Anjing Dini Hari
terbangun tengah malam, aku sudah menjadi anjing
termangu di teras rumah menunggu ayahku pulang
dari klubmalam bersama perempuan jalang
menabur uang
yang didapatnya dari
menjarah milik negara
berwaktu-waktu kutunggu, ayah yang juga majikanku
saat aku jadi anjing, tak juga pulang
ibuku, yang juga tuan putriku, hanya bisa menangis
karena menyesal bersuami seperti ayah
padahal, seperti cerita ibu, kuketahui kalau
ibu pernah dicintai pemuda sastri
namun ibu yang tak suka pemuda alim
dan keluarga ibu amat mencintai harta
akhirnya ibu menjauhi pemuda santri,
dan pemuda alim itu lalu
menyunting perawan pondok. kini, seperti cerita ibu,
mereka bahagia mengelola pondok dan hidupnya
juga cukup kaya
ibu masih menitikkan airmata di ruang tamu
menunggu ayah pulang,
namun hingga kini tak ada tanda ayah akan
ingat rumah, apalagi dengan ibu
aku pun iba pada ibu. hingga berangku pada ayah semakin kuat
aku janji dalam hati, jika melihat ayah menginjak teras ini
setelah memasukkan mobil di garasi
segera aku menyalak, gigigigiku kian runcing, lidahku penuh liur menjulur
dan siap menerkam ayahku: menggonggong
di tengah malam pekat
tubuh ayah akan kucabik-cabik dengan kukuku, gigiku,
dan tubuhku yang sudah beringas
tubuh ayah yang telah moyak, lalu kuseret dengan
menggigit pakaiannya yang juga sudah sobek
kutarik tubuh ayah di jurang atau belantara hutan
kuingin tubuh ayah yang berdarah segera
menggiurkan hewan liar
lain untuk menghabisinya
(tapi ketika kuceritakan lamunanku ini,
ibu justru memarahaiku, ia berang padaku.
ibu berujar, "dia tetap ayahmu, tak akan pernah bisa diubah
atau tergantikan. dia juga suami ibu sampai kapanpun,
kecuali kami bercerai. Meskipun dia juga anjing. Bapaknya anjing!")
entah kenapa, dendamku pada ayahku
tak juga padam
meski nasihat ibu kudengar berkali-kali...
*
Ibu menciptakan sungai di kedua pipinya. setiap malam
ia menggali airmata dari sumur kekecewaan
kepada ayah yang tak henti menyakiti
dan aku dikutuk jadi anjing setiap dini hari
menjaga kedatangan ayah di teras
memandang bengis wajah ayah yang kulihat serupa badak
terasa kami saling bermusuhan: meski sulit seekor anjing dapat
mengalahan badak, namun ayah tak mungkin sekali hentak
bisa melumpuhkan aku
aku pun membenci ayah. ingin mencabiknya jika lengah
sebagai tanda aku mengasihi bunda
tapi ibu melarangku. ia tak ingin darah tumpah di rumah kami
walau setiap malam sebenarnya darah ibu
sudah menggenangi lantai rumah:
darah yang membeku
itulah yang membuat ibu tak punya lagi gairah
melayani badak tua, walau ayah masih
menarik. dan ibu tetap menggairahkan
"jka kau masih punya niat mencabik ayah,
sebaiknya tinggalkan ibu sendiri. kuikhlaskan kau
merantau dari rumah ini, karena cinta ibu pada ayah
tak akan terhapus oleh
apa pun," kata ibu
lalu aku hanya menjulurkan lidah, dan liurku semakin deras
menetes
nafasku sengal. degup jantungku berpacu
kencang. tapi aku tak punya mangsa, selain mencabik tubuh badak
musuhku di dunia ini hanyalah ayah
kucari ayah lengah. kuingin ayah terluka dalam cabikku
tanpa ibu tahu. itulah hadiah kasih sayangku
kepada ibu. balas budku pada rahim ibu menyimpanku sembilan bulan
tapi niatku diketahui ibu. dia pun tak jemu menasihatiku agar
menjaga ayah. "sebab ia suami ibu, karena dia ayahmu!"
kalau tidak? ibu membolehkan aku membunuhnya. tapi, kalau ayah adalah sumi ibu tak mungkin
dia menyakiti rusuk kirinya sendiri
karena itu, dalam pikiranku, ayah bukanlah suami ibu. ia telah menyakiti hati ibu
dan siapa pun berani melukai hati ibu,
harus berhadapan denganku
ibu separuh dari nafasku. tali ariariku pernah terikat di rahimnya
air tubaku sempat membasahi paha ibu
dan ibu hampir mati ketika
melepasku dari rahimnya
lalu kenapa tak juga kucabik-cabik tubuh ayah?
jkt 281009; 00.38
Ruang Tunggu
CATAT kembali nama dan alamatku, juga jika penting tanggal
dan tahun kelahiranku, sebelum aku jauh darimu
lalu ingatlah segala kenangan juga jam keberangkatan
karena itulah waktu akhir tangan kita berjabat
sebagai perpisahan:
--sementara?--
tanyamu cemas
aku pun mulai dirundung gelisah
tapi bukan karena perpisahan,
aku hanya mencoba untuk merka apakah kepergianku ini
menuju pertemuan
kembali?
branti, 271009
Sunyi Rumah
jika hujan ini berhenti, tanganku akan menjelma sayap
rambutku yang panjang kukepak sebagai jubah:
aku pun terbang menuju asal air
memetik setiap rintik lalu kepersembahkan
padamu sebagai mahar
dan aku ikrarkan muakad, kalimat pertama adam
ketika menyunting hawa
di bumi amat luas ini
setelah berabad mencari karena
dipisah oleh satu kutukan
sebagaimana adam yang berikrar akan
selalu menuntun hawa menuju rumah selain di surga,
aku pun akan mengajakmu membangun kembali
rumah yang telah diruntuhkan bencana
di bumi luas ini
setiap adam akan bersusah menegakkan rumah
dan hawa untuk mendiaminya
begitulah kisah dinukil dalam kitab
lalu, jika kuetumekan selalu sunyi rumah
apakah aku harus mengeluh?
261009
Tangismu Lahir dari Airmataku
sepenggal bulan menggantung di langit berkabut
bayang buram di tanah sisa hujan: bermain-main dengan wajahku
yang tetap memancar senyum
di malam yang hanya tersisa dari lampu yang rutin mati
tak kulihat lagi wajhmu yang selama ini muram
atau memancar api
di tiap detak nafasku
di tikar ini, sebagaimana paderi, aku berikrar: kini langkahmu
adalah kakiku, lidahmu ialah ucapku, pandangmu hanyalah mataku
tanganmu sebagaimana genggamanku
: tangismu lahir dari airmataku
sedang tawaku pancaran dari riangmu
251009
Di Bawah Lampion: Solaria
di bawah lampion, kita bersitatap. matamu dan mataku menyatu
bibirmu dan bibirku berdekap dalam cakap
tentang cahaya yang jatuh tepat di pipimu
seperti siluet jalan panjang menuju pembaringan
ingatlah selalu akan ahad, dimana tanganku dijabat
dan mengikrar satu akad;
iktikad sejalan menghitung tiap denyut waktu
kini kau sayapku dan aku kepakmu
bersama-sama di bawah hujan dan matahari berkelebat
atau lampion itu menjadi penunjuk arah
di mana kita lelapkan segala resah
solaria, solaria
kita bersua dalam bahagia dan luka
airmata dan tawa...
251009; 16.21
Menyiapkan Musim
maka laut yang pernah jadi daratan lalu kembali dan menenggelamkan satu kaum
kini jadi titiaku menyeberangimu saat hari mengukir ahad
dan aku berucap akad
hingga wajahmu benar-benar melekat
sangat dekat
mengukir jalan baru yang sebelumnya tak pernah kau tahu
--berbaju koko, beraun gamis dan kerudung--
kau pun melangkah. dituntun menaiki anak tangga kebahagiaan
"jangan turunkan aku dari ketinggian ini, liwat anak tangga yang sama," bisikmu
sebab di luar ini, cuaca selalu tidak menentu
bumi sudah ramai penghuni hingga saling berebut
saling menuntut!
"aku akan kalah. pasti sengsara," katamu lagi
di singgasana taman ini, kita akan siapkan panen
menyempurnakan musim musim
231009; 23.52
Peristiwa Lain tentang Laut
kenapa selalu kau menyebutku lalut, sedang aku cumalah air terhampar
menyilakan kapal-kapal berlayar mencari bandar
ataupun pada akhirnya terdampar
--tenggelam?--
mestinya kau tidak memanggilku laut, karen adaku tak pula kuketahui
: apakah aku danau, kolam, atau...?
hingga akhirnya musa membelah jadi dua bagian
lalu si laknat yang datang kemudian terjepit setelah titian itu kembali pecah
oleh satu pukulan tongkat. jadilah daratan, kembalilah ke asal!
apakah asalku adalah gelombang sehingga kau selalu menyapaku laut
mungkin pula aku daratan lalu banjir dari
alangkah rindu aku pada genangan, banjir bandang
atau kota-kota yang dijungkirbalikkan
agar aku jadi peristiwa lagi, seperti telah kau ceritakan
turun temurun
di nukil dalam kitab-kitab yang mungkin bisa kautinggalkan di lemari
akankah musa datang lagi dan menghentakkan tongkatnya ke tubuhku
agar para laknat terkubur dalam jiwaku
bahkan kuinginkan nuh membikin kapal lain sebelum banjir,
kemudian aku pun ikut menghanyutkan
jadi tak bertanda:
di antara gunung-gunung, kapal-kapal, angin yang menggulung
aku pun jadi hidup bersama gelombang, topan, dan ancaman
untuk kau tandai
sebagai rahasia
betapa maut dan hidup sejalan dalam denyutku
ss, 191009; 14.02
Aku Ikan di Kolam
kolam di belakang rumah yang dulu kulihat jelas tanahnya
mulai menampung segala air mataku
dan ikan-ikan dari potongan tulangku
tengah mencari kenikmatan lain
seraya menunggu kau pancing
akulah ikan itu kini
menggelepar di kolam yang kering oleh musim panas panjang
dan sebagai ikan, siripku menggapai
mulutku mengucap-ucap
meski tak kutahu apakah doa atau serapah
di kolam belakang rumah, aku jadi ikan
menunggu musim berganti dan peri mencabut kutukan!
141009: 02.20
************
Isbedy Stiawan ZS lahir dan besar di Tanjungkarang-Lampung. Menjadi dunia sastra sebagai profesi guna menunjang hidup keluarganya sehari-hari. Selain menulis puisi, dia juga menulis cerpen, esai, dan menulis untuk apresiasi dan workshop penulisan karya sastra. Sejumlah karyanya terdokumentasi dalam sejumlah buku cerpen dan puisi yang diterbitkan oleh penerbit sekelas Gramedia hingga Bukupop.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar