**Catatan dari PPN 3 di Malaysia
Oleh Isbedy Stiawan ZS
Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) ke 3 yang ditaja Persatuan Penulis Nasional (Pena) Malayssia berlangsung di Dewan Bahasa dan Pustaka Kualalumpur, 20-22 November 2009. Diikuti para penyair dan akademisi dari Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei, dan Thailand menampilkan sejumlah kertas kerja serta pembacaan puisi di dua tempat: Menara Kualumpur dan Rumah Pena.
PPN 3 menyorong tema “Puisi Suara Kemanusiaan” dengan pembicara kunci (ucap utama) sastrawan negara Prof Dr Muhammad Haji Salleh yang tampil pada jam dan hari pertama. Tidak salah memang jika panitia memilih sastrawan negara ini untuk tampil sebagai pembicara kunci dalam perhelatan sastrawan Nusantara kali ini.
Ada yang menarik dan perlu kita cemrati bersama dari pernyataan Muhammad Haji Salleh. Dia menegaskan bahwa bangsa yang besar tidak mengabaikan sastra. Bahkan, dia melanjutkan, bangsa yang besar selalu menghargai karya sastra (dan sastrawannya). Dia menunjukkan contoh beberapa negara besar yang peduli terhadap kehidupan sastra, di antaranya Inggris, Uni Soviet (kini Rusia), Amerika, dan jazirah Arab, juga Jepang.
Hal ini pula yang tengah dirintis oleh Malaysia. Di negeri jiran itu, betapa sastra menjadi “kesayangan” negara. Penghargaan yang diberikan negara terhadap sastra terbukti dari mudahnya penerbitakan karya-karya sastra melalui Dewann Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia. DBP juga menerbitkan sejumlah majalah sastra dan budaya, bahkan bagi sastrawan muda dan pembaca sastra kalangan remaja ada majalah tersendiri.
Malaysia juga menghargai para sastrawannya dengan anugerah “Sastrawan Negara” di mana mereka mendapat tanggungan dari pemerintah dan berbagai fasilitas lain. Meski secara realitas, sastrawan Malaysia maish jauh keberhasilannya dibanding dengan sastrawan Indonesia. Tetapi setidaknya, dengan bebragai failitas penghargaan yang diterima sastrawan dari negara, semakin memacu mereka untuk sejajar dengan sastrawan tetangga lain.
Muhammad Haji Salleh juga menyarankan agar sastrawan mampu mengolah imajinasi dan tema secara seirus. Menurut dia, puisi bukan hanya barisan kata. Tetapi, dengan kata lain, bagaimana penyair mampu mengolah bahasa yang ada menjadi kalimat yang memiliki kekuatan puitik, metafora, dan gagasan besar bagi kemanusiaan. Tentang ini saya teringan dengan pernyataan penyair peraih Nobel Pazz, puisi adalah suara (lain) kemanusiaan. Artinya, puisi tak sekadar mengangkat realitas, melainkan menuangkan yang ada di balik realitas tersebut.
Sebab, kalau boleh saya mendedah apa yang diinginkan sastrawan negara Muhammad Haji Salleh, sastra yang baik dan besar pula akan menyurakan kemanusiaan. Suara kemanusiaan yang menjadi sasaran karya sastra. Dengan demikian, bangsa besar menghargai karya sastra (besar pula). Sehingga sejalan dengan tema yang diusung PPN 3 yakni penyair (sebagai) juru bicara kemanusiaan.
Pemikiran ini diperkuat sekretaris umumPena sekaligus ketua pelaksana PPN 3 Syed Mohd. Zakir Syed Othman (SM Zakir) bahwan pertemuan ini untuk menegaskan posisi penyair sebagai juru bicara kemanusiaan. Sebab, kata dia, penyair bukan sekadar pencatat peristiwa, melainkan juga mampu menangkap dan menguraikan berbagai macam fenomena tersembunyi dari suatu kejadian tanpa ragu dan takut dengan berpegang teguh pada kebenaran.
Dan, “kebenaran” inilah yang menjadi dasar atau aras bagi seorang sastrawan dalam memotret fenomena kemanusian untuk dituangkan dalam karya sastra, tatkala “kebenaran” barangkali mulai dilupakan banyak orang dalam ranah lain. Artrinya, ketika banyak orang takut mengemukakan kebenaran, saat itulah—seharusnya—sastrawan tampil di muka mengatakan kebenaran di antara kelimunan ketimpangan dan ketakjujuruan. Atau, meminjam Seno Guminira Ajidarma, ketika pers dibungkam maka sastra yang bicara.
Memanglah pada kenyataan belakangan ini, para penyair Malaysia mulai “berani” menulis kebenaran di dalam karya-karya puisinya. Meski yang dilakukan para sastrawan Malaysia jauh terlambat dibanding apa yang telah dilakukan sastrawan Indonesia, misalnya melalui karya-karya Rendra, Emha Ainun Nadjib, Remy Silado, Yudhistira ANM Massardi, Wiji Thukul, Acep Zamzam Norr, F. Rahardi, Putu Wijaya, N. Riantiarno dll. Setidakbya, aura reformasi juga mulai berhembus ke sastrawan Malaysia yang selama ini kita tahu hanya membicarakan persoaoan alam, individu, dan seterusnya.
Bahkan, ini yang menarik, pengolahan tatanan puisi pun mulai terasa maju. Bahasa melayu yang kita ketahui sangat terbatas dan kaku—berbeda dengan bahasa Indonesia yang memiliki padanan dan banyak memiliki metaforma—mulai diterobos oleh sastrawan di sana. Salah satunya, yang banyak mendapat pujian pula, tatkala salah satu penyair muda Malaysia tampil pada malam pembukaan, puisinya sangat berbeda dengan tradisi pepruisiaan di sana. Ia berani menerobos imajinasi yang telkah menjadi mainstrem para penyair di sana, sehingga terjadi lompatan di sana.
Di sinilah tampaknya peran penyuir di tengah era globalisasi semacam ini, haruslah berani dan bertanggung jawab untuk melakukan lompatan sekaligus keluar drai tradisi yang mungkin sudah terbina selama ini. Barangkali ini pula yang dimaui Prof Dr Muhammad Haji Salleh, sastrawan negara Malaysia saat mmebentangkan kertas kerja dalam sesi pembicara kunci di awal acara.
PPN 3 menhghasilkan sejumlah rumusan yang ditandatangani oleh para wakil dari maisng-masing negara peserta. Dari Indonesia diwakili Ahmadun Yosi Herfanda (Jakarta), Fakhrunnas MA Jabbar (Riau), Isbedy Stiawan ZS (Lampung), dan Vidy AD Daery (Jatim). Tim perumus juga tekah menyepakati PPN 4 akan berlangsung di Brunei Darussalam pada 2010. Keempat waklil Indonesia sekaligus menjadi koordintaor masing-masing wilkayah/zona kepenyairan yang akan ditentukan kemudian.
Sementara itu, pembicara lain dalam PPN 3 itu adalah Dato’ Dr Ahmad Kamal (lebih dikenal sebagai sastrawan Kemala), Jasri Matani (Malaysia), Acep Zamzam Noer , Ahmadun Yosi Herfanda (Indonesia), Noridah Kamari/Sharifah Khadijah (Singapura), Zefri Ariff (Brunei) dll.
Klaim Budaya
Meski masalah klaim budaya milik Indonesia oleh Malaysia tidak menjadi perbincangan dalam diskusi, namun sempat pula mengemuka pada saat pembacan puisi di Rumah Pena. Salah satu penyair terkumka Malysia sempat menyinggung kemarahan Indonesia atas Malaysia yang ditengarai mengklaim kebudayaan Indoensia.
Menurut dia, bangsa Malaysia mayoritas adalah Indo atau migrasi dari Indonesia: Minang, Jawa, Aceh, Kalimantan, Bugis, ataupun Bali. Jadi, tak heran pula jika kebudayaan leluhur itu ikut terbawa ke tanah yang baru bernama Malaysia. Sebab, kata dia lagi, setiap pendatang di sini akan membawa “kampung halaman leluhur” untuk dikekalkan, setudakinya di dalam diri masing-masing. “Jadi sangat kami sesalkan jika saundara-saudara kami di Indonesia emosi dengan mengacung bambu runcing untuk menunuh saudaranya sendiri, karena dianggap telah mencuri Pendet,” katanya yang mendapat sambutan peserta.
Pada akhirnya kita memang mesti berpikir ulang secara jernih dan tidak dibebani oleh kemarahan, jika menyoal “pencurian” kebudayaan. Tetapi, kita boleh tak bersetuju dan menentang apabila satu persatu pulau milik Indonesia diserobot, baik oleh Malaysia mapun Singapura. Artiunya, soal wilayah, kita boleh berseberangan atau steru! Tabik.*
**) sudah dimuat Surat Kabar Harian Radar Lampung, Senin 30 November 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar