16 November 2008

GOR Saburai, Dibuang Sayang

Oleh Isbedy Stiawan ZS

BARANGKALI hanya seorang atau duaorang yang tak pernah akan terusik soal GOR Saburai tetap di situ atau dipindah ke tempat lain. Diruislag maupun tidak, tak akan memengaruhinya. Mungkin karena tiada kenangan dan tak ada kepentingan. Sementara mereka yang punya kepentingan, segera menyetujui rencana tersebut.

Tetapi, boleh jadi, kecuali saya. Ketika Pemprov Lampung berencana memindahkan GOR Saburai ke Kemiling karena telah direncanakan kawasan Kemiling menjadi pusat kegiatan olahraga dan senibudaya, saya merasa terusik.

Keterusikan saya bukan disebabkan gedung yang selama ini telah “memanjakan” olahragawan di daerah ini, dan saya berada di pihak olahragawan, melainkan alangkah sayangnya GOR Saburai “dibuang” (entah mengapa saya lebih suka menggunakan kata ini, konotasinya sama dengan “hilang” atau “dihilangkan”) padahal puluhan tahun telah menjadi “penanda” bagi Kota Bandarlampung. GORSaburai seakan titik tengah dari kota ini.

Terus terang saya banyak menyimpan kenangan pada kawasan Lapangan Enggal, jauh sebelum tegak dengan megah GOR Saburai dan Pasar Seni. Saya “anak Enggal” yang semasa kanak-kanak menjadikan lapangan (merah dan hijau) sebagai arena bermain sepak bola dan “pemungut” bola tenis lapangan. Betapa saya, si kanak dari Rawasubur, terkagum-kagum menyaksikan para petenis lapangan beraksi, bahkan kepada keluarga Gubernur Lampung Sjahroedin ZP yang kerap bermain tenis lapangan di sana. Saya juga penonton aktif setiap ada pertandingan sepakbola di kedua lapangan tersebut.

Pembangunan memang “mewajibkan” ada yang tergusur dan digusur. Pembangunan, terutama di ibukota Provinsi Lampung ini, terus berkembang. Dari pasar tradisional berkembang menjadi pasar modern: mal dan supermarket.Ruko (rumah toko) bak jamur di musim hujan menerobos hingga di luar pusat perbelanjaan: didayagunakan sebagai kantor hingga minimarket sejenis Alfamart dan Indomart. Para pengembang seakan berlomba untuk jadi “raja pasar dan ruko” di daerah ini. Akibat dari modernisme itu, Pasar Bambukuning tak terkelola dengan baik kecuali Pemkot Bandar Lampung hanya menjadikan pedagang kakilima biang kesemrawutan dan kemacetan di sekitar Bambukuning.

Pemerintah seperti mendominasi kebenaran, sedangkan masyarakat dituntut untuk selalu “patuh”dan “tunduk”pada program-program (terutama ditengarai pembangunan oleh) pemerintah. Betapa pun dampak negatifnya terbebani pada masyarakat. Tengoklah bangunan-bangunan berciri, tempat-tempat yang banyak menyimpan sejarah, ataupun kawasan yang telah dijadikan penanda bagi suatu kota, baik lambat maupun cepat akhirnya lenyap. Diganti atau berubah nama. Dan warga cuma mengingat dan mengenang. Mengapa kita begitu suka pada halihwal kenangan alias bernostalgia.

Kalau saja benar GOR Saburai dipindahkan ke kawasan Kemiling atas nama “tukar guling”, sungguh sebuah program kemunduran dari Pemda Lampung. Karena pemda akan dan telah “melenyapkan” sebuah area publik yang sudah menjadi penanda bagi daerah ini. Bayangkan, apakah akan disempurnakan kenangan warga terhadap Gedung Bengkok (kantor CPM di depan Bambukuning), asrama tentara yang kini jadi Toko Buku Gramedia ataupun bangunan-bangunan yang khas dan sulit tergantikan. Semua yang saya sebut itu kini tinggal cerita dan melekat sebagai kenangan.

Bandar Lampung, sebagai pusat provinsi, nyaris menyamai kota-kota metropilis. Kesibukan warganya, kepadatan lalulintas, ruko dan mal terus tumbuh, belumlagi hotel-hotel dibangun di sejumlah tempat. Ini semua penanda bagi sebuah kota yang tengah melaju. Karena itu akan berdampak pada kejiwaan masyarakatnya. Tidak cukup hanya membuka area publik yang ada dengan warung-warung jajan seperti di depan Kantor Gubernur, lesehan sepanjang Jalan Kartini, maupun taman kuliner. Tanpa pernah berpikir untuk memperkecil faktor psikologis masyarakat yang tengah merangkak menjadi modern. Pembangunan fisik kota tidak sebanding dengan menjaga stabilitas fsikis masayarakat akan bisa berbahaya. Bukan tak mungkin berdampak meningkatnya kriminalitas dan stres.

Itu sebabnya, seperti saya pernah tulis di Lampung Post beberapa tahun lalu, bahwa Bandarlampung membutuhkan ruang kontemplatif: ruang publik bagi mansyarakat untuk menghilangkan kejenuhan, refresing, dan area pertemuan dari berbagai tingkatan. Dan, untuk “menciptakan” ruang kontemplatif itu, paling tepat dan cocok adalah di kawasan Lapangan Enggal—lebih popularnya Saburai—yang memang tak saja sudah menjadi ikon (penanda) melainkan menyimpan sejarah besar. Betapa tidak, menurut cerita para tetua, Lapangan Enggal pernah djadikan apel akbar saat-saat Indonesia menyatakan kemerdekaan di tahun 1945. Apakah sejarah dan penanda itu mau kita biarkan terhapus dari kenangan kita sampai akhirnya benar-benar terlupakan?

Saya ingin memulangkan ingatan kita, seperti juga pernah saya utarakan dalam tulisan yang sama, sulit kita dapati pada suatu kota yang beranjak metropolitis lalu meniadakan atau sama sekali melenyapkan ruang publik (di Pulau Jawa terkenal dengan alun-alun) bagi masyarakatnya. Hanya berapa hektare—mungkin tak ada sama sekali—ruang publik disediakan pemerintah untuk warga dibanding berhektare untuk membangun ruko, mal, supermarket, pasar, perkantoran, dan hotel? Saya tak bisa bayangkan apa rupa bagi kota yang meniadakan area publik?

Memang realitasnya wilayah Saburai saat ini sudah sangat mencemaskan. Pada malam hari, sekitaran Saburai betebaran perempuan penjaja birahi dan banci. Pemandangan seperti itu jelas tak sedap. Seolah kawasan Saburai menjadi kumuh dan menggeremangkan bulu kuduk. Pada galibnya, jika di suatu kawasan telah hidup prostitusi maka di sana tumbuh pula warung-warung yang menjaja minuman beralkohol. Selanjutnya, biasanya, ranah kekerasan juga subur di sana..

Kembali ke soal GOR Saburai, seorang teman saya mengaku memunyai kenangan tersendiri. Soalnya, ia pertama kali berkenalan dengan wanita yang kemudian sepakat saling mencintai, karena bertemu di Saburai. Katanya, selepas kerja yang melelahkan ia pun iseng-iseng mengunjungi kawasan Saburai. Di Lapangan Merah itu, pada malam hari seolah disulap menjadi Pasar Malam. Para pedagang—dari penjual jagung bakar, sekoteng, nasi goreng, minuman, dan lain-lain memenuhi lahan itu yang sesekali juga dijadikan arena balap mobil dan motorcross—hingga menarik minat masyarakat ke sana.

Pengunjung bukan saja masyarakat kelas bawah melainkan warga yang datang mengenderai mobil mewah. Bahkan, saya pernah melihat seorang pejabat di Binamarga (PU) bertandang hanya untuk makan nasi goreng dan mengobrol dengan warga lain yang ditemui di satu meja milik pedagang.

Sebelum para pedagang ditata ke pinggir justru membuat suasana tidak lagi menarik. Seharusnya para pedagang itu dibiarkan seperti semula, meskipun barangkali terkesan kurang tertata. Tetapi, apakah setiap penataan sudah menjamin suasana menjadi nyaman? Apakah dibiarkan tak tertata akan berkonotasi tak indah? Sejauh apa mengukur keindahan yang cenderung relatif? Satu contoh, Pemkot Bandar Lampung yang dianggap berhasil “membumihanguskan” pedagang kaki lima di Bambukuning memang tekesan tidak lagi sesak dan semrawut. Tetapi, sebuah pasar tanpa keriuhan apakah masih disebut pasar? Tanpa adanya pedagang kaki lima, pasar akan menjadi lengang. Bambukuning kini semakin sunyi.

Karena itu, jika saja pemerintah benar-benar akan mewujudkan pemindahan GOR Saburai ke kawasan Kemiling, apakah tempat itu masih layak disebut Saburai? Saya bisa membayangkan sekiranya GOR Saburai disulap menjadi pusat perbelanjaan termegah, hanya akan memanjakan masyarakat jadi konsumerisme. Dan itu, tentu saja, hanya dimiliki segelintir orang berduit. Tidak untuk masyarakat dari kalangan mana pun sebagaimana telah berlangsung selama ini di Saburai.

Seandainya pusat perbelanjaan termegah dibangun di sana, selain akan memanjakan sifat konsumtif masyarakat juga akan timbul kecemburuan akibat kesenjangan sosial. Kalau saja ini dibiarkan—mungkin pula sengaja diciptakan—pemerintah akan membayar mahal untuk memperbaikinya kembali.

Suatu kelak jika Saburai benar-benar dipindah, kita hanya bisa bercerita dengan segala kenangannya: “dahulu kala di sini pernah ada Saburai, suatu kawasan yang telah menciptakan betapa kehangatan saat berbagi kata. Di Saburai ini pernah membangun kenangan manis antarwarganya, di sinilah sebagian masyarakat menjadikannya sebagai ruang publik mrembunuh kejenuhan. Dahulu kala…”

Ya. Saya termasuk salah seorang yang terusik ketika Pemprov Lampung ingin memindahkan GOR Saburai ke Kemiling dan kemudian menggantinya dengan pasar temegah di sana. Mengapa? Sederhana sana jawabnya: GOR Saburai sudah menjadi penanda bagi Bandarlampung, lalu apakah penanda itu mesti dilenyapkan begitu saja? Saya menganalogikan, Pemda Lampung tengah berencana menghilangkan suatu tanda (ciri) dari suatu kota. Dan itu sama artinya mengoperasi ciri dari fisikis seseorang.

Mengenai GOR Saburai, rasanya pendapat saya belum berubah. Saya mengangankan kawasan Saburai—termasuk di sana Pasar Seni, Lapangan Merah, dan Lapangan Hijau—dicipta sebagai ruang kontemplatif masyarakat di sini. Artinya, bukan pemindahan yang diprogramkan. Tetapi merenovasi atau membangun gedung yang diperuntukkan pusat kesenian, perbelanjaan souvenir, dan lain-lain. Sementara di area sekitarnya dijadikan taman: ditanami pohon yang bisa berlindung dan bangku taman, warung jajan yang ditata rapi dan indah. Jika itu terwujud, bukan tidak mungkin kawasan Saburai akan semakin banyak dikunjungi warga.

Mengapa pemerintah suka sekali dengan program yang tak memihak rakyat: hanya ingin memenuhi keinginan dan kepentingan segelintir orang untuk urusan lidah dan perut dengan mengataskannamakan menciptakan obyek wisata, lalu dibangun Taman Kuliner meski harus menyerobot fasilitas umum. Sungguh disayangkan kalau program seperti ini terus dipertahankan.

Alangkah baiknya jika kawasan GOR Saburai selain direnovasi seperti telah saya katakan di atas, Taman Kuliner yang ternyata “merampok” jalan umum itu dipindahkan juga ke GOR Saburai. Sementara Pasar Seni yang hidupnya kini bagai hidup segan mati tak ingin, secepatnya dicari solusi pengelolaannya agar tempat itu hdup,benar-benar sebagai tempat menjual karya seni. Bukan seperti kita saksikan kini, kios-kios yang ada nyaris sepi karena tidak dihuni dan tak ada aktivitasnya.

Ketimbang mengubah GOR Saburai menjadi pasar modern termegah, kenapa tidak direnovasi saja menjadi ruang kontemplasi. Artinya bangunan yang jadi kelak sebagai gedung kesenian, pusat perbelanjaan souvenir bagi pelancong (wisatawan), arena jogging (olah raga ringan lainnya), tempat pertemuan dan refresing warga, dengan mendesainnya sedemikian rupa sehingga sedap di mata dan nyaman di hati. Saya kira itu lebih menguntungkan dan bermanfaat bagi semua kalangan. Kemudian lambat atau cepat akan membentuk imej kalau kawasan Saburai itu sebagai salah satu obyek wisata di Provinsi Lampung.

Alasannya, semua itu untuk mendongkrak kesuksesan pariwisata di sini. Sebab kalau kita hanya menjual obyek-obyek wisata yang dimiliki apa bedanya dengan daerah-daerah lain yang justru sudah lebih dulu maju dan Lampung tertinggal jauh. Misalnya soal atraksi gajah, wisatawan bisa mendapatkan di banyak daerah lain. Kemudian tentang keindahan pantainya, Bali sudah merebutnya melalui Kuta dan Sanur.

Semula saya mengangankan Bambukuning bisa seperti Pasar Beringharjo (Yogyakarta) atau Pasar Sukowati (Bali), namun pasar tertua di Bandarlampung itu sekarang sudah menjadi lain tatkala pemkot menggusur pedagang kaki lima. Padahal Bambukuning sudah dikenal dengan keriuhan khas dari PKL dan harga yang sangat miring oleh orang luar Lampung. Selain sudah berpuluh-puluh tahun PKL di sana bisa dijadikan aset tak saja buat pemasukan kas pajak (salar), juga menarik minat pelancong luar Lampung.

Itu sebabnya, pemda mesti melakukan terobosan yang harus lain dengan daerah mana pun di sektor pariwisata apabila Kunjungan Wisata Lampung 2009 (Visit Lampung Year 2009) mau mendulang kesuksesan,. Salah satunya, barangkali, dengan tetap mempertahankan kawasan Saburai tersebut. Tetapi peruntukannya yang diperbarui yaitu sebagai pusat wisata kota: di sana ada pertunjukan seni, pameran karya seni dan kerajinan khas Lampung, kuliner, souvenir, serta ruang publik bagi warga setempat.

GOR Saburai, memang dibuang sayang….*

Tidak ada komentar: