14 November 2008

Dua Puluh Tahun Kemudian


Cerpen Isbedy Stiawan ZS


DUA puluh tahun kemudian kita bertemu lagi. Hampir saja aku tak mengenalimu. Perubahan pada diri dan penampilanmu sangat drastis. Meski aura beutymu masih terpancar, namun tubuhmu sudah lain sekali. Wajahmu, juga potongan rambutmu, tidak seperti yang kukenal semasa SMA dulu. Kau tak lagi selincah yang kukenal; sangat pendiam dan kikir senyum.

“Indra ya?” tanyamu, sewaktu kita jumpa, benar-benar tak disengaja. Waktu itu kau berlibur ke kota M. Sementara aku sejak lulus kuliah diterima di sebuah perusahaan di kota M.

Aku hanya menatapmu. Kosong. Aku mau mengangguk, tapi aku khawatir salah memberi anggukan. Soalnya kau asing bagiku. Untunglah kau menyebut namamu, asal sekolah di SMA dulu; sebuah sekolah favorit di kota B. Barulah aku berani mengangguk.

“Benar, aku Indra Gunawan. Mantan ketua OSIS yang dikenal badung dan sangat kompromis pada siswa pemabuk dan nakal,” aku menyerocos. Menurutmu itulah khasku. “Kau sekarang di mana, sudah punya anak berapa: 3, 4, atau selusin? Penampilanmu sudah beda sekali ya, sudah seperti nenek-nenek,” lanjutku seraya tertawa keras.

“Sialan lu! Bukan nenek-nenek, tapi sudah jadi Nenek Lampir! Awas, akan kuhisap darahmu!” ujarmu. Kemudian kau menunduk. Aku menangkap dari wajahmu menguar duka. Tepatnya sedih. Ah, paling tepat, kau seperti tak menyukai ucapanku tadi. Maka aku pun meralat.

“Sory Meri, kalau bicaraku sudah menyinggungmu. Aku hanya bergurau. Hanya ungkapan rasa kangen saja. Sudah 20 tahun kan kita tak bertemu?”

Kau mengangguk.

“Tak apa-apa kok. Aku tak tersinggung. Memang aku sudah tua, sudah tak menarik lagi seperti saat di SMA dulu,” katamu kembali menunjukkan wajah ceria. “Aku memang sudah nenek-nenek tanpa punya cucu. Jangankan cucu, anak pun belum. Eh, jangankan…”

“Maksudmu, perkawinanmu belum juga dikaruniai anak?”

Kau menggeleng. Aku heran.

Beberapa detik berlalu tanpa di isi percakapan. Agar tak mengganggu atau mengundang pengunjung mal lebih jauh memperhatikan kita, kutawarkan kau menuju kafe kecil di situ.


Kau memesan jus melon, sedang aku segelas cappucino. Kita pun mengobrol. Mengurai kembali kenangan semasa SMA, teman-teman lain dengan kesuksesan mising-masing, juga soal keluarga.

“Keluargaku baik-baik saja,” jelasmu

“Aku juga baik-baik saja.”

Meri Anggita Pertiwi, namamu, tak akan pernah kulupakan. Biarpun, misalnya, tsunami atau gempa menghancurkan kota namamu akan tetap terpatri di hatiku. Dulu aku sangat menginginkan kau jadi istriku. Kubayangkan kau adalah ibu dari anak-anakku. Cuma aku bertepuk sebelah tangan, cintaku tak berbalas. Kau inginkan aku sebagai teman saja. Padahal pertemanan kita sangatlah intim.

Kemudian kutahu dari teman-teman, kau sering bersama Rio—teman kelas lain. Kupikir untuk apa lagi aku memburumu, sedang kau sudah punya kekasih.Itu sebabnya, beberapa bulan jelang kelulusan aku coba menjauh darimu. Beberapa kali kau tawarkan aku singgah ke rumahmu, kutolak halus.

Aku yakin kau kecewa. Tetapi apakah kau tahu kalau aku lebih kecewa melihatmu sangat akrab dengan Rio? Karena aku menyayangimu maka aku tak akan pernah menyakitimu. Setamat SMA aku mendaftar sipenmaru dan diterima di salah satu universitas negeri di kota Y. Dengan titel sarjana Teknik Kimia aku diterima di perusahaan swasta di M hingga kini.

Kota B dengan segala kenangan manis dan pahitnya sudah kulupakan. Mungkin aku tak lagi bisa mengangankan rupa kota B, apalagi ibu dan ayahku sudah meninggal: pupuslah seluruh kerinduan. Kabarmu juga sudah tak kupedulikan.

Barangkali beginilah perasaan orang yang sakit hati. Aku sakit hati karena cintaku kautolak. Benarkah kau menolakku? Sebenarnya aku ragu mempertanyakan hal itu, betapa pun kenyataannya aku tak bisa menikahimu.

Kini, seperti mimpi saja, kau sudah berada di depanku. Kau kurus. Seperti, kukatakan tadi, selayaknya nenek-nenek. Usiamu kini, kutaksir, sudah 38 tahun. Meski terbersit kulit tubuhmu—terutama bagian wajahmu—mengeriput, tetap saja kecantikanmu belum punah. Masih kusuka dan rasanya ingin kujamah.

Tapi kau bukan Meri yang kukenal 20 tahun silam. Jadi tak muskil aku akan berbuat jahil seperti dulu: mencubit pipimu, menarik hidung mangirmu, atau menepuk bokongmu kemudian secepatnya lari jika tak ingin terkena pukulmu.

Pernah suatu ketika, waktu itu jam istirahat, begitu bel berbunyi kau keluar kelas lebih dulu. Segera kudekati kau dan peris di depan pintu kelas, kucubit pipimu dari belakang. Kau berang. Tanganmu melayang ke pundakku. Aku meringis. Sebab bukan dengan telapak tangan, tetapi tanganmu mengepal. Kau meninjuku. Sakitnya terasa sekali.

Kau mengancam akan mengadukan aku pada guru, membuatku bersembunyi di halaman belakang sekolah. Aku tak berani melanjutkan jam pelajaran. Angga Margo kuminta untuk membawakan tasku saat pulang. Esoknya aku izin tak sekolah. Lusa aku masuk, kau pun sudah melupakan insiden dua hari lalu.

Kini kau hanya tersenyum-senyum saat mengingat kenakalanku di masa lalu. Tak tampak lagi kebencian di wajahmu. Kau malah tertunduk malu ketika kubangun ingatan saat aku memukul pinggulmu ketika berdesakan ingin keluar jam pelajaran.

“Kamu memang keterlaluan nakalnya ya dulu. Tapi, kenapa aku tak bisa membencimu….” katamu.

“Tapi kau pernah mengancamku mau mengadukan pada pak Basri kan?” tanyaku menyelidik.

“Ah, sebenarnya tidak akan kulakukan waktu itu. Cuma kau sudah ketakutan dulu, bahkan tak berani masuk kelas lagi. Lalu keesokannya kau tak sekolah, alasan sakit,” jawabmu penuh kemenangan. Sedang aku di pihak yang kalah, selayak pesakitan.

Tetapi, kami sekarang seperti remaja lagi. Dua orang remaja yang sedang menjalin kasih. Di sebuah kafe kecil di lantai 3 mal terbesar di kota M ini. Kau duduk di kursi di depanku. Sesekali merapikan kemudian mengacaknya lagi. Kalau tidak ditutupi warna cokelat, pastilah rambut putih memenuhi kepalamu.

“Kamu masih tampak cantik ya, Meri. Apalagi dengan potongan rambut seperti itu. Kacamatmu pas sekali dengan wajahmu,” kataku memuji, setelah kami sama-sama tak bersuara.

“Jangan memuji, aku sudah bukan remaja lagi. Tak mempan…” tampikmu. “Lagipula, baru saja kau bilang aku nenek-nenek. Nenek Lampir!”

“Aku tak pernah bilang kamu Nenek Lampir, tapi….”

“Nenek-nenek,” potongmu. “Aku sadar, memang aku sudah nenek-nenek. Sudah bukan remaja lagi. Tak ada gairah lagi. Tidak laku. Jadi perawan tua.”

“Husst, kamu sudah berlebihan ah!” aku tak suka caramu. Aku faham kau pasti tersinggung waktu kukatakan nenek-nenek. Tetapi, apa aku harus katakan kau remaja? Sama saja aku mengingkari usia.

“Apa yang kukatakan memang kenyataan. Aku memang sudah tua, seperti katamu nenek-nenek. Perawan tua yang tidak laku. Aku serius kok. Aku tidak tersinggung. Aku malah marah kalau kau bilang aku masih remaja,” ujarmu lagi.

“Sudahlah kita hentikan perdebatan ini,” kataku ingin mencairkan kembali kebekuan suasana. Suaramu mulai mengeras. Aku faham benar, kau emosi. “Sekarang aku serius, sudah berapa anakmu sekarang? Suamimu tak ikut?”

“Aku belum berkeluarga…” jawabmu pelan. Wajahmu tertunduk.

“Kau serius?”

“Kapan kau pernah lihat aku main-main?”

“Dulu. Waktu di SMA,” jawabku sekenanya.

“Cuma kalau soal pribadi atau privacy, aku selalu serius,” tukasmu. “Lagipula apa untungnya aku main-main?”

“Jadi, hubunganmu dengan Rio putus di jalan? Kalian….”

“Aku tak pernah punya hubungan serius dengan Rio. Dia hanya teman, seperti juga denganmu, Dedy, Riki, Ujek, atau sia-siapa lagi teman kita dulu,” katamu serius. “Kau pikir waktu itu aku pacaran dengan Rio? Karena itu pula, kau menjauh dariku? Bahkan, seperti membenciku, samai-sampai tak mau menyalamiku saat perpisahan? Kau lalu tak pamit ketika mau kuliah di Yogya? Begitu?”

Aku tak menyahut.

“Benar begitu, In?

Makin menundukkan wajahku.

“Pengecut. Licik!”

“Maksudmu?”

“Kamu hanya percaya pada perasaanmu. Kamu sudah membuang kesempatan, hanya karena mengikuti kecurigaanmu,” katamu dengan nada tertekan. Pelan namun jelas terdengar. “Padahal, kamu tahu, aku menunggumu. Kukira kau berani menemuiku, menanyai perihal hubunganku dengan Rio. Tenryata kau memang pengecut!”

“Jadi, aku yang salah?” aku serbasalah. “Maksudmu, seharusnya aku datang menemuimu, lalu….”

Kau tak langsung menjawab.

“Kenapa…”

“Pikir sendiri… sudahlah, tak mungkin kita putar lagi waktu agar mundur 20 tahun lalu,” ujarmu seperti menyadari. “Kau sendiri sudah berkeluarga?”

Aku menggeleng.

“Setelah aku mengenalmu, aku tak lagi tertarik dengan lain perempuan,” kataku kemudian. Aku jujur. Bukan karena aku ingin merayumu. Sebab, hari-hariku hanya berurusan dengan buku pelajaran. Itu sebabnya, kuliah kuselesaikan hanya 4 tahun kurang. Ijazah belum juga di tanganku, perusahaan sudah menyuruhku bekerja.

“Jadi…”

“Ya, lajang tua.”

Suaraku tercekat. Lipstikmu tampak semakin coklat.*


Lampung, 22-24 Oktober 2008

Tidak ada komentar: