01 Desember 2008

"5 cm." dan Fenomena Novel Popular

Oleh Isbedy Stiawan ZS



SETELAH Ayat-ayat Cinta meledak dan novel karya Habibburrahman tak hanya best seller tapi juga diangkat ke layar film, menyusul Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata meramaikan layar bioskop.

Kedua novel popular tersebut seakan meredam fenomena sastra seks yang “dibangun” Ayu Utami melalui Saman dan Djenar Maesa Ayu (Jangan Bilang Saya Monyet), bahkan fenomena “sastra wangi” yang diapungkan oleh sejumlah penulis perempuan nan cantik dari kalngan selebritis.

Kini siap mengikuti jejak Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi ialah 5 cm. karya Donny Dhirgantoro. Buku yang memasuki cetakan ke 12 dan sebagai buku best seller pula, telah didiskusikan dan dihadiri penulisnya di Bandar Lampung, 21 November 2008. Saya dan Arman A.Z. dipercaya sebagai pembedah.

Novel 5 cm. berkisah tentang persahabatan 5 orang sejak SMA hingga ke bangku kuliah bahkan sampai berkeluarga. Ke lima sahabat yang mengaku dirinya “Power Ranger” tersebut adalah Zafran, Arial, Riani, Genta, dan Ian.

Selama 7 tahun tak pernah berpisah dan tiada hari tanpa berjumpa: diskusi, debat, nongkrong, nonton, ke kafe, yang bagai de ja vu itu, akhirnya membuat mereka tiba pada titik jenuh: bosan. Lalu mereka memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Selama jeda itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka lebih kaya dari sebelumnya.

Pertemuan setelah tak jumpa selama 3 bulan dirayakan bukan di tempat tongkrongan mereka sebelumnya, melainkan di puncah Mahameru. Tepat pada saat Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya: 17 Agustus!

Dalam perjalanan sejak di Stasiun Senen hingga Lempuyangan, banyak hal yang membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan, terutama sosial, yang didapati mereka. Misalnya soal pungli kondektur kereta api saat di jalan, soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai tarif resmi, dan banyak lagi. Semua pengalaman itu, sekali lagi, makin mendewasakan mereka.

Novel best seller ini memang dapat mengayakan batin dan pikiran kita. Meski pun di sana-sini, bahkan hampir setiap halaman dipenuhi oleh kutipan lirik lagu sebagai penyedap untuk menarik kesukaan banyak pembaca muda, tidak mengurangi arti pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Memang novel ini seperti “mendoktrin” pengamalan P4 kepada—terutama generasi muda—yang saat ini nyaris kehilangan nasionalisme dan idealisme. Tetapi “doktrin” yang dilakukan Donny sangat halus, berbeda jika dilaksanakan birokrat. Ia mainkan perasaan pembaca melalui peran-peran tokoh dalam novel tersebut. ia ajak pembaca menikmati keindahan alam puncak Mahameru. Nah di puncak tertinggi Semeru itulah, saat detik-detik prosesi memeringati HUT Republik Indonesia, siapa pun akan bergetar ketika sang saka Merah Putih dikibarkan menantang langit luas.

Bahkan seorang pecinta alam saat bedah novel ini di Museum Lampung, mengaku bertandang ke puncak Mahameru lantaran tertantang dan tersihir oleh novel Donny Dhirgantoro ini.

Novel ini memang berhamburan nama-nama dan sekaligus buah pemikitran serta perenungan sejumlah tokoh dunia semacam Alfred Nobel, Einstein, Sade, Plato, Socrates, Frank Sinatra (dan ah keliwat banyak jika dideretkan di sini) terkesan kelewahan. Bahkan menunjukkan seakan-akan penulisnya banyak melahap buku bacaan. Rasanya, sekelas mahasiswa umumnya, sulit (bukan tak ada sama sekali) kita pergoki mahasiswa ideal seperti ke 5 tokoh dalam novel 5 cm. ini.

Donny seperti tak sabar untuk tidak menghambur-hambur seluruh buku yang telah dibacanya. Pembeberan nama-nama dan juga pemikiran-pemikitan para tokoh dunia, meski bernilai bagi pembobotan novel ini, terkesan dipaksaan karena “nafsu” sang penulis.

Sebagaimana tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta yang amat suci, Ikal dalam Laskar Pelangi yang sejak kecil menggantungkan cita-citanya ingin ke luar negeri setelah mendapat kado dari seorang perempuan Cina tempat dia biasa membeli kapur tulis untuk sekolah, begitu pula ke 5 tokoh dalam 5 cm. terkesan sangat ideal di saat generasi muda dan “orang kampus” yang lebih cenderung berpora-pora daripada mementingkan belajar.

Begitu pula ke 5 tokoh ini yang merasa bosan melakukan demo ke jalan-jalan karena menganggap cara itu kurang berhasil, akhirnya kembali ke dalam keheningan puncak Mahameru. Di sini saya teringat dengan perjalanan Soe Hok Gie—aktivis—yang kemudian memilih naik gunung karena kecewa lalu meninggal di puncak.

Saat bincang dengan Donny di luar diskusi, ia mengaku, tidak terinspirasi oleh Soe Hok Gie manakala ia tampilkan adegan tentang seorang pendaki yang meninggal di puncak Mahameru setahun lalu saat hendak pengibaran bendera Merah Putih pada 17 Agustus. Tokoh yang bernama Adrian dan teman Dhenik—sang fotografer, hanya diceritakan tentang makamnya di Mahameru, kemudian halusinasi Adrian yang memberi semangat pada Arial saat pingsan karena kejatuhan batu. Sebagai pembaca, saya seperti sangat dekat dengan tokoh Soe Hok Gie.

Novel 5 cm. memang tak istimewa. Bahasa yang dipakai Donny Dhirgantoro percampuran teenlit dan popular. Banyak tanda baca yang ia labrak, kurang dispilin pada logika bahasa, dan menggunakan suatu istilah namun tidak ditemukan dalam kamus: seperti “sepilas”. Padahal yang kita kenal selama ini ialah “sekilas” atau “sepintas”.

Sebagai pemula, ini pun diakui Donny meski novel setebal 379 halaman itu hanya dirampung 3 bulan, 5 cm. mengalir bagai air dari pegunungan, menurun, dan memuara di lautan. Karena itu pula, Donny seperti keasyikan dan trans sehingga harus menyelesaikan novelnya menjadi cair kembali. Sekiranya bagian “Sepuluh Tahun Kemudian” ditiadakan, tak akan mengurangi keasyikan novel ini. Walau pun ia harus mengedit atau meletakkan kalimat ini “ada yang pernah bilang kalau idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda, kita udah buktiin kalo pendapat itu salah.” (378), ke bagian lain.

Sebab, itu kalimat kunci dari novel ini. Selain itu memberi wacana bahwa cita-cita, mimpi, dan harapan haruslah diburu. Begini kalimat itu: “setiap kamu punya mimpi atau keinginan ataupun cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu...jangan menempel. Biarkan dia menggantung.... mengambang... 5 centimeter di depan kening kamu, sehingga ia nggak pernah lepas dari mata kamu.”

Setelah itu, “Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.” (362-363). Itu juga semestinya berlaku juga bangsa ini, “Bangsa yang besar ini juga harus punya mimpi…” (379).

Apakah, setelah novel 5 cm. ini diangkat ke layar film, kita akan mendapati semangat (suport) yang sama jika kita membaca bukunya. Pasalnya, film Laskar Pelangi tak semenarik saat kita menikmati novelnya. Namun kita menemukan kekecewaan manakala Ayat-ayat Cinta di fim walaupun secara filemis garapan Hanung Bramantoro itu sangat baik dibanding Riri Riza dalam Laskar Pelangi yang banyak penonton menilai layaknya kisah Bolang (Bocah Petualang).

Donny juga sudah wanti-wanti pada audiens jangan berharap banyak seperti membaca novel, jika 5 cm. ini telah difilmkan. Walaupun ia akan tetap mempertahankan seting di puncak Mahameru, sementara pihak produser mencoba memberi alternatif puncak yang lain.

Tampaknya novel-novel popular yang bereksodus ke layar film, akan semakin menambah. Barangkali inilah fenomena baru dalam dunia fiksi Indonesia yang berkolaborasi dengan fisual. Betapa pun hal ini pernah terjadi puluhan tahun lampau, ketika Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar) dan sejumlah novel-novel remaja Eddy D. Iskandar juga difilmkan. Adakah fenomena ini hanya berulang?*



*) sumber Radar Lampung, 1 Desember 2008

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terlalu sayang jika fenomena fiksi berkolaborasi dengan visual terulang kembali, karena menurut saya tidak jarang visualisasi yang coba di tunjukkan oleh sutradara film jauh berbeda dengan ama yang di imajinasikan oleh pembaca. Saya setuju dengan salah seorang penulis (maaf saya lupa siapa) yang kurang lebih pernah berkata "masing-masing pembaca membuat/memiliki filmnya sendiri terhadap novel yang mereka baca.." sehingga tak jarang ketika satu fiksi dituangkan ke layar lebar oleh sutradara yang tertinggal adalah kekecewaan. Seperti yang telah terjadi pada Ayat-ayat Cinta, Laskar Pelangi, dan yang baru-baru ini Ketika Cinta Bertasbih.
Saya berharap semoga para penulis novel kita lebih pintar bersikap (maaf, saya bukan barmaksud mengatakan penulis kita tidak pintar bersikap) dengan tidak hanya melihat sisi komersial dari karyanya dan mengabaikan kepuasan pembaca, yang berujung pada turunnya minat baca. Sekian dan terima kasih :D

-Ri