita
semata,
kecuali sesaat datang
setelah itu hilang

sampai pagi
mengantar kembali
napas kita
bersama matahari
yang memancar
di matamu

- fajar!
(kini lindungi rambutmu
yang sejak kanak luka
dari tajam hari)


20-21 September 2005








sebuah musik


sebuah musik
bagai gemuruh
jutaan pedang
mencari liang
dekat selangkang

tapi, tiada luka
meski terbuka lubang
menunggumu datang
sehabis mengawinkan
kunti sebelah kuburan

kau tahu, aku sedang
menunggu tamu
yang katamu akan tiba
pada bulan rajab
bukan di tahun naga
banyak orang ramalkan

karena itu lupakan
ingatan tentang helsinki
yang membuat kota
jadi api
sedidih laut
mengirim maut

beribu orang mati
beribu orang hilang
beribu hutan terbakar


/jakarta, 14 agustus 2005






pada malam kesekian


di suatu hari…

pada malam ke sekian
dari pertemuan berulang-ulang
sepasang merpati lalu hilang
ke balik pepohonan

kau tahu hutan itu pula
yang juga menyasapkan
sepasang lainnya di sini
di tahun-tahun lalu

suaranya menderu,
memanggil-manggil namamu
tetapi hari telah berganti
untuk kemudian lupa

tentang sepasang merpati
yang sasap dan ditemukan
mati berkain kabut
di bawah pohon
sebelah sumur tua
keramat

bertahun-tahun lalu
sebagai cerita,
menginggatkan anak-anak
supaya tak masuk hutan
dan menjelma pula
sebagai merpati

di suatu hari…


21 September 2005; 11.17








pisau dan sepasang bibir


malam kian mencair
di tiang-tiang listrik dan telepon
kabut luruh, bintang merapuh

kita cari bandar
sekadar sandar
kelasi yang lama di lautan
tahu kapan rindu daratan

demikian, ini malam
kita adalah kelasi
yang rindu peraduan
di tanah harapan

malam yang mencair
kabut yang jadi air
dan sepasang bibir
(ah tidak, tapi seiris apel
lalu kita memakannya:
mengingatkan pada buah
yang dulu pernah juga
menggiurkan sepasang lain)
tergeletak di meja
dan sebilah pisau
dengan mata tajam
memancar dendam

“pilih mana dulu:
apel atau pisau?”

aku ingin bibirmu,
kata kau sambil
memainkan pisau
dekat, sangat dekat
di bibirku…

pisau atau apel,
kau pilih mana?


Pku, Tjp, Lpg, November-Desember 2005







aku menghirup asap


dari sebuah langkah
yang lalu memuara
di kubangan waktu
aku bertamu

padamu. taman
yang ditumbuhi bunga
ragam, tangan yang
selalu melambai

daun-daun hijau
angin menari
mengikuti irama
tubuh
musik gaduh
bersama-sama

di kubah kota
lengang melenggang
lirihmu gesah
aduhmu basah

kaulepas jaket
membiarkan embusan
membelai….

Jangan berhenti
di persimpangan
selagi napas mengerang
(kauberikan cintamu
yang dipilih dari
hutan belukar
tanpa empunya)

riau-kalimantan
aku menghirup asap
dari hutan terbakar!


29 November-8 Desember 2005







dari seberang rumah


di ruangan ini
aku telah menghapus
segala ingatan
berwarna-warni

agar kau menyatu
ke dalam waktu
dan dada alam
yang telah membuat
hidup semakin bergetar
seperti pejalan
selalu setia
mengumpulkan langkah
yang lama ditinggalkan
kemudian merinci
segala kemungkinan
di depan sebagai pagar

pejalan selalu setia
pada kedua kaki
untuk pergi dan pulang
meski tanpa catatan
atau sekadar ingatan
sebagai oleh-oleh
mereka yang di rumah

sebagaimana pintu rumahmu
yang setia menutup
dan mengembang
bagi para pendatang

di ruangan ini
telah kukumpulkan langkah
yang lama dilupakan
untuk selanjutnya kuhancurkan
menjadi sekadar serpihan

bahwa kita pernah
menyatu di jalan yang sama
di kota tak berwarna
di sebuah ruang remang
dalam kubangan asap,

membuat sekejap
kita sasap
tak tahu pintu
masuk dan keluar
juga tak lagi kenal
suara memanggil
dari seberang rumah

sudah lama sekali


Pku-Tjp, Nov—Lpg, Des 2005



























“blues”


tiba-tiba saja blues
yang kauiramakan
mendesah di dalam benakku
kau tahu, sembilan bulan lebih
kemudian menetas
tapi tak jadi baris-baris puisi

hanya sebutir kenangan
yang minta diingat

mungkin esok malam
kau datang lagi
bawakan blues yang lain
sambil meracau puisi
dekat telingaku

dan aku akan merapat
dengan pandanan lekat

“aku sulit lari
dari wajahmu!”


Desember 2005









metafora malam


di dalam akuarium
gelap dan penuh asap
kita menjelma jadi
dua ekor ikan

tak hendak menepi
atau menaiki air
: berenang
saling mencupang

sebagaimana penari
kita pun beriang
menjejak lantai
menggerakkan tubuh
tak ke tepian

sayap-sayap mengembang
menggegas terbang
sesama berdekapan
dan kota dipenuhi air
: meluap, melahap

sebotol minuman tumpah
dua pasang sepatu basah
sesosok bibir pecah
di bawah redup lampu

aku ingin kembali
di hari lain lagi,
bisikmu sambil merapikan
sayapmu yang telah koyak…


29 November 2005









sedikit tentang ingatan


simpanlah sepotong wajahku
di saku ingatanmu, lalu cabik
segala peristiwa
juga sejarah yang ditulis
diam-diam…

jika kita yang membangun
maka jangan biarkan orang lain
yang menghancurkan, tapi
seluruh ingatan tetap akan tumbuh
jadi sepohon rindang

dan pada lain hari
entah kita atau orang lain
akan singgah
untuk berteduh
atau sekadar membuang keluh

tetapi ingatan-ingatan
tak akan pernah berantakan
bahkan sehalus dekapan
juga sedikit ciuman

kota beraroma bawang
akan selalu merekam
--entah siapa berucap--


29/11—8/12/05








di mana pelangi akan turun kembali


kau pun hanyut dalam arus air
rambutmu basah, pakaianmu lembab,
bibirmu sudah kehilangan warna
tapi kedua tanganmu tak henti merapat

dengan lagu, ah beberapa lagu
yang menguar di kaca besar
matamu kulihat kian nanar
tetapi suaramu mengular
hendak mengajak ke belukar

dan dua tangan yang lain
seperti tak ingin merenggang
sebab taifun dan bah akan datang
di luar ruang: kota yang lain….

kau tahu ini malam penghabisan
cuma beberapa jam lagi
setelah dikurangi basa-basi
dan perjalanan berliku tadi

sebab itu lupakan langkah silam
atau esok siang bakal berpisah,
lalu jadikan tangan ini
sebagai perahu. yang mengayuhkan
segala tubuh (kalau belum juga
melupa, mandilah dengan air-api itu
sampai bibirmu pecah dilumat
srigala) ke lain tubuh

“langit, di mana pelangi
akan turun kembali
seperti kepadaku ia janji
pada sedikit malam lalu?”

- kelu -


Nov-Des 2005








warna kuning dan putih
: hasanudin dan marhalim


apa yang akan kuceritakan lagi padamu
ketika dongeng sudah habis
mungkin hanya sisa dengung
atau puing sehabis taifun
di malam pesta yang riuh

sesiang tadi kuseberangi selat
singgah sekejap di penyengat
memandangi makam-makam
seperti menggali rahasia pualam

hanya matahari dengan teriknya
bau lumpur dari tepi pantai meruap
datang dan pergi dibawa angin

dari ketinggian makam para raja
kau sadarkan aku pada warna-warna
“bahkan pada kematian
kaudapati perbedaan,” lenguhku

lalu warna kuning dan putih
seperti mengajakku masuk
ke ruang makam-makam


Pulau Penyengat, Desember 2005








ruang flamboyan

aku mau kau tak meninggalkan kursi
sampai angin benar-benar susut
dan aroma selimut masih
meruap dari kamar tidur

mungkin sisa dengkur
-juga desah dan gelisah-
masih terkenang
sebagai angan
yang menjelma tangan

-melilit di lehermu,
sebagaimana malam
yang juga melingkar
kemudian rebah-

kini sisa desah
dan bibir yang basar
mengucap-ucap hujan,

tawa panjang,
menutup pandang

aha! jalan yang tadikah
kembali kita susuri
mencapai pulang?


November—Desember 2005









kamar 408
(dari seberang telepon)


aku tak bisa tidur malam ini
anganku begadang
menulis cerita
yang kugali dari matamu
: bibirku?
(kau menggoda)
baru saja kaupergi
setelah meninggalkan ucap
: ah, tawa….
(kau mendesah)
dari seberang telepon

aku teringat suaramu
di kamar itu
jadi pennyanyi
di layar televisi

tapi lipstikmu
kutemukan di ranjang
menulis kisah amat panjang

: aku tak ingin menghapusnya
(kau tersenyum, malam terus pergi)
-aku mau mengekalkan-
(malam benar-benar luluh)


Lampung Nov-Pekanbaru Des 2005








lautmu mencuri mautku


setahun engkau pergi
pulang membaca hari

di daratan lengang
sampan patah kemudi
tapi di laut bentang
badai terbayang lagi

akan kausimpan di mana
rumah-rumah yang hilang
kampung-kampung koyak
kalau tak dalam dadalaut?

setahun kau datang
pergi membawa mati

di kampung yang kini jadi asing
kuburanraya tak menulis nama
dan aku ingin kembali menggali
seribuan ruh yang luruh

: di bawah matahari
waktu pun tak abadi!

lalu lautmu
mencuri mautku?


Lampung, Desember 2005















endorsement-
Dengan rangkaian citra yang membaurkan alam benda dan alam batin, perjalanan dalam ruang dan waktu, sajak-sajak Isbedy Stiawan ZS sering memerikan sesosok manusia yang meradang oleh haru-biru dunia namun merindu terpukau rahasia sunyi di baliknya. Kata-kata lembut dan keras bisa bertemu, kadang seperti berbenturan, menyuarakan getar gairah maupun kecemasan, kepedihan maupun kekhusyukan. (Hasif Amini, redaktur puisi Kompas, 2005)

Saya seperti menemukan anak saya yang hilang pada puisi-puisi Isbedy Stiawan ZS. Saya juga melihat ada maut mengendap di sana. Maut yang diolah dengan kekuatan metapor dan bahasa penyair sejati. Jalinan kata dan peristiwa dalam puisi Isbedy, membuat puisinya sangat berkedalaman. Di tangannya, kata-kata hidup dan berbiak-biak jadi pecahan-pecahan semesta: rumput yang menyimpan maut. Di puncak kepenyairannya, ia telah mengalami kematangan, meninggalkan roman picisan atau seks yang kehilangan bunyi—seperti banyak diteriakkan seniman belakangan ini. (Hudan Hidayat, cerpenis/novelis, 2005)


Segala sarana puitik itu kelihatan digarap Isbedy secara serius. Di situlah, sosok kepenyairannya makin memperlihatkan kesadarannya bahwa puisi bukan sekadar larik-larik kosong tak bermakna. Di sana, ada sebuah dunia makna yang sangat mungkin berisi ideologi, sikap, wawasan—pengalaman atau intelektualitas. (Maman S. Mahayana, kritikus, 2003)

Tidak ada komentar: