Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Esai. Tampilkan semua postingan

03 Januari 2010

REFLEKSI: Kesenian (di) Lampung 2009 *)

Oleh Isbedy Stiawan ZS

Sastrawan


Kesenian tardisisional masih mendapat tempat lebih baik baik dibanding modern di Provinsi Lampung, meski sebagian orang akan membantah pernyataan ini. Tetapi juga kesneian tradisional (Lampung) ternyata belum bisa banyak berbuat, manakala berhadapan dengan strategi kebudayaan yang dibuat pemerintah (daerah). Pasalnya, pemerintah masih menomorsatukan dunia pariwisata yang dianggap bisa mendulang devisa bagi pendapatan asli daerah (PAD).


Sehingga anggaran di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung, konon pada 2010 bahwa 80 persen untuk pariwisata dan sisanya bagi kebudayaan, demikian pernyataan Dr Khaidarmansyah dalam disukusi bilik jumpa seniman dan mahasiswa (Bijusa) di UKMBS Unila beberapa waktu lalu. Artinya kebudayaan (di dalamnya kesenian yang harus pula berbagi antara tradisional dan modern) amatlah kecil. Dus ini menunjukkan pemerintah provinsi masih kecil perhatiannya kepada kesenian.


Lantas kesimpulan diskusi bahwa pemerintah paling bertanggung jawab (kepedulian) untuk memajukan kesenian yang hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah ini masih sulit diharapkan bisa terwujud. Sektor lain di luar kesenian, seperti politik dan pembelanjaan paratur pemerintah, masih mendominasi. Padahal, kalau saja hasil pajak dari dunia hiburan bisa dimaksimalkan, niscaya bisa mengongkosi kegiatan berkesenian. Atau bantuan dari pihak ketiga bisa diberdayakan niscaya pula bisa menghidupi kesenian (termasuk yang modern).


Geliat kesenian (di) Lampung pada 2009 sebenarnya terbilang semarak. Misalnya, teater: dua grup tetaer papan atas Lampung yaitu Teater Satu pimpinan Iswadi Pratama dan Komunitas Berkat Yakin (KoBer) yang digawangi Ari Pahala Hutabarat telah mengukir prestasi di panggungb teater. Teater Satu, selain mementaskan “Kisah-kisah yang Mengingatkan” di Taman Budaya Lampung, juga tampil di Salihara Jakarta. Begitu pula KoBer yang mendapat hibah seni dari Yayasan Kelola telah tampil di Padangpanjang, Bengkulu, dan Salihara Jakarta. Kekuatan dua grup teater ini, tanpa mengabaikan kelompok lainnya, sudah cukup memperkenalkan Lampung di kancah seni nasional.


Sayangnya, pemerintah daerah rasanya belum menyentuh kedua teater secara maksimal. Boleh jadi pemda berkilah, yang “diurus” bukan hanya grup teater melainkan banyak jurai kesenian yang mesti dipedulikan. Namun perimbangannya yang mesti diperhatikan. Berapa besar pemda menggelontorkan bantuan ke sanggar-sanggar seni yang ternyata ada yang cuma papan nama, sedangkan grup teater yang nyata-nyata “bekerja” tidak didukung: tidak dibantu.


Seni rupa juga punya peran membangun kesenian di daerah ini. Pada 2009 berbagai event lokal dan nasional dikkuti sejumlah perupa Lampung, seperti Joko Itrianta, Subardjo, Mas Pulung, Sutanto, dan lain-lain. Kemudian tari, di pengujung 2009 Rumah Tari Sangishu tampil di UKMB Unila (25/12). Begitu perfilman yang ikut bergeliat menambah semaraknya dunia seni di Lampung. Apalagi, sadar atau tidak—diakui atau tidak diakui—tampilnya film “Identitas” karya sutradara Arya Kusumadewa yang not6abene putra Lampung—sebagai film dan sutradara terbaik Festival Film Indonesia (FFI) 2009 mencitrakan daerah ini dikancah nasional. Lalu musik juga punya hak untuk dicatat, kendati bibit-bibit baru di dunia musik di daerah ini agak tersendat.


Sementara dunia sastra, tampaknya maish belum digeser oleh kesenian lainnya. Sastra masih tetap menjadi primadona daerah ini. Alasannya, membicangkan sastra nasional tanpa menyertakan sastra(wan) Lampung belum lengkap. Itu sebabnya, seorang Nirwan Dewanto pernah menyatakan bahwa Lampung sebagai lumbung penyair. Sementara F Rahardi berujar, yang bisa menyamai geliatnya sastra di Lampung adalah Bali dan Jawa Timur.


Sastra berbahasa Lampung juga bermunculan. Meski belum ada ruang di media massa, ternyata sastra dalam bahasa Lampung sempat tercatat di kancah Rangace. Sayangnya tahun 2008 tidak lagi muncul buku sastra berbahasa Lampung, setelah Udo Z. Karzi mendapat pernghargaan Rancage setahun sebelumnya. Namun pada 2009, syukurlah dua buku karya Asarpin dan Oki Sanjaya diterbitkan. Sudah tentu penerbitkan dua buku itu sasarannya adalah Rancage 2009.


Daerah Lampung sepertinya tak tandus oleh bibit baru. Daerah ini begitu subur memunculkan sastrawan-sastrawan baru. Catat saja misaalnya, di dunia prosa ada F. Moses, S.W. Teofani, Ruth Marini, Aleksander Gebe, lalu di puisi setelah “menghilangnya” Lupita Lukman, muncul Fitri Yani, Agit Yogi Subandi, Didi Arisandi, Endri Y, M. Harya Ramdhoni, dan lain-lain.


Wajah-wajah baru ini yang jika tidak salah olah, bisa menjaga kehidupan sastra di daerah ini semarak, dan bukan tidak mungkin “melestarikan” Lampung di tingkat nasional sebagai lumbung penyair (sastrawan). Tinggal lagi kerja sama antara media massa, pemerintah, lembaga kesenian, dan sesama seniman itu sendiri. Sesama seniman, yang saya maksudkan, tidak saling menjatuhkan atau “menusuk dari belakang”—karena persoalan ini yang acap mengganggu energi berkesenian.


Meski semarak bersastra di Lampung cukup membanggakan, namun tercoreng pula oleh tindakan memalukan dari sedikit sastrawan Lampung yang ingin cepat jadi, dikenal, atau ingin disebut paripurna. Mereka melakukan sesuatu yang hina, yaitu memplagiat karya orang lain. Sesuatu yang sulit diampuni (dan mendapat pengampunan) karena yang “mencuri” itu adalah sastrawan yang sudah jadi. Sayang sekali, ulah plagiator seakan merusak susu sebelanga.


Ketika saya menghadiri Pesta Penyair Nusantara ke 3 di Kualalumpur Novemebr lalu, masalah plagiat cerpen yang dilakukan Y Wibowo atas cerpen yang telah dimuat di Jurnal Bogor jadi perbincangan sastrawan-sastrawan muda. Begitu pula plagiat yang dilakukan Dahta Gautama atas esai pengantar Shella Walia dalam bukunya Edward Said dan Penulisan Sejarah. Betapapun boleh jadi mereka berkilah, untuk menguji pembaca di daerah ini atau apalah alasannya, tetap cara-cara seperti itu amatlah salah.


Paragraf plagiat ini sengaja saya apungkan dalam mencatat refleksi kesenian 2009 di Lampung untuk menggarisbawahi bahwa semaraknya sastra di Lampung tercoreng pula oleh noda yang sulit diabaikan. Selain itu sebagai warning bagi seniman lain yang tengah mengeksiskan dirinya. Bisa jadi plagiarisasi ini bisa terjadi di dunia tari (koreografi), film, senirupa, ataupun musik, sekiranya di antara seniman itu tak saling mengoreksi atau menganggap masyarakat seni adalah sekolompok orang bodoh.


Kemudian peran Dewan Kesenian Lampung (DKL) juga sudah cukup baik meski masih belum maksimal, setidaknya sudah mewarnai perkembangan kesenian di Lampung sepanjang 2009. Sayangnya DKL belum mendapat dukungan dari kalangan lain, selain masih berharap dari APBD Provinsi Lampung. Sekiranya ada kelompok elit dari pengusaha, elit politik, dan sumber-sumber lain yang tak mengikat, niscaya harapan untuk memberikan reward kepada seniman dengan bentuk bukan sekadar piagam akan tercapai.


Bagaimana pun dengan adanya penghargaan (award) akan memacu para seniman lebih kreatif, dus itu akan memperkancah gagasan para seniman dalam berkarya dan akhirnya menumbuhkan inovasi-inovasi. Tentu saja dengan pemilihan yang objektif. Saya kira ini sekelimit refleksi kesenian (di) Lampung 2009. Tabik.


Bandarlampung, 28 Desember 2009


*) Dimuat Harian Lampung Post, Catatan Akhir Tahun, 31 Desember 2009

02 Agustus 2009

Membahanakan FK, Membumikan Budaya

Oleh Isbedy Stiawan ZS


TATKALA rekan Christian Heru Cahyo Saputro menulis “Wisata, Kendaraan Pelestarian Budaya” taklah membuat saya heran. Sejatinya memang wisata adalah (sebagai) kendaraan untuk melestarikan (ke)budaya(an).

Kemudian untuk menggerakkan wisata, tentu banyak cara atau harus ada kegiatan. Maka di Provinsi Lampung ada Festival Krakatau dan sejumlah festival lainnya. Jika di Yogyakarta maka ada Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), apabila Bali ada Pekan Kebudayaan Bali (PKB) dan seterusnya.

Masalahnya di kedua daerah (provinsi) itu lebih terasa bahananya, lebih jelas visi dan sasarannya. Sedangkan di Lampung, hingga Festival Krakatau (FK) ke 18—artinya sudah lebih 18 tahun karena setahun kalau tak salah pernah absen—belum terdengar bahananya. Lalu bagaimana mungkin akan membumikan (pelestarian) budaya?

Sudah berulang saya menulis soal ini. Mungkin akibatnya banyak yang kurang suka, tapi inilah kenyataannya. Saya kerap kecewa setiap FK digelar. Dimulai dengan pembukaan yang condong sangat seremonial, yakni mengundang para duta besar negara sahabat atau Eropa yang “mungkin” pula diongkosi lalu mengikuti pembukaan dan diajak jalan-jalan ke objek wisata, setelah itu ada tari-tarian di panggung kesenian yang diarsiteki secara megah. Kemudian ditutup dan lalu hilang.

Tahun 2009 ini diklaim FK punya teroboson, karena bisa mengundang 15 duta besar yang diajak ke Tampang Belimbing (Tambling) melalui udara. Amboy, benar-benar “dimanjakan” para dubes tersebut. Sebagaimana foto-foto yang saya saksikan, di Tambling itu para dubes juga “disuguhi” binatang buas.

Kemudian para dubes diajak pesiar ke Gunung Anak Krakatau. Dubes Amerika Serikat diwawancarai wartawan dan menyatakan kekaguman pada keindahan Gunung Anak Krakatau dan mengakui alam Lampung sangat indah dan berpotensi menjadi daerah tujuan wisata. Lantas, menjadi pertanyaan, setelah dubes itu meninggalkan Lampung apakah ada tindaklanjutnya? Ini yang mestinya diburu.

Saya sependapat dengan Christian Heru Cahyo Saputro, tampaknya gelar FK selama ini terkesan hanya seromoni dan rutinitas. Sebuah kegiatan yang tiap tahun diadakan karena sudah dianggarkan dalam APBD provinsi.

Serangkaian kegiatan yang mendukung, seperti Pemilihan Muli Meghanai dan sebagainya hanyalah pundi-pundi hadiah untuk menentukan kabupaten/kota mana yang menjadi juara umum dan berhak membawa pulang piala gubernur.

Sehingga tujuan utama mengikuti berbagai event kesenian yang belum tentu “prestasi” melainkan hanya “prestise”. Dampaknya memang luar biasa, terjadi kecurangan di berbagai bidang kesenian dan salah satunya misalnya pada pemilihan Muli Meghanai 2009.

Sementara itu, pelestarian kebudayaan seperti tidak tersentuh. Apatah lagi mengangkat kesenian yang nyaris ditinggalkan masyarakat setempat. Sebenarya Lampung memiliki banyak kekayaan seni, di antaranya warahan, dadi, ataupun cangget bakha. Apakah hal itu sudah disentuh kemudian dipromosikan di hadapan wisatawan, utamanya para duta besar yang hadir?

Aneh sekali apabila para wisawatan dan 15 duta besar negara sahabat yang hadir hanya disuguhi sambutan-sambutan yang terkesan seremoni. Sementara selama perjalan yang memakan waktu berjam-jam menuju Gunung Anak Krakatau ataupun kembali, tidak ditampilkan kesenian yang khas Lampung.

Padahal, para bule terutama yang menyukai traveling wisata sangat membutuhkan hal-hal yang unik dan eksotis, bukan seperti dilakukan dalam FK XIX yang konon menampilkan musik dangdut. Di sinilah kealpaan panitia FK XIX, sehingga meski sudah ke 18 seakan tak bisa mendulang pundi dari pasar pariwisata.

Saya teringat pada 2008 diundang dalam pertemuan Dewan Kesenian se Indonesia Papua. Saat itu bertepatan Festival Kebudayaan Papua. Sungguh, saya benar-benar disguhi aroma eksotis masayarakat pedalaman. Dan, seperti saya ketahui kemudian, mereka mendatangi festival itu hanya untuk menampilkan keseniannya harus berhari-hari di dalam perjalanan, karena ditempuh melalui laut, sungai, dan pegunungan.

Dalam helat festival di Papua, ternyata tidak disiapkan piala karena memang dalam kesenian sejatinya tidak bisa dinilai secara matematis. Tetapi, mengapa masyarakat (seni) pedalaman Papua rela menempuh perjalanan berhari-hari? Dan para seniman pedalaman Papua itu saat tampil tidak mengecewakan.

Begitu pula tatkala Pekan Budaya Bali yang benar-benar berlangsung selama sepekan, ternyata juga diikuti para seniman tradisi dari berbagai pelosok desa. Hal sama ketika Festival Kesenian Yogyakarta digelar, selama sepekan berbagai kegiatan seni, baik tradisi hingga muasir, dipertontonkan.

Hal inilah yang tampaknya kurang tergarap. Panitia FK XIX hanya terfokus pada seremoni pembukaan, penutupan, Lampung Expo—meski digelar oleh lembaga lain—serta tur Gunung Anak Krakatau. Setelah itu tanpa evaluasi, misalnya berapa jumlah hunian hotel-hotel di Bandarlampung selama FK digelar? Begitu pula dampak yang bisa dirasakan oleh masyarakat, misalnya para pengrajin khas Lampung?

Sangat disayangkan, justru konon para duta besar diberi kenang-kenangan. Bukan sebaliknya, biarkan mereka amencari oleh-oleh khas Lampung sehingga terasa dampaknya bagi masyarakat. Maka belajarlah sungguh-sungguh dari event-event serupa di daerah lain, bukan cuma jalan-jalan…



*) sudah dimuat Harian Lampung Post, Jumat, 31 Juli 2009

13 Januari 2009

Jangan (Pernah) Mimpi jadi TKW

Luka di Champs Elysees Rosita Sihombing


Oleh Isbedy Stiawan ZS


KARYA sastra, sekecil apapun, membawa daya perubahan, alternatif-alternatif kenyataan yang berbeda dari kenyataan yang telah ada. Sebab, menurut Tan Malaka, karya sastra harus beranjak dan akhirnya kembali kepada kehidupan (“Luka Rosa”, Ari Pahala Hutabarat).

Novel Luka di Champs Lysees karya Rosita Sihombing—kelahiran Tanjungkarang 24 Januari 1974—yang kini menetap di Paris, merupakan novel pertama di Indonesia yang membicarakan sisi gelap kehidupan TKW di luar negeri.

Novel ini mengisahkan Karimah dari Lampung bekerja sebagai baby sitter pada keluarga tuan Alkahtani-madame Haifa di Ryadh, namun selalu mendapat perlakuan kekerasan dari majikan—terutama madame Haifa. Akhirnya, ia bertekad melarikan diri dari majikan tersebut. Tekadnya tercapai saat ia diajak majikannya berlibur ke Paris: untuk mengasuh Omar dan Nashar, anak majikan.

Tetapi, pelariannya di rimba kota Paris bukan membujat hidupnya menjadi berubah. Sebagai warga gelap di negara Prancis, banyak hal yang mesti diwaspadai kalau tidak masuk penjara. Ketika pelarian dari “cengkeraman” majikan, Karimah pingsan karena kehabisan tenaga dan luka di tangannya setelah terjatuh. Ia tak sadar diri di dekat stasiun kereta bawah tanah, dan tersadar setelah ditolong pria asal Aljazair bernama Hamed.

Pertemuan itu berbuah kesepakatan tak tertulis: Karimah hidup seatap dengan Hamed, hingga melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Maharani Karimah. Walaupun anak yang lahir di Paris itu hanya bisa hidup beberapa hari.

Kehidupan tanpa ikatan pernikahan di Paris yang dialami para TKW Indonesia, menurut catatan novel ini, cukup banyak. Padahal, sebagaimana Karimah yang telah bersuamikan Pardi yang pedagang tempe daun di Pasar Tugu dan dikaruniai seorang putri berusia 6 tahun, ternyata para TKW lain pun sudah berkeluarga. Begitu pula Hamed juga sudah beristri dan punya anak di Aljazair.

Selama 2 tahun menetap di Paris bersama Hamed, Karimah tak punya pekerjaan apa-apa. Ia hanya hidup dari belas kasih Hamed yang hanya menjadi buruh. Kehamilan Karimah sangat diharap Hamed, sebab peraturan di Paris seseorang akan mendapat izin tinggal jika mempunyai bayi yang lahir di sana.

Sayangnya, harapan mendapat izin tinggal di Paris itu berantakan. Bayi yang baru beberapa hari lahir tak berumur panjang. Maharani meninggal karena kehabisan nafas saat mereka saling berebut yang membuat bayinya terbanting. Mereka bertengkar sebab Karimah tak mencantumkan nama Hamed di belakang bayinya. Sedangkan Karimah beralasan, Hamed tak berada di sisinya saat-saat ingin melahirkan.

Novel ini memang ingin mengangkat keprihatinan sosial dari kehidupan para TKW sekaligus memberi penyadaran bahwa menjadi TKW tidaklah seindah yang dibayangkan. Betapa banyak para TKW Indonesia yang bekerja di luar negeri, pulang membawa jasad atau pun hanya pakaian di badan. Kegagalan para TKW seperti ini kerap tak dipublikasikan, atau kalah oleh cerita-cerita keberhasilan yang sesungguhnya semu.

Dalam diskusi novel ini (Sabtu, 27/12), Rosita Sihombing menyatakan tidak sedikit TKW Indonesia di Paris yang bernasib sebagai warga gelap kehidupannya amat memrihatinkan, sehingga hanya untuk mendapat segelas teh harus menukar dengan kehangatan tubuhnya.

Novel Luka di Champs Lysees karya perdana mantan wartawan Sumatra Post dan aktivis UKMBS Unila ini, ingin melakukan perubahan bagi para perempuan Indonesia yang berniat menjadi TKW. Hidup menjadi TKW di luar negeri, tak selamanya pulang membawa devisa, baik bagi keluarga maupun negara.

Indonesia, menurut catatan, negara paling besar mempekerjakan para wanita ke luar negeri. Alasan untuk memeroleh devisa, negara mengizinkan ekspor bagi TKW. Pengiriman para TKW, istilah yang diberikan pemerintah, ke negara-negara yang menjalin kerja sama seperti Malaysia, Singapura, Qatar, Taiwan, Hong Kong, dan Jepang. Tetapi, banyak dari pekerja wanita tersebut tidak memiliki skil dan hanya berijazah (mungkin tak ada) SD. Hanya berpengalaman sedikit di kampung (lokal), mereka masuki rimba dunia (global).

Sedangkan negara-negara lain, terutama di Eropa tidak ada jalinan kerja sama, sehingga kehadiran mereka di Paris misalnya, sebagai imigran (warga) gelap. Sebagaimana Karimah dalam novel Luka di Champs Lysees.

Akibatnya? Karimah-Karimah yang gagal dan hidupnya kelam di luar negeri bermunculan. Kalau tidak, ya pulang hanya jasadnya. Peristiwa para pembantu yang bunuh diri, membunuh majikan, ataupun menjadi wanita penghibur adalah realitas.

Novel Rosita ini diterbitkan untuk momen mudik 2008 (penerbit Lingkar Pena Publishing, Agustus 2008; 188 hal,), diharapkan dapat mengubah perilaku bangsa ini yang suka dan bangga mengeruk devisa dari pengiriman TKW. Tetapi lupa, dari program tersebut justru marwah dan moralitas para perempuan Indonesia amatlah terpuruk.

Novel Luka di Chaps Lysees karya Rita Sihombing ini patut menjadi sandaran bagi kesadaran bangsa, sebelum berjuta-juta perempuan Indonesia “diekspor” ke luar negeri demi memperbaiki hidup keluarga. Meski, di sini, saya kurang sependapat pada pepatah “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang” yang menunjukkan bahwa negeri kita tak bisa melindungi warganya (bangsa).

Catatan harian Kompas bahwa di Makao saja, tidak sedikit perempuan Indonesi yang niat awal ingin menjadi TKW akhirnya masuk ke rimba prostitusi. Belum lagi di Hong Kong, dan negara-negara lainnya. Apatah sekadar Batam yang bersebelahan dengan Singapura dan Malaysia, cukup banyak perempuan Indonesia yang menjadi penghangat bagi lelaki seberang.

Memang sebagai penulis, Rosita tidak menjelaksan apakah Karimah di Riyadh sebagai TKW versi pemerintah (legal) ataukah ia dikirim oleh agent-agent sebagai pekerja gelap. Ini harus dibedakan—karena memang sangat berbeda—antara TKW yang mendapat izin dari pemerintah dengan pekerja gelap (pendatang haram, menurut Pemerintah Malaysia).

Sebagai karya sastra, novel ini enak dan penting dibaca. Penceritaannya mengalir dengan kalimat-kalimat (narasi) liris-puitis, suasana dan seting Paris yang menakjubkan, menjadi penyedap mengapa Luka di Champs Lysees ini layak dikonsumsi.

Tidak cuma itu, seperti kata Tan Malaka yang telah dukitip Ari Pahala Hutabarat dalam makalahnya, karya sastra mesti beranjak dan akhirnya kembali kepada kehidupan demi membawa daya perubahan. Karenanya novel Luka di Champs Lysees ini semestinya menjadi bacaan “wajib” bagi calon dan pekerja wanita yang pulang dari luar negeri: “jangan (pernah) mimpi jadi TKW!

Sayangnya dari novel ini tidak menjelajah kebobrokan KBRI, misalnya di Paris. Soal birokrasi yang sulit, mental korup oknum KBRI, dan lain-lain yang kerap dituding menelantarkan para TKW yang gagal dan ingin pulang.

Nasib Karimah yang pulang membawa penderitaan dengan melumat impiannya kembali jadi TKW, sambil bertekad membangun ulang rumah tangganya yang telah ditinggalkan dan dikhianatinya selama 2 tahun. Apakah “pertobatan” Karimah itu sudah dianggap cukup? Akhir (ending) novel ini memang sangatlah manis. Penutup yang indah:

“Segera kutemui keluargaku, kupeluk erat mereka. Aku tidak ingin kehilangan mereka lagi. Tiba-tiba tanganku tergerak membuka tas kecilku dan mengambil sebuah CD Champs Elysees yang bersampul biru dengan gambar Joe Dassin. Aku sudah tak sabar ingin mendengarkannya di rumah. Aku yakin lagunya indah, seindah Champs Elysees, jalan yang tidak akan pernah kulupkan seumur hidupku. Au revoir, Champs Elysees! (hal. 186)

Rosita memang tak ingin (mungkin menghindar) membangun konflik berlarut-larut. Novel ini juga dibangun secara sederhana dengan pikiran sederhana, sebab itu “keliaran” imajinasi sebagaimana ditemukan dalam novel-novel penulis wanita Indonesia lain tak ditemukan di sini. Itu saja.*


-------------
*sumber Radar Lampung, 5 dan 6 Januari 2009

Sisi lain Potret TKW di Luar Negeri

Catatan atas novel Luka di Champs Elysees

Oleh Isbedy Stiawan ZS



INILAH novel yang mengapungkan sisi gelap kehidupan seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri—dalam novel ini dikisahkan di dua kota dunia: Ryadh dan Paris—bergaya realis; sehingga kita seperti membaca realita…
------


SATU lagi novel yang “mengharubiru” pembaca setelah dua novel best seller Ayat-Ayat Cintanya Habibburrahman Al-Syiraz dan Laskar Pelangi (Andre Hirata), yaitu Luka di Champs Elysees karya Rosita Sihombing (Lingkar Pena Publishing, Agustus 2008; 188).

Novel Luka di Champs Elysees memang tidak berkisah kesuksesan tokoh Fahri—bahkan sangat ideal—pada Ayat-Ayat Cinta atau Ikal yang mampu mewujudkan mimpinya semasa kanak-kanak ke Paris dalam Laskar Pelangi. Rosita Sihombing justru menelisik kehidupan kelam seorang tenaga kerja wanita (TKW) asal Lampung di belantara “surga dunia” kota Paris.

Inilah, kalau boleh dikatakan, novel yang mengangkat sisi lain yang kelam seorang TKW di luar negeri, sebagaimana ditulis pula di sampul depan: “Sebuah kisah haru nan menawan, tentang perjalanan seorang muslimah di negeri yang menakjubkan.”

Paris, semua orang memimpikan kota indah itu, namun di balik keindahannya menyimpan kekerasan hidup—apa lagi buat seseorang yang tinggal secara ilegal. Bagi Nyoto Prihanto, staf KBRI di Paris, mengaku tidak mudah untuk bertahan di kota itu. Begitu pula Karimah, tokoh dalam novel Luka di Champs Elysees ini yang cukup disapa Kari, sebagai warga ilegal di Paris hanya bisa bertahan tanpa tahu bagaimana nasibnya esok hari atau pulang karena kalah. Dan, Kari memilih pulang sambil meremas-remas semua impian kembali jadi TKW!

Novel karya Rosita Sihombing, kelahiran Tanjungkarang 24 Januari 1974 dan lulusan S1 Inggris Unila, mengungkap salah satu realita TKW dengan cara realis pula. Adalah Karimah—ibu berputri satu hasil perkawinan dengan Pardi yang pedagang tempe daun di Pasar Tugu—yang mengadu nasib sebagai TKW di Riyadh. Kari bekerja menjadi baby sitter 2 anak dari keluarga pasangan Alkahtani-Haifa.

Kari menerima perlakuan kasar dari majikannya, terutama Haifa (majikan perempuan). Sepertinya tiada hari tanpa kekerasan. Tidak melakukan kesalahan saja, apalagi teledor, tangan majikan dan benda tumpul akan mendarat di tubuhnya. Ia sudah tidak tahan bekerja di keluarga majikannya itu, namun meminta berhenti tidak mungkin sebab gajinya pun masih tertunda 3 bulan.

Pada musim semi, keluarga Alkahtani-Haifa berlibur ke Paris. Karimah diajak serta untuk mengurus Omar dan Nassar—kedua putra majikannya. Sebelum keberangkatan ke Paris, Kari banyak mendengar tentang kota dunia nan menakjubkan itu. Ia tergiur dan ingin sekali pada saat yang tepat melarikan diri dari cengkeraman majikan.

Niatnya itu terkabul. Tetapi bukan kebahagian diraihnya di negara Napoleon tersebut, melainkan ia kian masuk belantara pekat. Saat pelarian dari majikannya, dalam keadan tak sadar karena kecapaian dan luka, ia ditolong seorang lelaki berkewarganegaraan Aljazair.

Hamed, lelaki itu, dan pendatang gelap juga kelaknya menjadi teman serumah Kari tanpa diikat pernikahan. Ternyata, dari penuturan Kari sebenarnya banyak TKW Indonesia di Paris yang hidup seatap dengan lelaki lain tanpa ikatan perkawinan. Dari hidup sekamar dengan kekasihnya, tak jarang untuk menyewa apartemen yang mahal itu ditopang bersama.

Untunglah Kari tidak bernasib seperti temannya. Ia mendapatkan Hamed yang mengasihi dan menyayanginya. Bahkan ia harus melahirkan anak perempuan—kemudian diberi nama Maharani Karimah—walaupun hanya bernafas beberapa hari karena “kecelakaan”.

Sebenarnya Kari tak menginginkan kehamilan dari hubungan intin dengan Hamed. Tapi ketika hamil, Hamed memintanya agar tak menggugurkan. Alasannya, jika mereka punya anak akan memudahkan mendapatkan izin tinggal di Paris.

Dia melahirkan tanpa Hamed. Bahkan saat berjuang habis-habisan dari apartemen ke rumah sakit, Hamed tak menyertainya. Sudah sepekan lebih “dewa penyelamat” itu tidak pulang ke apartmen karena bertengkar. Hamed menginap di rumah temannya dan melampiaskan kekesalannya dengan mabuk-mabukan.

Hamed kesal pada keluarganya yang menolak kehadiran Kari, dan juga marah pada Kari karena selama hamil amat sensitif. Itu sebabnya, Kari tidak menyertakan nama Hamed di belakang nama Maharani—bayinya yang baru lahir ketika hendak didaftarkan di walikota—sebab Hamed tak juga kunjung bezuk. Kari berpikir bahwa Hamed tak akan mungkin kembali padanya, jadi untuk apa menyertakan namanya di belakang bayinya? Sementara ihwal penyertaan nama di belakang nama anak, bagi Hamed, adalah penting.

Hamed seperti juga Kari, sebenarnya sudah berkeluarga di negaranya. Itu sebabnya yang membuat Hamed tak mungkin dapat menikahi Kari. Begitu pula Karimah tak akan bisa mengikat perkawinan, sebab ia berstatus istri Pardi dan ibu dari Tari (putri berusia 6 tahun). Maka tatkala bayi yang baru lahir buah percintaannya dengan Hamed meninggal, Kari menerima dengan sedih dan suka.

Sepeninggal Maharani, keduanya berpisah. Kari menumpang di apartemen temannya (Enah) sedangkan Hamed dengan temannya senegara. Sebabnya biaya untuk menyewa terkuras untuk ongkos pemakaman bayi mereka seharga 2.000 euros.

Ditampung di apartemen Enah bukan hidup Kari bertambah mulus. Pasalnya, kekasih Enah asal India (Rafik) adalah tipe lelaki matakeranjang. Untuk menghindari pelecehan dari Rafik, Kari kerap keluar bersamaan temannya itu pergi bekerja dan pulang pada malam hari. Tujuan satu-satunya ialah Jalan Champs Elysees, kenangan saat tangannya terluka karena jatuh saat melarikan diri dari majikannya dan ditolong Hamed.

Artinya jalan yang menawan dan menakjubkan itu, selain menyimpan luka juga kenangan indah. Di kawasan ini pula, Kari tak sengaja bahkan seperti kebetulan, berjumpa dengan perempuan Indonesia bernama Imel (hal.150-154)

Dari informasi Imel, Kari mendapat semangat baru untuk mengurus surat-surat di KBRI demi kepulangannya ke Lampung. Situasi kebetulan juga terjadi di novel ini, Hamed menelepon Kari. Bahkan kekasihnya selama 2 tahun di Paris itu bersedia membelikan tiket pesawat ke Indonesia. Kari pulang sebagai orang yang kalah sekaligus pula menjadi pemenang atas dirinya sebelum benar-benar lebur ditelan buasnya Paris.

*
NOVEL Luka di Champs Elysees ini digarap sederhana, sehingga pembaca bisa mudah mengikuti alur tanpa melompat-lompat. Bahkan untuk flashback pun, mungkin Rosita khawatir alur cerita tak terkejar oleh pembacanya, ia perlu memberi penjelasan. Atau langsung dengan menyebut “Dua Tahun Silam”, misalnya. Bab-bab yang dibuat pun kentara kalau penulisnya tak mau berumit-rumit: “awal”, “masa lalu”, dan “kini”.

Saya tak hendak menyebut Rosita sebagai penulis (novel) pemula, sebab dalam kancah penulisan justru perempuan yang pernah jadi jurnalis di Sumatera Post ini sebagai “pemain lama”. Hanya saja, “di dunia cerita” saya baru mengetahui selepas novel ini terpublikasi.

Memang, dua atau tiga tahun lampau, saya pernah berjumpa dengan Rosita di Toko Buku Gramedia. Ia yang ditemani suaminya Patrick (warganegara Prancis) sedang memborong sejumlah buku sastra (novel dan kumpulan cerpen) di antaranya karya Pramudya Ananta Toer. Sejak perjumpaan itu pun lepas warta, dan tahu-tahu dari Lampung Post Rosita meluncurkan sebuah novel.

Cerita kegagalan para TKW, nasib buruk oleh kekerasan majikan terhadap TKW ataupun mendapat pelecehan seksual bahkan hingga tewas, terlalu kerap kita dapati dari pemberitaan media massa. Karena terlalu sering, kisah-duka para TKW di luar negeri seperti bukan lagi kabar aneh serta mengejutkan. Apa lagi, perempuan Indonesia yang ingin bekerja (dipekerjakan) di luar negeri terus mengalir.

Oleh sebab itu, membaca Luka di Champs Elysees sesungguhnya tak lagi mengejutkan, dan kita seperti disuguhkan sebuah laporan. Hanya laporan yang dibuat Rosita Sihombing ini menggunakan media sastra. Atau kalangan jurnalis menyebut jurnalisme sastra. Tetapi, sebab cerita yang dibuat Rosita ini bukan sepenuhnya realita, maka buku ini digolongkan karya fiksi (baca: novel).

Saya sejalan dengan pikiran Fira Basuki, sesungguhnya tema novel ini sederhana ditambah mimpi yang sederhana pula dibalut kata-kata yang sederhana. Ya. Kisah seorang perempuan sederhana dengan pikiran-pikirannya yang sederhana.

Dengan “kesederhanaan” itu, saya tak berharap banyak untuk menunggu ada “kejutan” di akhir cerita, sebab penyelesaian novel ini amatlah manis. Ending yang ditulis Rosita demikian:

“Segera kutemui keluargaku, kupeluk erat mereka. Aku tidak ingin kehilangan mereka lagi. Tiba-tiba tanganku tergerak membuka tas kecilku dan mengambil sebuah CD Champs Elysees yang bersampul biru dengan gambar Joe Dassin. Aku sudah tak sabar ingin mendengarkannya di rumah. Aku yakin lagunya indah, seindah Champs Elysees, jalan yang tidak akan pernah kulupkan seumur hidupku. Au revoir, Champs Elysees! (hal. 186)

Mungkin karena saya menyukai “keliaran imajinasinasi”, tentu berharap surat Hamed yang tanpa sepengetahuan Kari dimasukkan ke dalam tasnya dan sempat mengundang reaksi kecil Pardi ketika surat itu jatuh di bandara Soekarno-Hatta, menjadi petaka bagi rumah tangganya.

Atau saya menginginkan sekali, dokter yang memeriksa bayi mereka yang meninggal itu melakukan visum secara medis kemudian menyeret pasangan itu berurusan dengan kepolisian. Tentu kisah pahit Karimah akan semakin panjang dan mencemaskan (mengharubiru?), tidak segampang seperti ini. Tetapi rupanya, penulis ingin menghindari konflik yang rumit dan panjang,

Karena bagian ini, saya anggap paling mengganggu, yakni ketika dokter tidak mencurigai kematian karena ajal atau kesengajaan. Apakah mungkin kematian yang tak wajar itu tanpa harus divisum, dan dokter cukup percaya mendengar cerita (laporan) Hamed?

Setahu saya untuk mengeluarkan surat kematian, tidak segampang dilakukan dokter tersebut. Harus ada hasil cek visum, bukan seperti menulis resep. Atau memang cara medis di Paris berbeda: dokter cukup mendengar laporan dari orang tuanya, setelah itu memberikan surat keterangan kematian.

Mungkin pula Rosita punya cara lain. Ia bukan tipe penghukum. Ia justru memberi kesempatan bagi Kari untuk bertobat dan membenahi kembali rumah tangganya yang sempat ditinggal dan dikhianati sepanjang 2 tahun.

Novel ini didominasi seting Paris. Padahal, sebagai pembaca, saya berharap banyak mendapatkan informasi tentang Riyadh. Pasalnya disebutkan bahwa Kari sebagai tenaga kerja di sana. Kecuali bandara King Khaled Riyadh, informasi lain mengenai Riyadh tidak diumbar-umbar penulis. Berbeda dengan Paris, sampai sekecil dan detail bahkan soal politik pilpres Prancis disingung. Saya pun mahfum. Rosita sudah cukup lama menetap di Paris karena mengikut suami.

Saking hafalnya, bahkan tentang jurusan kereta bawah tanah, novelis ini keasyikan sendiri. Walaupun akhirnya pembaca diuntungkan, itung-itung diajak rekreasi (turistik) di kota Paris. Pembaca seakan berada dekat dengan menara Eifel atau menyusuri Champs Elysees.

Rosita dalam hal ini memang piawai memindahkan hasil gambarannya tentang Paris ke dalam novel ini. Hal inilah yang membuat Luka di Champs Elysees menjadi menarik dan memikat. Kata-kata nan indah, narasi-narasi liris, rasa-rasanya yang menambah bagi novel ini betah dibaca.

Yang mengganggu pembacaan saya ialah kesalahan ketik, selain itu inkonsistensi Rosita. Misalnya, apakah ia sebagai tokoh aku ataukah pencerita, sebab di hal. 40 tiba-tiba Rosita menyebut: “Tidak lupa dia memberikan senyuman kepada petugas itu.” (tanda tebal dari saya). Seharusnya bukan dia melainkan aku. Ketidakkonsistensi lainnya, soal sebutan ibu ataukah mama? (lihat bab Nak, Ibu Pulang! hal. 175).

Novel ini tidak begitu tebal. Akibat ingin irit dalam berbagi cerita, Rosita kurang memberi informasi soal Enah dan Icha. Siapa kedua teman Karimah itu, dan bagaimana mereka bisa saling mengenal (berteman)? Apalagi pertemanan mereka sudah amat kental.

Awalnya saya menduga Karimah akan bermain ke rumah Imel setelah ia diberi kartu nama, setidaknya ingin lebih tahu banyak soal pengurusan kepulangannya yang diketahui memang tak mudah buat warga gelap di Paris. Imel sudah memberi rambu-rambu: “Oh ya, ini alamatku. Kalau ada masalah, hubungi aku, ya!” (153-154). Tetapi, jangankan bersilaturahmi ke rumah Imel, tokoh misteri yang dijumpai di taman itu tak lagi (di)muncul(kan).

Selebihnya asyik-asyik saja, karena Luka di Champs Elysees ini tidak berpretensi membuat kita mengerutkan dahi. Rosita cuma ingin menghibur pembacanya dengan pesona nan takjub atas Paris, seraya memasukkan pesan: jangan (pernah) bermimpi indah jadi TKW.

Saya kira, inilah catatan saya buat novel Luka di Champs Elysees Rosita Sihombing. Salam.


23 desember 2008; 03.06

--------------------------
* merupakan bahan bincang pada Diksusi Novel Luka di Champs Elysees karya Rita Sihombing di UKMBS (Unit Kegiatan Bidang Seni) Universitas Lampung, 27 Desember 2008. Tapil pembicara lain adalah Ari Pahala Hutabarat, penyair yang juga sutradara di KoBer.

02 Desember 2008

Konstelasi Sastra di Lampung

Catatan Dari Amzuch ke Fitri Yani*)


Oleh Isbedy Stiawan ZS


PETA sastra Indonesia tidak lengkap, sekiranya ada upaya untuk menghilangkan Lampung. Terutama beberapa tahun terakhir ini. Pasalnya provinsi bagian selatan pulau Sumatera ini cukup besar perannya bagi kesemarakkan sastra di Indonesia, hampir mendekati peran yang pernah disumbangkan, misalnya Sumatera Barat dan Riau pada masanya.

Sejak 1978-an, sebagai awal “melek” sastra di Lampung, ranah sastra Indonesia mulai memperhitungkan daerah ini sebagai lumbung kesusastraan. Dimulai oleh Assaroeddin Malik Zulqornain Ch.(kelahiran 1956), dinamika sastra di Lampung menjadi bagian dari perpetaan kesusastraan Indonesia. Meskipun, boleh jadi, AMZ dianggap bukan pioner kesastrawanan Lampung, karena Motinggo Busye, A.A. Sarmani Adil, ataupun Andi Wasis yang kelahiran atau pernah mencecap tanah Lampung lebih dulu berkiprah. Tetapi kiprah ketiga sastrawan tersebut dilakukan di luar daerah ini.

Amzuch (A.M.Zulqornain Ch) seperti “memelekkan” orang Lampung tentang sastra Indonesia, betapapun Lampung memunyai sastra tradisional (tutur) yang cukup kuat sebagai kekayaan budaya. Karya-karya Amzuch berupa cerpen, puisi, dan esai mewarnai media masa nasional sekaligus menciptakan peta sastra Indonesia tertuju ke Lampung. Sebagai pioner memang Amzuch kemudian seperti menghilang, tapi sejarah kesusatraan (di) Lampung tidak bisa begitu saja meniadakan perannya.

Perkembangan berikut, “pulangnya” para perantau: Iwan Nurdaya-Djafar, Sugandhi Putra, Hendra Z., Djuhardi Basri, dan “masuknya” Naim Emel Prahana karena menyunting gadis Metro berdarah Jawa. Bersamaan “kepulangan” para perantau itu, dinamika sastra di Lampung kian bergolak dengan munculnya Syaiful Irba Tanpaka, Achmad Rich, serta yang berkiprah kemudian yaitu Panji Utama, A.J. Erwin, Iswadi Pratama, Ivan Sumantri Bonang, D.Pramudia Muchtar, Eddy Samudra Kertagama, dan lain-lain—untuk sekadar menyebut beberapa nama.

Forum Puisi Indonesia 87 yang digagas Dewan Kesenian Jakarta di TIM, 3-5 September 1987 adalah tonggak dan bukti bahwa Lampung sedang memasuki peta sastra di Indonesia. Sejumlah sastrawan Lampung (Iwan Nurdaya-Djafar, Syaiful Irba Tanpaka, Sugandhi Putra, Naim Emel Prahana, Achmad Rich) mewakili Lampung di forum yang dihadiri sekitar 87 penyair se-Indonesia tersebut. Selepas Forum Puisi Indonesia 87, media masa bergengsi kala itu—Berita Buana dengan penjaga gawangnya Abdul Hadi W.M., Pelita dengan redaktur tamu Sutardji Calzoum Bachri di samping media lain yakni Merdeka Minggu, Horison, Berita Yudha—banyak memberi peluang bagi publikasi karya para sastrawan Lampung. Bahkan sumbang pemikiran sastrawan Lampung pada saat polemik sastra kontekstual versus sastra transendental yang menyita halaman budaya media masa saat itu.

Pertemuan-pertemuan sastra, yang juga menghadirkan para sastrawan Jakarta dan daerah lain di Lampung. punya peran cukup besar menstimulus generasi sastra berikutnya. Ditambah lagi workshop maupun penerbitan antologi sastra secara berkala dan didanai swadaya telah pula menularkan semangat menulis karya sastra pada generasi muda.

Dan, tak bisa diabaikan dalam membantu perkembangan sastra di Lampung adalah peran media radio—dalam hal ini RRI Cabang Tanjungkarang dan Radio Suara Bhakti (Rasubha)—yang peduli pada dunia sastra dengan menyediakan acara puisi. Bahkan Rasubha menerbitkan antologi puisi bertajuk Memetik Puisi dari Udara (1987). Itu semua sebagai sumbangsih bagi perkembangan dan kemajuan sastra (Indonesia) di Lampung.

Kemudian peran kampus juga cukup besar. Adalah IAIN Radin Intan pernah menoreh sejarah sastra di Lampung ketika mengundang Hamid Jabbar ke kampusnya. Namun sumbangsih terbesar bagi munculnya sastrawan Lampung di kalangan kampus, tentulah Universitas Lampung. Baik kegiatan sastra yang digagas FKIP Jurusan Bahasa dan Seni Unila, apatah lagi yang dilakukan UKMBS Unila melalui gelar pembacaan puisi maupun workshop.

Dari kawah UKMBS Unila muncul sastrawan seperti Ari Pahala Hutabarat, Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Diah Indra Mertawirana (kini Diah Merta), Lupita Lukman, dan Elya Harda. Sementara itu, tampilnya Dina Oktaviani yang kala itu berstatus sisiw SMAN 9 Bandarlampung kuga menghentakkan jagat sastra Indonesia. Karya-karya puisi Dina yang masih belia telah bermunculan di Republika, Kompas, dan Media Indonesia. Sayang usia Dina menaburkan keharuman bagi sastra di Lampung tak lama: ia hijrah ke Jakarta dan kini menetap di Yogyakarta.

Sebelumnya, Iswadi Pratama, A.J. Erwin, Panji Utama, Rivian A.Chevy, dan Ivan Sumantri Bonang juga lahir dari UKMBS Unila, namun untuk tiga serangkai Panji-Iswadi-Erwin kemudian lebih dikenal jebolan Forum Semesta (?). Sementara dari FKIP liwat komunitas KSS tercatat Aris Hadiyanto dan Anton Kurniawan. Dari Unila juga lahir penyair Alex R.Nainggolan yang kini kembali ke Jakarta, dua cerpenis: M. Arman AZ dan Ardiansyah. Dinamika dan semaraknya kesastraan di Lampung kian terasa dengan hadirnya Oyos Saroso H.N., Budi P. Hutasuhut, “pulang”nya Y. Wibowo, dan munculnya nama-nama baru yang sekejap lalu menghilang dalam kancah sastra Lampung. Ataupun kehadiran penyair Fitri Yani, seperti “mendadak”, namun mampu menghentak kancah perpuisian di Lampung—juga Tanah Air.

Fitri Yani, kelahiran Liwa 28 Februari 1986 dan mahasiswi FKIP Unila jurusan Bahasa dan Seni, pertama kali saya jumpai puisi-puisinya dimuat majalah budaya GONG, kemudian Kompas, dan Lampung Post. Setelah saya membaca puisi-puisinya, Fitri Yani adalah penyair muda Lampung potensial dan menjanjikan. Ia bisa seiring jalan dengan para sastrawan terdahulu dari daerah ini.

Bersamaan dengan Fitri Yani, saya juga mencatat kehadiran F.Moses. dengan puisi dan cerpennya di Lampung Post dan Suara Pembaruan. Moses, alumnus Sanata Dharma Jogjakarta yang kini bekerja di Kantor Bahasa, sekiranya ia tekuni untuk menulis cerpen, bukan tidak mungkin ia potensial sebagai kreator prosa ketimbang “pengrajin” puisi.

Tetapi, di tengah semaraknya sastra Lampung tampaknya kepenyairan memegang kunci dalam peta sastra di Indonesia. Hal itulah yang menggelitik Nirwan Dewanto lalu menyebut daerah ini sebagai Negeri Penyair, setelah itu F. Rahardi yang mengatakan yang dapat menyamai suburnya kepenyairan Lampung hanyalah Bali, Jatim, dan Yogyakarta.

Lalu, di mana posisi cerpenis dalam konstelasi sastra di Lampung? Minimnya cerpenis Lampung, rasanya hanya diwakili M. Arman AZ, Ida Refliana, F.Moses, dan satu dua nama lainnya, belum mampu menyamai prestasi penyair dalam mengharumkan Lampung di kancah sastra nasional. Tadinya saya berharap pada Diah Merta, namun ia hijrah ke Yogyakarta dan kemudian melahirkan beberapa buku kumpulan cerpen, novel anak, dan novel Peri Kecil di Sungai Nipah.

Untuk memarakkan ranah prosa, berbagai workshop penulisan cerpen pernah dilaksanakan baiki oleh Dewan Kesenian Lampung, Taman Budaya, Kantor Bahasa, serta UMBS Unila dan Kober. Tetap saja penulis prosa langka dari daerah. Kelangkaan ini bukan disebabkan benih ditanam di ladang tak subur. Bukan pula ranah prosa kurang menjanjikan dibandingkan puisi. Oleh sebab itu, saya pikir “kebuntuan” semacam ini mesti dicari solusinyanya. Termasuk pula Lampung, smapai kini, tidak (pernah) lahir novelis. Hal inilah yang pernah “digelitik” kritikus yang juga pengajar di Fakultas Ilmu Budaya UI Maman S. Mahayana di Lampung Post. Maman mengaku sebenarnya sastrawan Lampung potensi menggarap novel, hanya yang dibutuhkan adalah kesabaran dan ketekunan, Di samping peran pemerintah daerah memberi peluang lahirnya novelis, misalnya dengan cara mendanai sastrawan untuk menulis novel ataupun cara-cara lain yang sah.

Namun, di sini saya masih tetap berharap banyak dari dunia kepenyairan. Setidaknya penyair Lampung terus bertambah, sementara yang lebih dulu berkiprah masih tetap “bersaing”.

Dan, bersaing itu wajar. Penyair termuda semacam Fitri Yani sah-sah saja bersaing dengan para pendahulunya. Karena di dunia kreatif seperti kesenian ini, yang diutamakan ialah kreativitas, inovasi, dan terobosan-terobosan. Kita tunggu saja Fitri Yani yang makin “menjadi” sebagai penyair Lampung—yang tentu saja Indonesia.

Selain itu, para penyair di antaranya Inggit Putria Marga, Jimmy Maruli Alfian, Ari Pahala Hutabarat, tetap terdepan dalam sastra di Lampung. Sementara Amzuch yang kini nampak seperti “pemencet pasta gigi kosong”—saya meminjam pendapat Amzuch, cukuplah menikmati hari-hari bersejarah sebagai pembuka jalan bagi sastra di Lampung menuju Indonesia. Sedangkan cerpenis M. Arman AZ—rasanya satu-satunya cerpenis Lampung yang setia dengan dunia prosa—perlu menajamkan kreativitasnya mencapai media bergengsi semacam Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Suara Merdeka.

Itu semua kendala, namun juga tantangan yang harus dilampaui oleh para sastrawan. Sebab pertaruhan paling hakiki di dalam dunia sastra adalah karya itu sendiri. Bukan wilayah geografis antara pusat dan daerah, nasional atau lokal, Jakarta dan seberang, dan seterusnya. Apatah lagi masuknya isu soal pengkotakan alias kubu: kubu TUK, Horison, DKJ, KSI, Rumah Dunia, sampai Boemi Poetra dan Memo Indonesia.

Sebagai kreator mestinya abaikan persoalan yang menggganggu kreativitas tersebut, apalagi sampai “selalu menuding” ketidak becusan redatur dan kanon sastra semacam itu karena menganggap hanya nama-nama tertentu dan itu-itu saja, sehingga melampiaskan kekecewaannya dengan menyatakan tak pernah mengirim karya ke media massa mana pun lagi. Atau memutuskan diam dan menunggu sambil terus berkarya dan menyimpannya.

Saya tidak mengerti apakah ini masuk wilayah kreativitas (penciptaan) ataukah wilayah propaganda marketing yang sejatinya mereka berharap juga diperhatikan. Propaganda yang hampir sejenis ini—kalau boleh dibilang propaganda—sebenarnya pernah dilakukan kelompok Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) yang dimainkan Kusprihyanto Namma, Beno Siang Pamungkas, Widjang Wareh, dll. yang menyatakan penolakan terhadap pusat (dalam hal ini Jakarta). Mereka menolak TIM/DKJ dan seluruh media massa terbitan Jakarta, dengan membuat tandingan melakukan pertemuan sastra di Jatim dan Jateng serta membuat buletin untuk menampung karya kreatif ataupun campakan ludah tertuju Jakarta (baca: kanon sastra). Akan tetapi, ketika karya dari penggagas RSP muncul di media Jakarta dan selanjutnya diundang DKJ tampil di TIM, luntur seluruh cacimaki pada Jakarta.

Sikap seperti ini bukan tak ada pada sastrawan Lampung. Kekecewaan yang semula karena tak dimuatnya karya-karyanya di media Jakarta, lalu membikin gerakan menyurut ke belakang atau bersembunyi di balik “moralitas” sastra. Misalnya membentuk kelompok kecil, sekolah kecil-kecilan yang juga untuk kelompoknya, atau sama sekali ambil jarak dengan dunia sastra yang sayangnya tak pernah (mau) menyatakan “selamat tinggal dunia sastra” karena menganggap sastrawan adalah “profesi sampai mati”.

Ketika gugatan terhadap KUK/TUK yang dinilai sebagai “penentu” percaturan sastra di Indonesia, Lampung juga memeroleh imbas “cacimaki” dari kelompok penggugat TUK. Imbas itu terasa, misalnya, menyebut sastrawan Lampung sebagai TUKisme dan “dibesarkan” oleh TUK karena kerap karyanya dimunculkan di Kompas (redakturnya Hasif Amini dari TUK) dan Koran Tempo (Nirwan Dewanto yang juga orang TUK), sambil mengabaikan bahwa karya-karya sastrawan Lampung juga dimuat Media Indonesia, Republika, Horison, Jawa Pos, Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Suara Karya yang notabene tak tersangkutpaut dalam “gurita” TUK—jika dianggap TUK bergurita

Isu kubu-kubu yang terjadi di Jakarta memang telah meracuni sebagian sastrawan beli di beberapa daerah. Ada semacam kebimbangan untuk menentukan media bagi sosialisasi karya-karyanya. Ada pula yang sekadar ingin tahu kebenaran ihwal kubu-kubu itu. Tetapi, tak sedikit ada pula yang merasa takut karena dihantui bahwa rimba sastra begitu pekat dan menakutkan!

Ujaran ataupun hujatan seperti itu anggap saja bagian dari dinamika kehidupan. Tak perlu dihirau atau dirisaukan, apatah sampai mematikan kreativitas maupun mundur dari gelanggang. Pendekar sejati mesti berani masuk ke gelanggang dan mempertaruhkan seluruh kemampuannya. Kalau tidak, ya menarik diri dari garis pertarungan secara legawa tanpa meninggalkan sumpahseranah.

Demikian konstelasi sastra Lampung, dari Amzuch ke Fitri Yani. Dari uraian serbaringkas dan cenderung menatah sejarah kesastrawanan di Lampung, kita bisa menyerpihi satu persatu para sastrawan. Kemudian menunjuk mana sastrawan yang tetap berkarya di tengah persaingan “merebut hati” redaktur (media masa) nasional maupun lokal dan dinamika seakan setiap hari lahir sastrawan di Tanah Air.

Berapa banyak sastrawan Lampung—baik dari generasi awal sampai teranyar—yang masih setia menekuni dunia kesunyian ini? Memang, agaknya, dunia sastra di Indonesia belum menjanjikan apatah lagi berpeluang menunjang strata sosial si sastrawan. Itu sebabnya, wajar kalau terjadi pasang-surut-pasang bagi dunia sastra. Seperti pula penerbitan buku-buku sastra yang kadang booming dan lain hari para penerbit enggan menerbitkan buku sastra lantaran takut rugi.

Ada yang menarik dari dinamika sastra di Lampung, yakni ketika munculnya (latah?) keinginan beberapa sastrawannya kembali ke lokalitas keLampungan. Sayangnya lokalitas (localgenius) itu cuma terkesan lipstick—hanya tempelan dan pemanis—karena tidak menukik ke kedalaman. Yang hadir di dalam karya-karya para sastrawan Lampung cuma kosakata semisal “adin, atu, kiyai” ataupun nama-nama tempat/singgahan. Padahal, lokalitas bukan sebatas penamaan dan penandaan, tapi bagaimana usaha sastrawan menafsir ulang ihwal kelokalitasan yang ada dan berlangsung di suatu tempat ia berpijak. Sebagaimana dilakukan Azgari (Aceh) melalui cerpen-cerpennya yang kemudian terhimpun dalam bukunya Perempuan Pala, Sutardji Calzoum Bachri yang “memperbarui” mantra di dalam puisi-puisinya, sampai kepada Taufik Ikram Jamil, Fakhrunnas MA Jabbar, Marhalim Zaini (Riau), serta Gus tf (Sumatera Barat).

Akhirnya untuk menutup uraian ini, sambil lalu saya ingin menggubris peran media di Lampung. Terus terang hanya Lampung Post yang masih mempertahankan ruang bagi karya sastra dengan honor cukup berarti, yang lain: Radar Lampung, Lampung Ekspres Plus, serta media-media yang lain seakan “menutup” ruang-ruangnya. Saya kurang dapat memahami, kendala apa bagi media-media lokal tersebut sehingga tak berperhatian pada karya-karya sastra.

Dan, bagi Lampung Post sendiri tentu saja mesti harus terus berbenah: membenahi bagi penjaga gawang halaman sastra. Tugas sebagai redaktur sastra, sebenarnya tak segampang menggawangi halaman-halaman lainnya. Haruslah dipilih orang yang setia, memunyai apresiasi yang baik terhadap sastra, dan jeli melihat karya yang baik walaupun datang dari penulis pemula, serta netral. Saya yakin ini bisa dilakukan Lampung Post. Siapa takut?


Bandarlampung, 4-8 Desember 2007



*) mengutip judul Dari Fansuri ke Handayani, terbitan Horison-Ford Foundation



-----------------
karena tulisan ini sbagai kertas kerja pada pertemuan sastra se-Sumatera di Medan--yang telah dimuat Lampung Post edisi khusus Akhir Tahun (2007)--, telah mendapat tanggapan melalui SMS dengan nomor kontak 0815409660209, isinya:

"malam bang is, selamat idul adha. malam ini saya baca blok abang. ada esai berjudul 'kontemplasi (seharusnya konstelasi, isb) sastrawan lampung. mulai motinggo busye sampai fitri disebut. namun tak sepotong nama pun nama saya di situ. saya dianggap tak pernah ada. tak apalah. bagi saya isbedy juga bukan apa-apa. puisinya tipis cerpennya dangkal. tapi pede banget nerbitin buku. entah siapa yang beli!! suka dipuji juga suka berkonprontasi. budi dan edi ia benci. terutama karena budi penyair yang menulis puisi paling kuat di lampung selain iswadi. oke deh, saya akan junjung nilai perkenalan kita selama ini. semoga anda sukses dan terus menerbitkan buku-buku. siapa tahu dapat khatulistiwa. salam hangat!!


untuk pesan tak bernama itu, saya balas:

"maaf, saya tak bermaksud meniadakan nama seseorang. tapi karena terlupa saja sebab banyak nama yang mesti diingat. soal puisi atau cerpen saya tipis dan dangkal, pembaca yang menilai."
Pada kesempatan ini juga saya ingin meluruskan pesan pendek dari orang tak bernama tersebut, utamanya soal tuduhan bahwa saya membenci Budi Hutasuhut dan Edy Samudra Kertagama. Saya pikir itu jelas fitnah. Saya tetap bebraik pada siapapun, sastrawan Lampung terutama, meskipun secara pemikiran boleh saja berbeda dan tidak sejalan. Taklah mungkin nama Budi Hutasuhut dan Edy Samudra saya masukkan dalam tulisan saya itu jika kebencian--jika dianggap memang ada--saya pada kedua sahabat itu. Bahkan pada Edy SK, kami kerap dialog dan diskusi di berbagai tempat perjumpaan dan atau di DKL.
Soal nilai dan bobot karya-karya sastra saya selama ini, bahkan sejak dulu kala, selalu saya serahkan sepenuhnya kepada pembaca dan kritikus sastra (pengamat): dan lumayan dapat respon baik, misalnya dari Abrar Yusra dan Sutardji Calzoum Bachri pada Forum Puisi Indonesia 87 di TIM, Abdul Hadi WM dalam sejumlah tulisan sastra sufistiknya, serta SCB saat memegang halaman puisi Kompas sehingga menulis esai "Isbedy dan lain Ihlwal Isbedy" saat menurunkan puisi-puisi saya di harian terbesar itu.
Alhamdulillah, dua buku saya Kota Cahaya dan Laut Akhir pernah menongkrong di 10 besar Katulistiwa Literary Award, walaupun kemudian Kota Cahaya dianulir panitia lantaran sejumlah puisi di dalam buku saya itu pernah/telah masuk dalam buku saya yang lain--pasalnya Kota Cahaya adalah 100 puisi pilihan dari 1984-2004.
Tetapi, pujian--apalah namanya--tak membuat saya congkak dan selalu haus dipuji. Termasuk pula cacian, kritik, jika memang beralasan dan dapat dipertanggjungjawabkan secara ilmiah akan saya terima. Nama saya juga kerap tak tercatat oleh pengamat, tapi tak lantas saya mencak-mencak.
Kembali ke tulisan saya ini. Sebagai tulisan yang mencatat perjalanan sastra di Lampung, memang tak terhindarkan akan menyebut nama, dan karena Lampung sangatlah banyak maka tak terhindar pula ada nama yang luput. Sebagai penulis, tentu saya tak melihat apakah seseorang itu saya benci ataupun musuh atau berseberangan dengan saya tetaplah saya catat jika seseorang itu punya andil atau memiliki sejarah bagi sastra di Lampung. Hanya saja, sekali lagi, jika ada yang tak tersebut namanya padahal ia bukan/tidak berseberangan dengan saya, sungguh bukan karena disengaja. hanyalah khilaf.
Misalnya, Dahta Gautama, penyair yang mendapat penghargaan kedua puisi terbaik versi pembaca yang diadakan Pena Kencana. Namanya, sekali lagi karena saya khilaf, tidak tercantum/disebut sepotong pun. Padahal, ketika saya ditunjuk sebagai kurator oleh Dewan Kesenian Jakarta pada Cakrawala Sastra Indonesia (2005), ia saya undang untuk mengirimkan puisinya ke saya. Artinya, saya mengakui eksistensi kepenyairannya di Lampung.
Untuk itulah, pada kesempatan ini, saya memohon maaf pada Dahta Gautama yang namanya tak tersebut, tapi bukan karena ia--dalam konstelasi sastra di Lampung--tidak tercatat. Sungguh, saya berharap kepada pemilik nomor kontak mentari, mau berkenan berdialog (termasuk pada "orang tak bernama"), demi kebaikan perkenalan dan persahabatan yang dibangun selama ini.
salam hangat.
[isb]


01 Desember 2008

"5 cm." dan Fenomena Novel Popular

Oleh Isbedy Stiawan ZS



SETELAH Ayat-ayat Cinta meledak dan novel karya Habibburrahman tak hanya best seller tapi juga diangkat ke layar film, menyusul Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata meramaikan layar bioskop.

Kedua novel popular tersebut seakan meredam fenomena sastra seks yang “dibangun” Ayu Utami melalui Saman dan Djenar Maesa Ayu (Jangan Bilang Saya Monyet), bahkan fenomena “sastra wangi” yang diapungkan oleh sejumlah penulis perempuan nan cantik dari kalngan selebritis.

Kini siap mengikuti jejak Ayat-ayat Cinta dan Laskar Pelangi ialah 5 cm. karya Donny Dhirgantoro. Buku yang memasuki cetakan ke 12 dan sebagai buku best seller pula, telah didiskusikan dan dihadiri penulisnya di Bandar Lampung, 21 November 2008. Saya dan Arman A.Z. dipercaya sebagai pembedah.

Novel 5 cm. berkisah tentang persahabatan 5 orang sejak SMA hingga ke bangku kuliah bahkan sampai berkeluarga. Ke lima sahabat yang mengaku dirinya “Power Ranger” tersebut adalah Zafran, Arial, Riani, Genta, dan Ian.

Selama 7 tahun tak pernah berpisah dan tiada hari tanpa berjumpa: diskusi, debat, nongkrong, nonton, ke kafe, yang bagai de ja vu itu, akhirnya membuat mereka tiba pada titik jenuh: bosan. Lalu mereka memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Selama jeda itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka lebih kaya dari sebelumnya.

Pertemuan setelah tak jumpa selama 3 bulan dirayakan bukan di tempat tongkrongan mereka sebelumnya, melainkan di puncah Mahameru. Tepat pada saat Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya: 17 Agustus!

Dalam perjalanan sejak di Stasiun Senen hingga Lempuyangan, banyak hal yang membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan, terutama sosial, yang didapati mereka. Misalnya soal pungli kondektur kereta api saat di jalan, soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai tarif resmi, dan banyak lagi. Semua pengalaman itu, sekali lagi, makin mendewasakan mereka.

Novel best seller ini memang dapat mengayakan batin dan pikiran kita. Meski pun di sana-sini, bahkan hampir setiap halaman dipenuhi oleh kutipan lirik lagu sebagai penyedap untuk menarik kesukaan banyak pembaca muda, tidak mengurangi arti pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Memang novel ini seperti “mendoktrin” pengamalan P4 kepada—terutama generasi muda—yang saat ini nyaris kehilangan nasionalisme dan idealisme. Tetapi “doktrin” yang dilakukan Donny sangat halus, berbeda jika dilaksanakan birokrat. Ia mainkan perasaan pembaca melalui peran-peran tokoh dalam novel tersebut. ia ajak pembaca menikmati keindahan alam puncak Mahameru. Nah di puncak tertinggi Semeru itulah, saat detik-detik prosesi memeringati HUT Republik Indonesia, siapa pun akan bergetar ketika sang saka Merah Putih dikibarkan menantang langit luas.

Bahkan seorang pecinta alam saat bedah novel ini di Museum Lampung, mengaku bertandang ke puncak Mahameru lantaran tertantang dan tersihir oleh novel Donny Dhirgantoro ini.

Novel ini memang berhamburan nama-nama dan sekaligus buah pemikitran serta perenungan sejumlah tokoh dunia semacam Alfred Nobel, Einstein, Sade, Plato, Socrates, Frank Sinatra (dan ah keliwat banyak jika dideretkan di sini) terkesan kelewahan. Bahkan menunjukkan seakan-akan penulisnya banyak melahap buku bacaan. Rasanya, sekelas mahasiswa umumnya, sulit (bukan tak ada sama sekali) kita pergoki mahasiswa ideal seperti ke 5 tokoh dalam novel 5 cm. ini.

Donny seperti tak sabar untuk tidak menghambur-hambur seluruh buku yang telah dibacanya. Pembeberan nama-nama dan juga pemikiran-pemikitan para tokoh dunia, meski bernilai bagi pembobotan novel ini, terkesan dipaksaan karena “nafsu” sang penulis.

Sebagaimana tokoh Fahri dalam Ayat-ayat Cinta yang amat suci, Ikal dalam Laskar Pelangi yang sejak kecil menggantungkan cita-citanya ingin ke luar negeri setelah mendapat kado dari seorang perempuan Cina tempat dia biasa membeli kapur tulis untuk sekolah, begitu pula ke 5 tokoh dalam 5 cm. terkesan sangat ideal di saat generasi muda dan “orang kampus” yang lebih cenderung berpora-pora daripada mementingkan belajar.

Begitu pula ke 5 tokoh ini yang merasa bosan melakukan demo ke jalan-jalan karena menganggap cara itu kurang berhasil, akhirnya kembali ke dalam keheningan puncak Mahameru. Di sini saya teringat dengan perjalanan Soe Hok Gie—aktivis—yang kemudian memilih naik gunung karena kecewa lalu meninggal di puncak.

Saat bincang dengan Donny di luar diskusi, ia mengaku, tidak terinspirasi oleh Soe Hok Gie manakala ia tampilkan adegan tentang seorang pendaki yang meninggal di puncak Mahameru setahun lalu saat hendak pengibaran bendera Merah Putih pada 17 Agustus. Tokoh yang bernama Adrian dan teman Dhenik—sang fotografer, hanya diceritakan tentang makamnya di Mahameru, kemudian halusinasi Adrian yang memberi semangat pada Arial saat pingsan karena kejatuhan batu. Sebagai pembaca, saya seperti sangat dekat dengan tokoh Soe Hok Gie.

Novel 5 cm. memang tak istimewa. Bahasa yang dipakai Donny Dhirgantoro percampuran teenlit dan popular. Banyak tanda baca yang ia labrak, kurang dispilin pada logika bahasa, dan menggunakan suatu istilah namun tidak ditemukan dalam kamus: seperti “sepilas”. Padahal yang kita kenal selama ini ialah “sekilas” atau “sepintas”.

Sebagai pemula, ini pun diakui Donny meski novel setebal 379 halaman itu hanya dirampung 3 bulan, 5 cm. mengalir bagai air dari pegunungan, menurun, dan memuara di lautan. Karena itu pula, Donny seperti keasyikan dan trans sehingga harus menyelesaikan novelnya menjadi cair kembali. Sekiranya bagian “Sepuluh Tahun Kemudian” ditiadakan, tak akan mengurangi keasyikan novel ini. Walau pun ia harus mengedit atau meletakkan kalimat ini “ada yang pernah bilang kalau idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda, kita udah buktiin kalo pendapat itu salah.” (378), ke bagian lain.

Sebab, itu kalimat kunci dari novel ini. Selain itu memberi wacana bahwa cita-cita, mimpi, dan harapan haruslah diburu. Begini kalimat itu: “setiap kamu punya mimpi atau keinginan ataupun cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu...jangan menempel. Biarkan dia menggantung.... mengambang... 5 centimeter di depan kening kamu, sehingga ia nggak pernah lepas dari mata kamu.”

Setelah itu, “Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.” (362-363). Itu juga semestinya berlaku juga bangsa ini, “Bangsa yang besar ini juga harus punya mimpi…” (379).

Apakah, setelah novel 5 cm. ini diangkat ke layar film, kita akan mendapati semangat (suport) yang sama jika kita membaca bukunya. Pasalnya, film Laskar Pelangi tak semenarik saat kita menikmati novelnya. Namun kita menemukan kekecewaan manakala Ayat-ayat Cinta di fim walaupun secara filemis garapan Hanung Bramantoro itu sangat baik dibanding Riri Riza dalam Laskar Pelangi yang banyak penonton menilai layaknya kisah Bolang (Bocah Petualang).

Donny juga sudah wanti-wanti pada audiens jangan berharap banyak seperti membaca novel, jika 5 cm. ini telah difilmkan. Walaupun ia akan tetap mempertahankan seting di puncak Mahameru, sementara pihak produser mencoba memberi alternatif puncak yang lain.

Tampaknya novel-novel popular yang bereksodus ke layar film, akan semakin menambah. Barangkali inilah fenomena baru dalam dunia fiksi Indonesia yang berkolaborasi dengan fisual. Betapa pun hal ini pernah terjadi puluhan tahun lampau, ketika Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar) dan sejumlah novel-novel remaja Eddy D. Iskandar juga difilmkan. Adakah fenomena ini hanya berulang?*



*) sumber Radar Lampung, 1 Desember 2008

22 November 2008

Kritik: "5 cm." bagi Mimpi dan Idealisme


Oleh Isbedy Stiawan ZS



AYU Utami melalui Saman dan diikuti Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet) seakan mengawali fenomena sastra seks di tanah air. Kemudian para perempuan ayu dan dari kalangan selebritas beramai-ramai menulis karya sastra dan diterbitkan, fenomena sastra seks sedikit bergeser. Muncullah istilah yang popularitasnya hingga ke luar negeri, yakni sastra wangi.

Tentu dari genre sastra itu (kalau boleh menyebutnya demikian), ada hikmah bagi ranah sastra Indonesia. Karya sastra—terutama cerpen dan novel—booming di pasaran. Penerbit memburu para penulis dan bukan sebaliknya seperti sebelumnya. Penerbit-penerbit kecil pun bermunculan dan ikut bersaing dengan penerbit-penerbit sekelas grup Gramedia/Kompas dalam meramaikan pasar buku sastra.

Tetapi “bulan madu” dunia sastra itu tak lama. Pasaran buku sastra menurun, seiring kembali menjauh para “perempuan wangi” dan dari kalangan selebritas meluncurkan karya hinga kembali menyepinya minat masyarakat pada bacaan sastra.

Tatkala Ayat-ayat Cinta diluncurkan dan “meledak” di pasaran, masyarakat—terutama awam—seakan dimelekkan kembali pada bacaan karya sastra. Novel Ayat-ayat Cinta yang bernapaskan islami itu diserbu hingga mengantar buku tersebut menjadi best seller.

Kita seakan tersadar oleh strum novel Habiburrahman: sastra islami meski bertabur dakwah di dalamnya apabila dikemas semenarik mungkin, kesan dogmanya pun tak lagi terasa. Apalagi, kemudian Ayat-ayat Cinta diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama. Andrea Hirata melalui Laskar Pelangi seperti mendapat “wangsit”, novel yang diklaim sebagai pengalaman hidupnya dan mengangkat dunia pendidikan itu, selain booming dan best seller, juga telah dilayarlebarkan.

Kedua novel di atas, sejatinya tidaklah seberat novel-novel yang dinilai berkelas sastra. Temanya biasa saja—bahkan terlalu suci bagi seorang tokoh Fahri di Ayat-ayat Cinta dan taklah menonjol bagi tokoh Ikal dalam Laskar Pelangi. Tapi yang jelas tokoh utama di dalam kedua novel itu, sama-sama masih memunyai idealis dan cita-cita. Itulah “kata kunci” untuk sukses dan yang selalu dijaga dan digantungkan.

Dan idealis(me) itu pulalah yang dirayakan oleh Donny Dhirgantoro, penulis novel 5 cm, yang hendak kita bincangkan kesempatan ini. Kata kuncinya ialah, kalimat ini: “ada yang pernah bilang kalau idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki oleh generasi muda, kita udah buktiin kalo pendapat itu salah.” (378)

Ke 5 sahabat yang selalu menyebut dirinya “Power Ranger” itu sangat menjunjung idealisme. Mereka mencintai bangsa dan negaranya tidak semata berdemo di jalan atau menduduki gedung DPR/MPR, melainkan: “Yang berani nyela Indonesia… ribut sama gue,” Ian tersenyum ke teman-temannya. (349)

Atau kita kutip pernyataan Riani: “Dan selama ribuan langkah kaki ini, selama hati ini bertekad, hingga semuanya bisa terwujud sampai di sini, jangan pernah sekali pun kita mau menyerah mengejar mimpi-mimpi kita… Saya Riani, saya mencintai tanah ini dengan seluruh hati saya.” (349)

“Saya Zafran, saya mencintai negeri indah dengan gugusan ribuan pulaunya sampai saya mati dan menyatu dengan tanah tercintai ini.” (348)

Idealisme yang tertanam di jiwa para “Power Ranger” itu, memang terbilang naif di zaman di mana generasi mudanya berpikir hanya bagaimana ia bisa berhura-hura; hidup hanya untuk hari ini; dan seterusnya. Kesadaran yang memang akan dianggap nganeh sekiranya ada generasi muda berbicara: “Apakah kita sudah menjadi manusia yang bisa memberi manfaat bagi orang lain?”/”Bukan manusia yang selalu mementingkan diri sendiri, manusia yang selalu mencintai dirinya sendiri.” (323)

Kritik terhadap KKN, dimulai dari diri sendiri: menolak perilaku KKN: “Ya, tapi seenggaknya kita mencoba jangan sampe sedikit pun kita KKN.”/”Karena kita dulu yang teriak-teriak anti KKN bukan? Masa kalo saatnya kita jadi orang kantor atau punya bisnis sendiri, jadi manajer atau bahkan CEO kita juga KKN? Nah teriakan-teriakan kita waktu zaman reformasi itu buat apa? Betul nggak, Ta?” (190)


Perjalanan 5 sahabat
Novel 5 cm. ini bercerita tentang perjalanan persahabatan 5 orang sejak masih SMA hingga mahasiswa. Mereka Genta, Zafran, Ian, Riani, dan Arial. Seperti Harry Potter dan Power Ranger saja, atau lazimnya dalam cerita-cerita anak-anak.

Selama 7 tahun tak pernah berpisah dan tiada hari tanpa berjumpa: diskusi, debat, nongkrong, nonton, ke kafe, yang bagai de ja vu itu, akhirnya membuat mereka tiba pada titik jenuh: bosan. Lalu mereka memutuskan untuk tidak saling berkomunikasi dan bertemu satu sama lain selama tiga bulan. Selama jeda itulah telah terjadi banyak hal yang membuat hati mereka lebih kaya dari sebelumnya.

Pertemuan setelah tak jumpa selama 3 bulan dirayakan bukan di tempat tongkrongan mereka sebelumnya, melainkan di puncah Mahameru. Tepat pada saat Republik Indonesia merayakan hari ulang tahunnya: 17 Agustus!

Dalam perjalanan sejak di Stasiun Senen hingga Lempuyangan, banyak hal yang membuat mereka makin dewasa dan cerdas. Banyak persoalan, terutama sosial, yang didapati mereka. Misalnya soal pungli kondektur kereta api saat di jalan, soal penumpang liar di kereta api, soal perang mulut antara supir angkot dengan penumpang hanya dikarenakan ongkos yang tak sesuai tarif resmi, dan banyak lagi. Semua pengalaman itu, sekali lagi, makin mendewasakan mereka.

Novel best seller ini memang dapat mengayakan batin dan pikiran kita. Meski pun di sana-sini, bahkan hampir setiap halaman dipenuhi oleh kutipan lirik lagu sebagai penyedap untuk menarik kesukaan banyak pembaca muda, tidak mengurangi arti pesan yang ingin disampaikan penulisnya.

Donny sangat piawai untuk tidak terjebak dituding “mendoktrin” P4 kepada pembaca—tak cuma generasi muda!—ketika bicara soal kecintaan pada bangsa, negara, dan tanah air. Realis dan logis. Doktrin P4 tak disampaikan dalam seminar atau sarasehan, tetapi di puncak Mahameru.

Tak sedikit generasi muda menyukai petualangan mendaki gunung. Bahkan beberapa puncak seperti Gunung Semeru, Gunung Bromo, Gunung Rinjani dan banyak lagi, kerap didaki oleh pecinta alam den para pendaki. Entah sekadar menancapkan merah putih ataupun melakukan upacara detik-detik proklamasi pada 17 Agustus. Tradisi generasi muda itu dipakai Donny untuk menjadikan novelnya tidak hilang logika cerita.

Meski, berhamburan nama-nama dan sekaligus buah pemikitran serta perenungan sejumlah tokoh dunia semacam Alfred Nobel, Einstein, Sade, Plato, Socrates, Frank Sinatra (dan ah keliwat banyak jika dideretkan di sini) terkesan kelewahan. Bahkan menunjukkan seakan-akan penulisnya banyak melahap buku bacaan. Rasanya, sekelas mahasiswa umumnya, sulit (bukan tak ada sama sekali) kita pergoki mahasiswa ideal seperti ke 5 tokoh dalam novel 5 cm. ini.

Donny seperti tak sabar untuk tidak menghambur-hambur seluruh yang telah dibacanya. Pembeberan nama-nama dan juga pemikiran-pemikitan para tokoh dunia, meski bernilai bagi pembobotan novel ini, terkesan dipaksaan karena “nafsu” sang penulis.

Pengutipan lirik-lirik lagu yang kerap seluruhnya, menunjukkan kalau penulis 5 cm. benar-benar sangat hafal dan menguasai. Bayangkan ke 5 tokoh yang bersahabat itu amat fasih menyanyikan lagu-lagu yang ada dan tahu persis siapa pencipta atau yang memopularkannya. Sehingga, mungkin abai atau memang disengaja karena Donny amat berjarak dengan dunia penyair apatah lagi pada puisi, sehingga pemeranan Zafran yang seorang penyair yang selalu bimbang tak satu pun puisi ditonjolkan—bahkan sekiranya ada karya Zafran. Kecuali Zafran mengatakan saat menelepon Dinda (Arinda, kembaran Arial) bahwa ia sedang membuat puisi pesanan.

Karena Zafran justru kerap mendendangkan lirik-lirik lagu tinimbang membacakan puisi, layaknya penyair. Memang kelengahan ini tidak membuat nilai novel ini berkurang. Tetapi, selayaknya seorang dalang, pengarang mesti pula melakukan observasi untuk memberi bobot setiap tokoh-tokohnya dan (juga) seting.

Terus terang untuk seting, Donny sangat menguasai. Membaca biografi di halaman akhir buku ini, mahfum: ia dilahirkan sekaligus dibesarkan di Jakarta. Entah melalui observasi lebih dulu atau memang penulis 5 cm. adalah seorang pendaki, yang jelas seting pendakian Mahameru sangatlah dikuasai. Pembaca benar-benar diajak secara lebih dekat pada situasi pendakian: diperkenalkan daerah-daerah seperti Tumpang, Ranu Pane, Ranu Kumbolo, Arcopodo, Kalimati. Bagi yang belum (tak) pernah mendaki Semeru, jelas nama-nama ini suplemen bagi wawasan pengetahuan juga.


Pengisahan dan bahasa
Pengisahan dalam novel ini mengalir bagai air: bermula dari ketinggian, sungai, dan memuara di lautan. Tiada aral tak ada pula hambatan. Pembaca seolah dibuai mengikuti air yang mengalir itu. Sejak bab 1 hingga 10, walaupun setiap bab pastilah dimulai oleh kalimat—entah itu berbahasa Indonesia ataupun Inggris. Bagi saya tak ada masalah—kecuali bagian "sepuluh tahun kemudian.. "

Tetapi, nanti dulu, kendati tak ada masalah sebenarnya tak lepas dari masalah. Pertama saya ingin mengatakan pada Donny, bagian "sepuluh tahun kemudian" itu sangat dipaksakan. Kalau pun bagian itu dihilangkan, tak akan membuat nilai plus novel ini berkurang—apatah lagi hilang.

Dengan adanya bagian itu pada Bab 10, 5 cm kembali jadi cair padahal pembaca sudah disuguhkan keasyikan dengan berbagai permainan tokoh, kisah, sikap, dan perenungan. Menjadi cair lainnya, Donny justru ingin membenarkan dugaan-dugaan sementara yang ada dalam benak pembaca. Misalnya kalau Riani tak akan mencintai Genta karena ia sangat menyenangi Zafran. Atau Zafran tak akan jadi dengan Dinda meski adik kembar Arial ini selalu diburu cintanya oleh penyair yang selalu bimbang ini. Begitu pula Arial akhinya akan jadi dengan Indy meskipun awalnya ia males-males nanggapi SMS cewek yang ditemui pertama kali di fitnes. Hanya Ian yang tak diberi gambaran dengan siapa ia akan melabuhkan cintanya, dan Genta yang sepertinya misterius bisa menikah dengan Citra yang sekantor dengan Riani sebab tiada pernah dijelaskan di mana pertama kali mereka berjumpa. Hal yang sama bagaimana bisa Arinda dinikahi Dhenik, fotografer dan pendaki, kalau selama di perjalanan mendaki dan menuruni puncak Mahameru tak sekalipun berdialog.

Begitu pula, usia anak-anak mereka yang nyaris tak bejarak—kecuali anak Dhenik-Arinda—membuat saya bertanya-tanya: apakah ke 5 sahabat itu berdekatan tanggal pernikahannya?

Pengisahan antara Ian dengan komputernya yang selalu setia menemaninya saat-saat merampungkan skripsi yang menghabiskan beberapa halaman, rasanya—menurut saya—berlebihan: apalagi isi dialog (tepatnya: perdebatan) antara Ian dan komputernya tak begitu istimewa. Sayangnya, Donny melakukan “kealfaan” yang sama tatkala mengutip seluruh isi SMS, chatting, percakapan telepon antara Zafran dan Dinda, maupun bisikan jahat dan bisikan baik, serta saat Ian menyebarkan kuiseioner: bagian-bagian ini benar-benar melelahkan.

Lalu soal bahasa yang apa adanya, bahasa pergaulan anak muda, satu sisi bahwa demi menarik minat baca dari kalangan remaja dan masyarakat umum (awam) memanglah bisa dikatakan strategi. Dan itu terbukti: 5 cm. hanya 3 tahun dari terbitan pertama kini sudah cetakan ke 12 (November 2008).

Akan tetapi, jika dicermati dengan menggunakan kacamata berbahasa Indonesia yang baik dan benar, sulit bisa kita harapkan. Kalau untuk dialog, saya kira tak ada masalah. Tak mungkin segenerasi ke 5 mahasiswa itu berbahasa Indonesia berstandard, atau Mas Gembul harus berbahasa layaknya kaum intelektual dan pembaca pidato-pidato. Cuma jika pada narasi, penulis masih menggunakan bahasa anak remaja bahkan untuk suara pun mesti pula diutarakan dalam bentuk tulisan serta masih ditemukan kesalahan tanda baca, apakah mungkin penulis novel 5 cm. belum akrab berbahasa yang baik (dan benar)?

Saya menemukan sejumlah kata “sepilas”, sumpah kalau saya mengerti maksudnya. Saya coba cari dalam kamus (saya memiliki Tesaurus Bahasa Indonesia, Eko Endarmoko, Gramedia, 2006), tapi tidak pula saya dapati kata itu. Setahu saya sekaligus saya akrabi, ialah kata “sekilas”. Mungkin saya yang salah karena keterbatasan pemilihan kata-bahasa saya, karenanya saya mohon maaf dan sudilah Donny berbagi ilmu.


5 cm. dari mimpi dan cita-cita, selebihnya…
Terus terang novel karangan Donny Dhirgantoro ini layak dibaca, walaupun digarap teenlit—artinya novel ini tidak tunduk pada bahasa Indonesia standard (baik dan benar)—dan sebagai novel popular. Novel 5 cm. juga tak berpretensi disebut karya sastra, karena penuh oleh referensi dari banyak pemikiran dan perenungan para tokoh dunia. Donny juga, sepertinya, tak punya pretensi bukunya ini disebut bernapaskan religius (islam), nasionalis, ataupun supaya memeroleh julukan merayakan idealisme yang memang nyaris lenyap dari jiwa masyarakat kita.

Donny hanya ingin, seperti dikatakannya yang saya dapati di google, “Saya tidak akan pernah berhenti dan tidak mau berhenti memberikan yang terbaik bagi 5 cm dan bagi apa saja yang saya lakukan di kehidupan ini setiap hari. Saya akan terus memberikan kehidupan yang terbaik dari diri dan saya tidak akan pernah berhenti….”

Oleh karena itu, barangkali, liwat 5 cm. ini Donny sekadar menanamkan satu benih pengertian bahwa kita harus memunyai mimpi, cita-cita, cinta, dan tekad (keyakinan) menjaganya jika hendak sukses: atau setidaknya bukan sekadar seonggok daging yang bisa berbicara, berjalan, dan punya nama.

Dan 5 cm. adalah sepenggal cita-cita, mimpi, atau keinginan yang harus selalu digantungkan dekat kening. Atau orang bijak memberi nasihat: apa yang diraih sesungguhnya tak jauh dari apa yang dipikirkan. Mengutip 5 cm. Donny dan sekaligus napas sesungguhnya dari novel ini, bahwa “setiap kamu punya mimpi atau keinginan ataupun cita-cita, kamu taruh di sini, di depan kening kamu...jangan menempel. Biarkan dia menggantung.... mengambang... 5 centimeter di depan kening kamu, sehingga ia nggak pernah lepas dari mata kamu.”

Setelah itu, “Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih lama dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas, lapisan tekad yang seribu kali lebih keras dari baja, hati yang akan bekerja lebih keras dari biasanya, serta mulut yang akan selalu berdoa. Dan kamu nggak perlu bukti apakah mimpi-mimpi itu akan terwujud nantinya karena kamu hanya harus mempercayainya.” (362-363)

Akhirnya, apakah ketika langkah kita 5 cm. dari gedung ini menuju pulang, selesai pula mimpi-mimpi, cita-cita, tekad, keinginan-keinginan kita?

• bumi kemiling, ester20, beringinraya: 02.50, 20.11.08


(disampaikan pada Bedah Buku “5 cm.” oleh Pers Kampus PILAR Fakultas Ekonomi Universitas Lampung bekerja sama dengan penerbit Grasindo di Museum Lampung, Jumat 21 November 2008)

15 November 2008

Panen Sastra di Lahan Kering Kritik(us)

Esai Isbedy Setiawan ZS


DUNIA penciptaan karya sastra di Lampung bagai jamur yang tak hanya tumbuh di saat musim hujan. Tak terduga-duga, ada saja “lahir” sastrawan (penyair dan cerpenis) dari daerah ini. Dan, kampus sangat subur memberi lahan lahirnya sastrawan.

Dua kali Peksiminas (Pekan Seni Mahasiswa Nasional)—di Makassar dan Jambi—mengantar mahasiswa Lampung sebagai juara pertama penulisan puisi: Hendri Rosevelt (Makassar) dan Agit Yoga Subandhi (Jambi), Didi Arsyandi sebagai juara kesatu leomba penulisan lakon (drama). Sebelumnya, saat Lampung jadi tuan rumah, penyair Inggit Putria Marga menyabet peringkat pertama.

Tampaknya kampus memberi lahan besar bagi pertumbuhan dunia sastra di daerah ini. Hampir semua sastrawan terkini adalah lahir dari kampus. Sebut saja Inggit Putri Marga (lulusan FP Unila), Jimmy Maruli Alfian (alumnus FH Unila), Ari Pahala Hutabarat (FKIP Unila), M. Arman AZ (Unila), Lupita Lukman (Unila), Hendri Roosevelt (IAIN Radin Intan). Sebelumnya, “trisula penyair Lampung” muncul dari Unila: Iswadi Pratama (FISIP), A.J. Erwin (FE), dan Panji Utama (FP).

Lalu barisan berikut, Anton Kurniawan (Bahasa Inggris Bahasa dan Seni FKIP), Dyah Merta (Bahasa dan Sastra Unila), Fitri Yani (FKIP Unila), Arya Winanda (alumni FP), Yessi F. Sinubulan (FE), Didid Arsyandi (Fak MIPA Biologi), dan Agit Yoga Subandhi (FH Unila).

Jamur yang tumbuh tak hanya di saat musim hujan itu, layaknya Lampung memiliki bibit unggul yang baik dan pupuk berkelas wahid. Karena itu, seakan bicara soal sastra Indonesia belum dikatakan lengkap apabila tak menyertakan sastrawan Lampung.

Seorang Nirwan Dewanto menyebut Lampung sebagai Negeri Penyair, sementara F. Rahardi mengklaim daerah ini sebagai “lumbung puisi” dan yang bisa mengalahkan atau menyamainya hanya Bali, Yogya, dan Jatim. Bukti nyata tak pernah ditinggalkan, hampir setiap kegiatan sastra di Tanah Air pasti sastrawan Lampung diundang.

Ada dua kata atau sebutan yang menarik dibincangkan dalam kesempatan ini: “negeri penyair” dan “lumbung puisi” yang di lontarkan kedua pengamat/kritikus sastra tersebut.

Barangkali, bicara kuantitas, Lampung terbanyak dibanding daerah-daerah lain. Memang kuantitas tidak harus sesanding dengan kualitas.
Leksikon Seniman Lampung (DKL-Logung Yogya, 2005), misalnya, menyebut tidak kurang dari 36 sastrawan Lampung.

Media masa lokal dan nasional, tiap pekan di isi oleh karya sastrawan Lampung. Lampung Post, satu-satunya media yang menyediakan halaman sastra dengan honorarium yang lumayan, kerap dibanjiri karya-karya sastrawan daerah di samping penulis sastra dari luar.

Saya melihat Lampung Post masih objektif menempatkan sastrawan Lampung dengan dari luar. Kalaupun karya sastrawan daerah ini memang belum layak, Lampost akan menurunkan karya dari sastrawan luar.

Kompetitif ini membangkitkan semangat para sastrawan Lampung untuk terus melahirkan karya sastra terbaiknya. Memang, dalam dunia sastra, kualitas karya lebih utama daripada nama seseorang. Sastrawan baru muncul tidak sertamerta takut dengan sastrawan yang jam terbangnya lebih dulu. Sastrawan senior juga, suatu masa, bisa melahirkan karya lebih buruk dibanding yang baru muncul.

Kompetitif tersebut, sayangnya, hanya ditentukan oleh satu tangan: redaktur media massa. Sehingga redaktur, akhir-akhir ini, bertugas sebagai kritikus pertama sebelum sampai ke hadapan pembaca. Karena ia penentu dimuat atau dibuang ke tong sampah.

Tugas “kritikus media” memang tak punya pertanggungjawaban di atas kertas di hadapan pembaca (audiens). Ia bertanggung jawab hanya kepada karya, dan mungkin kepada redaktur pelaksana/pemimpin redaksi, selebihnya tidak lagi dituntut.

Tugas redaktur memang berbeda dengan tugas kritikus. Pertanggungjawabannya juga sangat berbeda. Dan, dunia sastra Indonesia, setelah ditinggalkan H.B. Jassin tak lagi punya kritikus sastra. Kalaupun dianggap ada, hanya berapa gelintir? Sebut saja Dami N. Toda, Faruk HT, Suminto A. Sayuti, Maman S. Mahayana, Melani Budianta, Sunu Wasono tidak begitu aktif menulis kritik sastra. Sementara nama lain, antaralain Nirwan Dewanto, F. Rahardi, Hasif Amini, Joko Pinurbo, Bandung Mawardi bagai sepintas lalu menggeluti kritik sastra.

Karena itu, melimpahnya karya sastra di Tanah Air tak sebanding dengan telaah kritik sastra. Minimnya kritikus sastra, membuat karya sastra (cerpen dan puisi) seperti berjalan tanpa rambu. Pembaca meraba dalam memasuki sebuah karya sastra. Apresiasi semacam ini bukan saja makin menjauhkan pembaca kepada sastra atau karya sastra kehilangan identitas di mata pembaca, melainkan karya sastra tak pernah booming di masyarakat.

Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri tak akan bisa dinikmati seperti saat ini jika saja Dami N. Toda tidak menelaah secara mendalam. Atau puisi-puisi Chairil Anwar tak akan sepopular sekarang sekiranya H.B. Jassin tak serius menelaah, atau Areif Budiman masuk ke dalam “pertemuannya” dengan puisi-puisi si “penyair binatang jalang” itu. Begitu seterusnya, termasuk puisi-puisi Afrizal Malna, Joko Pinrubo, dan lainnya.

Ranah sastra Indonesia memang kehilangan kritikus sastra. Nasib sama juga menimpa dunia sastra di Lampung. Bagaimana tidak aneh, daerah ini cukup banyak sastrawan namun tak ada sama sekali kritikus sastra. Di Lampung, ibarat panen sastra (justru) di lahan kering kritik(us).

Semula saya berharap banyak pada Asarpin dan Damanhuri yang kerap memasuki wilayah kritik sastra. Tetapi, kedua penulis ini—alumnus IAIN Radin Intan—tidak ansich dan “sepenuh hati” menyiapkan diri sebagai kritikus sastra. Tulisan-tulisannya (esainya) lebih banyak bicara persoalan sastra dan tak masuk ke teks sastra, baik sebagai apresiasi ataupun penelaahan mendalam Kedua esais (kolomnis) tersebut, bahkan acap mengapresiasi karya sastra berdasar tema-tema tertentu. Sehingga sastra tak lagi punya otonomi dan multidimensional.

Memang tak ada salahnya. Tetapi, sastra hanya bisa bicara satu dimensi. Otonomi sastra terpecah ke dalam wilayah-wilayah pembicaraan yang diingini penelaaah. Sementara sastra, galibnya memiliki multiinterpretasi akhirnya menjadi bermakna tunggal.

Selain kedua esais tersebut, sebenarnya bisa berharap banyak dan apalagi secara keilmuan sangatlah kredibel, misalnya Oyos Saroso H.N., Ari Pahala Hutabarat, Iswadi Pratama, dan M. Arman A.Z. (cerpenis). Sayangnya, mereka juga kreator sastra, sehingga dikhawatirkan subyektivitasnya terganggu. Kesibukan mereka sebagai penulis karya sastra saja amatlah menyita, bagaimana bisa memiliki waktu untuk menelaah.

Itulah sebabnya, nama-nama terakhir ini lebih banyak terlihat sebagai penyair dan cerpenis, tinimbang kritikus sastra. Oyos Saroso malah disibukkan oleh profesi jurnalis di The Jakarta Post. Sedangkan Iswadi Pratama dan Ari Pahala Hutabarat, keluar masuk di dalam dua kamar: sastra dan teater.

Dari persoalan yang cenderung dilematis itu, sementara karya sastra (tetap) membutuhkan kritik—setidaknya memberi apresiasi antara karya kepada pembaca—dan dunia sastra di Lampung terbentur oleh minim (tepatnya tidak ada) kritukus sastra. Dengan demikian, membanjirnya karya sastra tak diimbangi oleh kritik sastra yang memadai pula.

Bisa kita lihat, hanya berapa kritik sastra yang masuk ke meja redaktur media di daerah ini—taruhlah Lampun Post—jika dibandingkan dengan karya cerpen dan puisi yang diterima? Dan, berapa kritik sastra yang benar-benar mengkritisi karya sastra yang termuat di Lampung Post sebulan saja?

Esai yang muncul tidak substansial mengkritisi karya sastra, oleh karena itu sulit digolongkan sebagai karya kritik sastra. Bahkan yang muncul justru acap tidak membicarakan karya sastra, melainkan persoalan kesenian di luar kesenian. Istilah ini, pernah popular dengan sebutan “merumpi di dunia kesenian (sastra)”.

Saya dan teman-teman “redaktur tamu” Sastra Milik Siswa (SMS) di tabloid remaja Warna kerja sama dengan Kantor Bahasa Provinsi Lampung kerap kesulitan mencari pembahas (kritikus) karya sastra siswa SMA itu. Sehingga harus berputar para pembahas yang ada.

Padahal daerah ini punya FIKP yang memiliki jurusan Bahasa dan Sastra, juga ada jurusan Sastra Inggris (Teknokrat), dan Bahasa dan Sastra (STKIP). Namun alangkah sulitnya mendapati kritikus sastra, dan nama-nama yang dulunya sangat dekat dan pernah menulis kritik seperti Kahfi Nazaruddin, M. Fuad, Edi Suyanto (pengajar di Bahasa dan Sastra FKIP Unila) ataupun Sutjipto tidak lagi terlihat kritik (sastra)nya. Apatah lagi berharap dari mahasiswa dan pengajar Teknokrat dan STIKP, ibarat “menunggu godot”.

Sayang memang, mengapa kritikus sastra tak bisa lahir di lahan subur kepenyairan Lampung? Mengapa “negeri penyair” atau “lumbung puisi” namun tak mampu menumbuhkan kritikusnya? Apakah kritikus sastra tak diperlukan, ketika karya sastra sudah menjamur? Padahal suburnya lahan menanam padi, tak sertamerta pupuk tak lagi dibutuhkan?

Mengamati media yang membuka rubrik sastra seperti Lampung Post, kiranya lahan kritik masih terbuka lebar dan ini menjadi peluang berharga bagi—seharusnya—mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra (Seni) FKIP dan perguruan tinggi lain. Karena selama ini belum pernah ada, lalu apa yang dilakukan mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra kita?

Jangan sampai FKIP, STKIP, ataupun Teknokrat yang mempunyai jurusan Bahasa dan Sastra cuma untuk melahirkan pendidik yang tampaknya pandai bersastra jika di depan kelas (siswa). Itu pun sebatas periodesasi dan teoritis. Karya sastra dilihat dengan menggunakan kacamata kuda. Pilihan ganda untuk menelaah karya sastra, dan bukan bagaimana menarasikan apa yang dirasa dari hasil tasfir sebuah karya sastra.

Mahasiswa Bahasa dan Sastra (FKIP/STKIP) bukanlah “kecelakaan” sebab tak mampu atau tak diterima di fakultas lain. Begitu pula sarjana sastra (SS) tak lebih rendah dengan sarjana-sarjana (ilmu) lainnya. Sebab kalau begitu, taklah mungkin Taufiq Ismail, Asrul Sani (dokter hewan), Putu Wijaya (SH), Nirwan Dewanto (insinyur), Jimmy Maruli Alfian (SH), Inggit Putria Marga (SP), Iswadi Pratama (FISIP) menjadi sastrawan.

Lalu, mengapa mahasiswa Bahasa dan Sastra (termasuk pengajar, berarti lebih mumpuni) dan sarjana sastra, justru menjauh dari dunia sastra dan kadang tak nyambung membicarakan sastra? Kesalahannya di mana?*


Kemiling, 3110.08




*)
Tulisan ini dari bahan bincang untuk mahasiswa baru jurusan Bahasa dan Sastra (Seni) FKIP Universitas Lampung, 1 November 2008.


Kesenian Pasca Pilgub,

GK 16 Tahun Kemudian

Oleh Isbedy Stiawan ZS


Sejauh mana pemerintah (daerah) punya kepedulian terhadap kehidupan (apalagi pengembangan) kesenian dan kebudayaan? Jangan-jangan kesenian (kebudayaan) cuma diperhatikan dan diberdayakan saat kekuasaan membutuhkan, sebagaimana Lekra menjadi kekuatan lain di bawah pentas politik (PKI) era 1960-an.
------------

SUDAH keliwat capek Dewan Kesenian Lampung (DKL) berpindah-pindah gedung (sekretariat). Layaknya kucing beranak, layaknya keluarga yang tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak 1993 harus berpindah-pindah dan mengangkut barang dari satu gedung ke gedung lainnya: (tepatnya) mengikuti arah dan kehendak pemerintah (daerah).

Gedung Kesenian (GK) yang dijanjikan Gubernur Lampung—saat itu Poedjono Pranyoto—pada pengukuhan pengurus DKL pada 1993 akan dibangun bagi pengembangan dan kemajuan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung tidak juga terealisasi sekaligus menjadi “utang budaya” Pemprov Lampung. Meski begitu, kepemimpinan Poedjono tergolong apresiatif bagi kesenian (dan kebudayaan) di daerah ini, utamanya membuka “kran” di bantuan rutin APBD.

Akan tetapi, (nasib) DKL kian miris seiring BE 1 ditinggalkan Poedjono Pranyoto. Sempat beberapa tahun DKL tak mememeroleh anggaran APBD pada kepemimpinan Oemarsono. Bahkan, suhu politik para elit di Lampung mengimbas ke DKL. Kala itu sejumlah “orang penting DKL” ikut bermain dalam kancah perpeolitikan dengan membuat pernyataan dukungan pada Ketua Umum DKL (alm. Herwan Ahmad) yang mau berlaga di Pilgub. Entah karena “perintah Oe”, yang jelas anggaran DKL di APBD saat itu nyaris ditahan. Kemudian tahun berikut dan Oe tak lagi menduduki BE 1, DKL hanya dikucurkan sekitar Rp50 juta di APBD.

Persoalan “utang budaya” Pemprov Lampung untuk membangun GK seakan dilupakan. DKL tetap sebagai partner pemda, sedangkan pemprov “sekadarnya” mengapresiasinya. Tiada tanda niat baik pemda untuk membangun GK yang sangat dinanti para seniman (dan budayawan) di Lampung. Padahal, dari ranah senibudaya tingkat nasional, Lampung sudah berbicara dan mencatat prestasi tak memalukan. Lalu mengapa GK saja, Lampung tidak (belum) memiliki?

Politik pasca Pilgub waktu itu dengan tidak dilantiknya M. Alzier Dianis Thabrani yang terpilih sebagai Gubernur ibarat “prahara” dalam perpolitikan di Lampung. Pemilihan ulang pun digelar: kemudian kita tahu Sjahroedin ZP berpasangan dengan Syamsurya Ryacudu terpilih. Selanjutnya dilantik melalui keputusan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Awal kepemimpinan Sjahroedin ZP, terus terang, saya ragu pada apresiasinya bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan (di) Lampung. Kebimbangan saya sederhana saja: Sjahroedin dari kepolisian, waktunya banyak di luar Lampung sehingga (mungkin) spirit(ual)nya pada senibudaya Lampung akan berjarak—walau ia terlibat di Lampung Sai tapi belum cukup meyakinkan. Keraguan saya kiranya dibuktikannya: DKL harus meninggalkan sekretariatnya di wisma atlit milik KONI Lampung, dan meminjam ruang pameran Taman Budaya Lampung (TBL).

Kebijakan Pemprov Lampung yang saya tengara mengecilkan arti DKL memicu polemik cukup panjang di harian Lampung Post waktu itu. Barangkali saya salah satu dari para seniman Lampung “bersuara kencang” menolak sekretariat DKL hengkang dari wisma atlit di Pahoman. Mendengar “teriakan” para seniman, Sjahroedin bukannya berang atau menutup sama sekali ruang kiprah DKL dan seniman Lampung.

Pada acara peluncuran dan pelelangan buku kumpulan karya-karya para korban gempa Aceh di Balaikeratun, Sjahroedin mengeluarkan statemen yang mengagetkan sekaligus menggembirakan seniman (budayawan) Lampung. Masih dalam ingatan saya, ia mengatakan bukan mengusir DKL dari Pahoman melainkan karena gedung itu adalah milik KONI. Ia berjanji akan membangun gedung sekretariat DKL sekaligus gedung pertunjukan (pentas, pameran) seni. “Kalau pun harus sekarang, saya siap meletakkan batu pertama pembangunan,” ia menantang. Sjahroedin menunjuk lahan kosong di Kompleks PKOR/LKDL Wayhalim.

Dari sini saya, tentu dengan sangat hati-hati, “membaca” visi-misi Sjahroedin bagi pengembangan dan kemajuan dunia senibudaya (di) Lampung. Terasa lagi manakala ia memimpin langsung para penyimbang adat (MPAL) dengan melibatkan pengurus (seniman) DKL beranjangsana-budaya ke Cirebon dan Banten. Di dalam perjalanan Lampung-Cirebon-Banten-Lampung kian mengukuhkan keyakinan saya bahwa “janji” membangun gedung kesenian dan sekretariat DKL tak lama lagi jadi kenyataan.

Sayang seribu sayang, harapan dan impinan para seniman untuk memiliki gedung kesenian terhalang oleh pemilihan langsung Gubernur Lampung yang dilaksanakan 3 September 2008 lalu. Saat diwawancarai salah satu media cetak Lampung pada 2007 soal pembangunan GK, saya katakan, kalau Sjahroedin benar-benar mau mewujudkannya jangan sampai 2008. Alasannya, fokusnya bukan lagi pada pembangunan GK melainkan persiapan, penggalangan, lalu masuk kampanye untuk memenangkan Pilgub 2008.

Maaf beribu maaf, asumsi saya itu meleset. Sejak 3 bulan lalu, di depan sekretariat DKL sekarang yakni di lahan kosong yang dijanjikan telah dimulai pekerjaan pembangunan Gedung Kesenian Lampung berikut sekretariat DKL yang refresentatif. Tanpa seremoni diiringi peletakan batu pertama oleh Gubernur Lampung, yang sejatinya bisa saja dilakukan Sjahroedin untuk mendapatkan simpati dari para seniman dan budayawan Lampung dalam rangka Pilgub 2008. Aneh pula, Atu Ayi—Ketua Umum DKL—baru tahu setelah mendapat laporan dari staf DKL.

Dari ruang tamu atau teras DKL, kini saya bisa menatap bagaimana kesibukan para pekerja membangun GK Lampung. Mungkin saja saat memandang itu pernah pula mengangan-angankan tegak dan megahnya GK tersebut, sebagaimana tergambar dalam bingkai foto dan cukup lama dipajang di dinding sekretariat DKL. Saya membayangkan berlangsungnya berbagai kesenian dan pameran senirupa terjadwal di gedung itu. Para seniman (budayawan) Lampung dan luar serta mancanegara berpacu-padu mempertunjukkan karya terbaiknya.

Impian adanya Gedung Kesenian Lampung terwujud 16 tahun kemudian, memang, bukan waktu yang cepat—bahkan teramat lama. Tetapi, tiada kata terlambat daripada tidak berbuat sama sekali. Mungkin kalimat ini belum cukup tepat untuk menggambarkan betapa panjangnya penantian para seniman bagi terwujudnya Gedung Kesenian, dan bagi pemda sendiri merupakan “pelunasan utang budaya” yang akan bermakna besar dan bersejarah bagi kehidupan serta pengembangan senibudaya di daerah ini.

Adalah (di tangan) Sjahroedin pula (bisa) diselesaikan. Ini juga penanda bahwa putra mantan Gubernur Lampung (alm) Zainal Abidin Pagaralam itu, telah menoreh sejarah yang tak akan pernah dilupakan. Sebagaimana Ali Sadikin yang “menyulap kebun binatang” di Cikini Jakarta menjadi Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) telah menyejarah bagi peradaban senibudaya di Tanah Air.

Pembangunan GK di PKOR Wayhalim menegaskan pula tak perlu lagi rencana pemusatan kegiatan senibudaya di kawasan Kemiling dengan mengorbankan GOR Saburai yang sempat menuai polemik.. Untuk ke depan dan selamanya, saya berharap, soal ruislag GOR Saburai jangan digulirkan lagi. Alasannya, kebijakan tersebut tidak populis: pemda akan menuai protes sebagai biang pelenyapan ikon (penanda) suatu kota. Apatah lagi GOR Saburai sudah tersohor sebagai ruang hijau publik, justru manakala Bandar Lampung sudah kehabisan ruang terbuka sebab pembangunan besar-besaran tapi tak juga mengindahkan tata ruang kota.

Meski gonjang-ganjing para elit politik pasca-Pilgub 2008 yang bukan tak mungkin terganggunya hasil pemilihan, jangan sampai roda pemerintahan (di dalamnya rencana pembangunan 5 tahun ke depan) menjadi stagnan. Kini ke enam pasang kandidat Pilgub berjamaah menolak hasil Pilgub 2008 karena ditengara cacat hukum, ditambah pernyataan yang memasalahkan pencairan dana mantan Gubenur Lampung sehari setelah Syamsurya Ryacudu dilantik sebagai gubernur yang baru (Lampung Post, Rabu 10 September 2008). Jangan sampai pertarungan antara yang kalah dan menang dalam laga Pilgub 2008 berbuntut ke para legislatif, misalnya turut berenang di air keruh politik atau menjadi steru legislatif-eksekutif parth two.

Karena itu memanasnya suhu politik di kalangan elit di Lampung itu, tidak lantas sampai mengimbas—terutama—pada pengembangan kehidupan berkesenian (kebudayaan pada umumnya) di daerah ini. Betapa pun, kita mahfum, kesenian (kebudayaan) tidak mengarus ataupun memuara pada suhu perpolitikan. Kesenian dan kebudayaan berada dalam wilayah sendiri yang diharapkan steril, dan politik akan (selalu) memengaruhi berbagai bidang—boleh jadi, termasuk, membayangi kesenian-kebudayaan.

Di sinilah saya tetap yakin bahwa seniman (budayawan) tak perlu cemas pada “tirani” politik. Tentu seniman tidak lalu apolitik (antipolitik) atau jadi anomali di ranah politik, melainkan keterlibatan seniman (dan karya seni) sebagai pencerah(an) sekiranya politik(us) tampak pekat. Meminjam pendapat mantan Presiden Amerika John F. Kennedy, jika politik kotor maka seni yang mensucikan; dan bukan sebaliknya kesenian (seniman) ikut berlumur lumpur. Cukuplah sejarah kelabu yang dilakukan sebagian seniman Indonesia yang tergabung dalam Lekra untuk menggerakkan arus dari dalam partai komunis Indonesia (PKI). Akibat terlalu jauh keterlibatan seniman dalam panggung politik—kendati berpolitik bagi seniman tidak haram—netralitasnya bisa terusik.

Berpijak pada hasil quick count dan mungkin saja tak mencolok bedanya dari hasil penghitungan manual oleh KPU Lampung, Sjahroedin akan kembali memimpin Lampung periode 2009-2014. Dengan begitu, pengembangan dan kemajuan kesenian (kebudayaan) di Lampung memuara di tampuk Udin-Joko.

Tidak berlebihan—apalagi muluk-muluk—sudah saatnya, musim cerah bagi kesenian dan kebudayaan (di) Lampung yang telah dinanti 16 tahun lamanya diharap bukan lagi mimpi di siang hari. Meskipun dalam visi-misi jelang Pilgub 2008 lalu ihwal kebudayaan tidak tercanangkan oleh pasangan Udin-Joko (termasuk 6 pasang kandidat lainnya), tapi mencermati keseriusan Sjahroedin membangun dan mengembangkan senibudaya di daerah sudah terasa.

Tinggal lagi ke depan, maukah ia memberdayakan kedua organisasi tersebut, MPAL dan DKL, sebagai fasilitator dan katalisator sekaligus mitra pemda di bidang masing-masing (adat/budaya dan seni). Pemberdayaan bagi kedua organisasi adat dan kesenian yang diakui sebagai mitra pemerintah, bukan lantas sebagai pedati kelanggengan jabatan. Kalau ini terjadi, pemerintah telah memperdayakan kebudayaan!

Memberdayakan yang saya maksud di sini, ialah bagaimana menyediakan ruang kreativitas yang cerdas seluas-luasnya pada seniman-budayawan: memberi ruang bagi munculnya pemikiran ihwal pengembangan senibudaya yang akan dijadikan acuan renstra pemerintah. Misalnya, memberi masukan (saran) pada pemda betapa pentingnya pengenalan apresiasi senibudaya di tingkat pendidikan menengah (SMA), sehingga tak terlanjur subdin kebudayaan dihilangkan dari struktur Dinas Pendidikan. Ataupun bersama instansi terkait melakukan penelitian dan penggalian potensi senibudaya leluhur yang masih maupun nyaris dilupakan masyarakat setempat untuk dihidupkan kembali serta dijaga keasliannya jika penting.

Mengawali 5 tahun ke depan kepemimpinan Sjahroedin-Joko Umar Said dan 16 tahun terbentuknya DKL serta beberapa tahun MPAL, diharapkan sejarah makin ditancapkan: berdirinya Gedung Kesenian Lampung. Selanjutnya, akankah kehidupan senibudaya tetap dijamin kelaknya? Mari kita tunggu, sebab bola belum dilambungkan roda belum digelindingkan.*