Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik. Tampilkan semua postingan

16 Juni 2010

Pilkada di Kota Bandar Lampung

Seandainya Komisioner KPU Dibekukan?

Oleh Isbedy Stiawan ZS

Komisioner KPU Kota Bandar Lampung didesak organisasi massa (LSM) agar segera segara dibekukan. Desakan menonaktifkan itu disebabkan kelebihan pencetakan surat suara hingga 116.583 lembar bagi pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang akan berlangsung Juni depan.

Desakan beberapa lembaga ormas itu, boleh jadi, akumulasi dari berbagai pelanggaran yang selama ini dianggap telah dilakukan pengurus KPU, terkait penyelenggaraan Pilkada Kota Bandar Lampung 2010. Bahkan ada tengarai komisioner tidak netral lagi, cenderung berpihak kepada satu kontestan.

Oleh karena itu, desakan komisioner KPU Kota Bandar Lampung dibekukan seperti jadi alternatif. Setelah dinonaktifkan, ‘kekuasaan’ KPU kota itu diambilalih oleh KPU Provinsi Lampung, tentu dengan pengawalan dari lembaga indevendent. Tawaran yang sebut terakhir ini, dari pernyataan seorang teman melalui jejaring sosial dunia maya (facebook). Meski hal itu sangat tidak mungkin, mengingat perhelatan Pilkada 2010 tinggal hitungan hari. Selain itu pula, akan menambah anggaran yang dikelujarkan untuk membayar ‘lembaga baru’ tersebut.

Sulit memang siapa yang benar dan siapa pula yang telah melakukan kecurangan, terkait pencetakan suarat suara yang berlebih itu. Pasalnya, pihak komisioner KPU mengakui bukan disengara. Sementara pihak kontestan, berasumsi ada kesengajaan yang dilakukan KPU untuk memenangkan salah satu kandidat.

Dalam peta politik, memang seakan ‘dihalalkan’ untuk menuding ataupun berkelit. Bahkan, jelas-jelas telah melakukan kesalahan pun menganggap bahwa pihaknya benar. Pernyataan dalam dunia politik menjadi abu-abu. Klaim-klaim bahwa satu pihak paling benar ataupun paling peduli bagi kesejahteraan rakyat, dianggap hal biasa untuk menarik simpati masyarakat. Jargon dan kebohongan sudah sulit ditemukan pembedaannya.

Media masssa telah dijadikan arena yang tepat untuk menampung jargon-jargon politik. Pihak KPU, kontestan, dan lembaga ormas (dan LSM) berlomba untuk saling melempar klaim tentang kebenaran itu. Masyarakat dipaksa untuk meyakini bahwa para pemain di panggung politik itu adalah benar, kebenaran, dan satu-satunya yang berhak memegang jargon tersebut.

Alangkah malangnya dunia politik kita. Setiap politisi berhak mengumbar janji, dan media menampungnya untuk dilemparkan ke publik. Sementara masyarakat terpaksa dijejali dengan berbagai pernyataan, yang cenderung sampah itu. Begitu pula, KPU bersikap layaknya ‘malaikat’ yang bisa semena-mena menentukan (menetapkan) sesuatu atau perhelatan pilkada. Komisioner KPU menjadi ‘kebal hukum’ bahkan tatkala dia dianggap melakukan kesalahan. Contoh ihwal ini sudah cukup banyak. Kegagalan KPU menggelar pemilu dan pilkada, hampir kebanyakan tidak sampai ke penjara. Para pengurus KPU boleh untuk tak menjawab—dengan mematikan alat kontaknya—setiap pihak meminta pertanggungjawaban. Setelah dinilai aman, mereka kembali ke publik dengan persoalan selesai begitu saja.

Kalau kebiasaan-kebiasaan serupa ini, terus dipelihara akan ke mana arah akhir politik di tanah air? Masyarakat menjadi semakin tidak peduli dengan hasil pemilu/pilkada. Siapa pun yang duduk di legislatif maupun yang menjadi kepala daerah, tidak akan memengaruhi tingkat sosial massa. Kecuali orang-orang yang dekat dan bersentuhan secara akrab dengan mereka. Alangkah malangnya hasil dari arena politik di tanah air ini?

Tampaknya sistem perpolitikan di sini yang mesti dibenahi., dan bukan soal lembaganya. Apa pun lembaganya—legislatif maupun KPU—kalau sistemnya memang mudah dicurangi, akan dilakukan juga. Betapapun individu komisioner KPU awalnya dinilai baik dan bersih, begitu memasuki sistem yang karutmarut dan terbuka dicurangi itu maka akan larut pula.

Saya amat menyayangkan, orang-orang baik dan jujur namun karena memasuki sistem politik yang masih karutmarut itu akhirnya luntur. Bahkan, kalaupun masih konsisten tetap saja dicurigai keindependenannya. Seperti buah simalakama.

Menjaga eksistensi

Memasuki bulan terakhir akan dihelatnya Pilkada Kota Bandar Lampung, elok sekali kalau semua pihak sama-sama menjaga eksistensi pesata demokrasi ini. Pihak-pihak—seperti KPU, partai, ormas dan LSM, kandidat, media massa, serta publik—bertanggungjawab bagi lancarnya keberlangsungan pilkada. Menahan diri dari berbagai emosi dan kepentingan pribadi, snagatlah diharapkan.

Terutama pihak KPU yang bagaimanapun sebagai ‘kekuasan tertinggi’ bagi hitam-putihnya pilkada/pemilu, dituntut sebenar-benarnya netral. Tanamkan dalam iktikad, bahwa siapapun pilihan masyarakat itulah yang di kedepankan. KPU hanya menghitung atau mencatat perolehan suara bagi kontentan, tanpa dicampuri oleh kepeningan demi keuntungan pribadi lalu mencurangi hitungan suara.

Lalu para kandidat, masukilah arena pilkada dengan sikap menerima kemenangan atau kekalahan. Jangan menjadikan kekalahan sebagai senjata untuk menggagalkan hasil pemeilihan suara dari masyarakat. Betapa pun, ‘suara rakyat’ pada saat ini sulit disebandingkan dengan ‘suara Tuhan” sebab sudah bisa dibeli. Apabila kecuarangan tidak siginifikan, dapatlah diterima dengan lapang dada.

Dalam perpolitikan, seperti juga di meja perjudian, kekalahan dan kemenangan adalah hal biasa dan sesaat. Karena yang lebih besar, ialah bagaimana membangun darerah ini agar lebih maju dan bisa mensejahterahkan masyarakat. Saya masih optimistis, iktikad kandidat Wali kota/Wakil Wali kota Bandar Lampung semata untuk memperjuangkan pembangunan dan kesejahteraan. Bukan untuk satu-satunya kemenangan, demi kekuasaan.

Sementara ormas atau LSM yang seakan dinisbahkan punya hak turun ke jalan, setidaknya sebelum berdomentrasi dipikir secara matang: apakah yang diperjuangkan itu akan bermanfaat bagi banyak masyarakat? Atau hanya segelintir dari pihak-pihak tertentu yang akan mencecapnya. Di sini, bukan maksud saya, hendak mencurigai integritas dan independensi semua ormas dan LSM yang kerap turun ke jalan. Tetapi kembali mengingatkan saja, ada banyak pihak yang kadang ikut bermain untuk mneikmati hasil perjuangan dan pengorbanan eleman masyarakat yang kritis itu. Jangan sampai elemen masyarakat yang seyogyanya perjuangan demi rakyat kecil, namun yang memetik keuntungannya adalah elit-elit politik.

Dan, kita masyarakat biasa, yang hanya membaca dan menyaksikan gonjang-ganjing perpolitikan—terutama jelang Pilkada Kota Bandar Lampung—tidak harus semakin ora mudeng karena polah para pemain politik tersebut. Masyarakat yang berada di luar garis lapangan, tak mesti terseret sebagai korban. Jangan sampai dunia sepakbola dimana penonton terlalu kerap jadi korban, berimbas memasuki arena pilkada. Jangan. Jangan... *

*) sudah dimuat Radar Lampung

13 Januari 2009

Kala Wartawan (ke) Politisi

Oleh Isbedy Stiawan ZS



MENJADI politisi, semenjak reformasi bergulir, layaknya tren yang diminati banyak orang. Mantan pejabat, pensiunan PNS (pegawai negeri sipil), selebritas,dan masyarakat awam pun mulai tergiur pada dunia politik.

Satu sisi, era keterbukaan yang diperjuangan oleh reformasi—terutama di bidang politik, dianggap berhasil. Semua orang boleh dan bebas berbicara politik. Bahkan, kalaupun beralih profesi: jadi politisi.

Karena politik menggiurkan, pemilik modal (yang bermodal) bisa saja menduduki ketua partai politik. Mantan calon gubernur, pengusaha, mantan pejabat, dengan sangat mudah bisa memegang tampuk tertinggi di salah satu parpol. Meski pun ia bukan kader ataupun sebelumnya berkecimpung di parpol lain.

Betapa menggiurnya dunia politik, eksodus “profesi” begitu cepat terjadi. Misalnya mantan pejabat, pensiunan eksekutif, dan apa pun profesi lain bisa saja segera beralih jadi politisi. Terpenting kedekatannya dengan orang nomor satu di parpol.

Kabar anyar paling menarik, kala sejumlah wartawan—57 orang sebagaimana dilaporkan Radar Lampung (11/1)—“eksodus” ke politisi. Para wartawan yang tergabung di PWI Lampung pada Pemilu 2009 ini sebagai calon anggota legislatif (caleg) dari berbagai parpol.

Beralihnya para wartawan ke politisi pada Pemilu 2009 untuk menuju gedung Dewan, tidak saja membuktikan adanya kedekatan selama ini antara wartawan dengan penentu di suatu parpol tapi juga kedekatan emosional sang wartawan dengan parpol tersebut.

Modal itulah kemudian yang mengantar wartawan tertentu (coba-coba) beralih profesi. Ingat, sekali lagi, beberapa tahun terakhir ini anggota dewan—seperti juga profesi lain—menjadi fenomena baru yang diburu lantaran “seksi” sehingga mensugesti banyak orang; banyak parpol bermunculan.

Saya menengarai bahwa politisi (dan partai politik) bukan lagi oase untuk penghapus dahaga untuk mensosialisasikan idealisme seseorang. Menjadi politisi dan melahirkan partai politik bukan untuk alat atau mesin melakukan perubahan politik demi kesejahteraan rakyat. Partai politik cenderung diperalat demi mengubah nasib para politisi agar lebih baik. kalau tidak, bagaimana bisa politisi yang 5 tahun sebelumnya duduk di kursi dewan yang lebih rendah menuju gedung dewan setingkat di atasnya, atau berupaya mempertahankan (merebut?) kembali kursi yang telah didudukinya selama 5 tahun pada pemilu mendatang?

Dan, media massa (pers) yang mengklaim diri sebab sudah terumus dalam undang-undang sebagai salah satu pilar pembangunan yaitu (alat) kontrol sosial, sulit melepaskan diri dari kepentingan pelaku pers itu sendiri. Misalnya, apakah ia akan menggeluti dunia pers seumur hidup? Tentu saja, mungkin ini tidak semua, tidak. Orang hidup harus berubah dan melakukan perubahan.

Karena itu pula, barangkali, sejumlah wartawan (57 wartawan PWI Lampung) mencoba “mengadu nasib” di jalur politik sebagai caleg (politisi) pada Pemilu 2009 demi menuju gedung dewan.

Memang tidak nista—apalagi haram peralihan profesi seperti ini. Apalagi, sekiranya, peralihan ke politisi itu didasari niat demi mengubah arah kebijakan politis pemerintah yang selama ini cenderung tidak berpihak pada rakyat. Dengan sense of jurnalisme atau semangat melakukan kontrol atas kebijakan yang tak berpihak ke rakyat, setelah berada di dalam gedung dewan semangat itu tidak lalu larut dan “dikalahkan” oleh suara legislatif lainnya.

Sulit sekali mengharap jaminan itu. Mengingat parpol yang awalnya diharap bisa melakukan perubahan dan sebagai parpol harapan masa depan, tapi setelah politisinya duduk sebagai wakil rakyat maka harapan tinggallah harapan. Para politisi yang diharapkan itu justru larut di dalam “permainan” parpol besar di gedung dewan.

Santun
Bambang Eka Wijata, wartawan senior, berharap kepada para wartawan PWI yang mencaleg pada Pemilu 2009 agar berlaku santun dan tidak melakukan politik uang saat kampanye. Idealnya bagi wartawan memang begitu, mengingat pers selama ini menganggap dirinya sebagai pengontrol kecurangan dan selalu berada di depan memperjuangkan tegaknya keadilan bagi rakyat banyak.

Peran pengontrol—sense of jurnalisme—mestilah terus dihidupkan, baik saat sosialisasi (kampanye) maupun kala menjadi “wakil rakyat” di legislatif. Inovatif bagi perubahan kebijakan hingga berpihak pada rakyat, serta visionir dalam meloloskan program-program yang berkepentingan pada rakyat. Dengan demikian, para wartawan itu jadi pionir bagi politisi lain di gedung dewan.

Netralitas yang selama ini jadi arah kebijakan pers, mestinya tak tergoda apalagi terganggu oleh salah satu kepentingan politisi maupun parpol. Hal ini yang juga kita harapkan para wartawan cum laude politisi dapat menjaga netralitas dan tetap konsisten.

Media massa, seperti dikatakan A. Rio Teguh—wartawan dan ketua PWI Lampung yang juga caleg DPRD Lampung dari Partai Golkar, harus memberikan ruang secara berimbang kepada para caleg.

Artinya, ini indikasi bahwa caleg dari wartawan pun diperlakukan sama dengan para caleg lain. Jangan sampai media massa jadi “alat” sosialisasi semata-mata untuk wartawan yang mencaleg. Ataupun caleg yang wartawan (walaupun semenjak mendaftar dia nonaktif) tidak lagi mengenakan baju pers saat sosialisasi. Ia sudah menjadi (murni) politisi. Apakah ini mungkin, bisakah hal ini tak dicampuradukkan? Salam.*

Bandar Lampung, 12 Januari 2009

---------------
* sumber Radar Lampung, Selasa 13 Januari 2009

16 November 2008

Mengadu Nasib di Lahan Caleg

Oleh Isbedy Stiawan ZS

GEDUNG legislatif pada 2009 bakal diburu banyak orang. Laksana lahan pekerjaan orang-orang akan berlomba untuk jadi anggota legislatif. Banyak partai yang bermunculan jelang Pemilu 2009, indikasi kursi dewan sangatlah menggiurkan. Partai—juga jalur independent—bukan tak mungkin sebagai lapangan baru untuk mengadu dan syukur nasib bisa beryubah.

Tengoklah partai-partai yang lahir, cermati pula nama-nama “pemilik partai”, serta baca daftar bacaleg (bakal caleg) dan caleg yang diajukan ke KPU, mungkin bisa dijadikan bukti sesungguhnya politik adalah hal yang seksi. Pemilu bukan semata-mata (sekadar?) pendewasaan berpolitik, melainkan arena pertaruhan meraih status “terhormat” di kursi legislatif.

Ramai-ramainya partai dibentuk seiring konflik dalam partai berlangsung, semata bukan untuk menegakkan idealisme dan penegakan hukum. Disadari atau tidak, yang diperjuangkan partai dan caleg tersebut cuma untuk melenggang ke arena Pemilu 2009. Sebab muaranya ialah untuk mendapat pengakuan secara hukum dan bisa terdaftar sebagai peserta pemilu di KPU.

Kalau benar-benar berniat memperjuangkan nasib rakyat, apa perlunya berdemo ketika seorang kader tak terpilih oleh partai sebagai caleg? Mengapa pula elite parftai otomotis nomor urut kecil dalam daftar caleg atau dianggap patut dipromosikan menjadi prsiden, gubernur, serta bupati/walikota? Apa makna konflik yang terjadi di dalam partai, selain memperebutkan status dan kehendak tercatat dalam daftar peserta pemilu?

Menjadi anggota lgislatif seperti sama artinya berkompetisi jadi PNS. Jika mendaftar calon PNS saja harus (?) siap dana tak kurang Rp10 juta, mengapa tidak dana sebesar itu ditanam ke lahan caleg. Begitulah itung-itungan dalam mengadu nasib di lahan caleg.

Artinya apa? Dengan masa pendaftaran caleg di partai masing-masing, terbuka ruang negosiasi: kedekatan dan uang. Barangkali hanya beberapa partai yang memrioritaskan kadernya, selebihnya terbuka untuk umum. Keterbukaan itu membuka kesempatan bagi yang punya dana, pamor (ketokohan), dan mereka yang kesohor (artis) mendaftar sebagai caleg.

Politik pada akhirnya bukan lagi panggilan nurani. Politik, sama dengan karier lainnya, adalah untuk mengubah status dan kehidupan. Bahkan, sebagian orang menganggap (untuk) gagah-gagahan.

Jangan ditanya motivasi atau niat mengapa mereka mendaftar sebagai caleg. Jawabnya pasti mirip-mirip dan klise: panggilan hati untuk membela kepentingan rakyat. Lalu, rakyat mana yang mereka bela kepentingannya? Rakyat yang (hanya) mendukung—kontituens—ataukah rakyat yang dalam pengertian kita bersama sebagai bangsa dan telah ditoreh dalam UUD 45?

Kalau ya, mata anggaran mana dalam APBD ataupun APBN yang berpihak kepada rakyat? Kalau demi membela kepentingan rakyat, mengapa anggaran yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak tidak dipangkas? Misalnya, anggaran studi banding ke luar daerah atau luar negeri yang acap diprotes hanya menghambur-hamburkan uang negara, tetap dipertahankan bertahun-tahun? Kenapa pula ada isu di gedung legislatif yang kerap “bermain mata” dengan gubernur, bupati, atau kepala satuan kerja untuk mempertahankan pengajuan anggaran? Ini sudah menjadi rahasia umum.

Menjadi anggota legislatif memang peluang untuk meraup penghasilan bisa dari mana saja dan dari berbagai hal. Bayangkan dari rapat-rapat dan kunjungan ke suatu tempat disediakan anggaran. Belum lagi fasilitas yang disediakan, seperti kenderaan, rumah, dan seterusnya. Meminjam pendapat Djadjat Sudradjat (Nuansa Minggu Lampung Post), nafas bagi pejabat dan anggota legislatif sudah ditanggung negara. Itu sebabnya, boleh jadi, menuju gedung legislatif adalah jalan yang seksi dan menggiurkan. Dan, jadi anggota legislatif bertujuan bagaimana hidup bisa berubah. Beharap dilayani dan dimanja oleh negara dengan atas nama mewakili rakyat.

Setidaknya, kalau sebelumnya hanya sebagai pemborong atau “penganggur elite” maka setelah menjadi legislatif ia mendapat julukan baru dan terhormat: “anggota dewan”—syukur-syukur memegang jabatan ketua panang, ketua fraksi, dan ketuga dewan—yang stratanya di mata masyarakat akan naik. Setidaknya ia adalah wakil rakyat, sedikit berada di atas yang bernama rakyat (kebanyakan).

Benarkah anggota legislatif sudah demikian terhormat (dan mulia) di mata rakyat? Teringat saya manakala begawan Omar Kayyam yang mendapat mosi dari Sang Raja sebab kritikan pedas pada kebijakan raja. Ia diopsi menjadi abdi kerajaan (setara anggota dewan sekarang), diusir dari negara, atau hukuman penjara (pancung?).

Untuk opsi pertama, Omar Kayyam menjawab, kalau untuk mendapatkan abdi kerajaan tak perlu seorang Omar Kayyam. Sebab di kerajaan yang luas banyak orang yang dapat dijadikan abdi jika sekualitas abdi yang sudah ada. Apabila sang raja hendak mengusirnya dari tanah kerajaan, dijamin berabad-abad tak akan lagi mendapatkan seorang seperti Omar Kayyam. Dan, bila raja memasukkan Omar Kayyam ke dalam bui, lalu siapa yang akan berani “mengingatkan” raja jika melakukan kesalahan? Akhirnya, Omar Kayyam diberi kebebasan berekspresi untuk berkarya, sekaligus mengkritisi sang raja.

Jadi, memang, mencari anggota legislatif dengan kualitas seperti sekarang sangatlah tidak sulit. Pagi ini saja ada anggota legislatif yang direcal atau dipecat (ditarik oleh partai), siang atau dua hari kemudian sudah bisa mendapat penggantinya. Apatah lagi kini di negeri ini betapa banyaknya partai politik terdaftar, namun hanya berapa banyak politisi yang berjiwa negarwan alias politisi sejati? Tak sebanding dengan pengamat/pakar politik atau orang-orang yang memiliki kepedulian “meluruskan jika politik bengkok, mensucikan politik jika kotor”.

Akibatnya, politik bisa ditafsir oleh para elite saja. Rakyat seakan tak punya ruang ikut berpendapat. Sementara pengamat/pakar politik, bukan lagi rahasia, jelas keberpihakannya pada salah satu elite atau penguasa. Netralitasnya bisa diuragukan. Pada pungkasnya, rakyat menjadi bingung. Mana yang benar dan yang mana harus diikuti?

Reformasi sepertinya hanya untuk menumbangkan Soeharto dan mencegah kekuatan ABRI di kancah politik, akan tetapi masalah politik dan politisi sampai kini belum tersentuh oleh cita-cita reformasi. Wallahu’alam.

--dimuat Lampung Post, 15 Oktober 2008 -


Indonesia dalam Hitungan 100 tahun

Oleh Isbedy Stiawan ZS

Berikan padaku 10 pemuda, aku akan mengguncang dunia!” ujar Soekarno.

BOEDI Oetomo, berusia 20-an tahun pada 1908, mencetuskan Stovia—kemudian menjadi tonggak kebangkitan nasional. Dari dunia pendidikan BO bergerak untuk menumbuhkan semangat kebangkitan. Artinya, di sini pendidikan dalam benak BO amat sangat urgen bagi pembentukan karakter bangsa. Dari kawah yang bernama pendidikan akan terukur kualitas berbangsa.

Betapa pentinganya pendidikan, sehingga Kaisar Jepang pada saat Hirosima dan Nagasaki luluhlantak dibom atom tentara sekutu pada 1945, hanya mengajukan satu pertanyaan: “Bagaimana nasib dan keadaan para guru?” Kaisar tidak begitu peduli—walaupun ia pasti sedih dan berduka—menyaksikan Hirosima dan Nagasaki hanya menyisakan puing, selagi nasib dan keadaan para guru dilaporkan baik-baik saja. Dan, tak lama dari kehancuran negeri Sakura oleh sebab bom atom, Jepang pun bangkit—bahkan kini berada jauh di depan Indonesia.

Ini kontradiktif saat beberapa daerah di Tanah Air juga hancurluluh tersebab bencana alam—tsunami, banjir, gempa, longsor, lumpur panas—tak satu pun dari pemimpin Indonesia yang mempertanyakan bagaimana nasib dan keadaan para guru? Alihalih bertanya soal nasib guru, banyak bangunan sekolah yang nyaris ambruk layaknya “kandang ayam” itu, sekadar prihatin nyaris tak terdengar.

Apatah lagi kita “melawan” Jepang, berhadapan dengan Malaysia saja rasanya, aku meminjam puisi Taufiq Ismail Malu Aku Jadi Orang Indonesia, benar-benar dipermalukan. Kalau dulu para guru Malaysia dikirim ke sini untuk berguru, sebaliknya kini banyak guru di sini yang harus belajar ke Malaysia. Belum lagi pengiriman besar-besaran tenaga kerja ke negeri Jiran itu karena Indonesia tak mampu menyejahterakan anak bangsanya sendiri.

Peribahasa “lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang” seperti sudah tidak berlaku lagi. Masyarakat kini berpikir lebih baik hujan emas di negeri orang ketimbang mati kelaparan di dalam negeri. Itu sebabnya, walaupun akhirnya, para tenaga kerja Indonesia harus benasib malang di luar negeri. Atau para pekerja wanita yang pulang tingal membawa nama atau “berbadan dua” karena ulah majikan. Tetapi, toh, “ekspor” tenaga kerja tetap berlangsung secara besar-besaran.

Lalu, berapa pulau milik Indonesia yang tercaplok negeri bekas jajahan Inggris itu? Ah, rasanya aku tak adil kalau tak menyebut Singapura yang juga pelan-pelan melalui tepi pantainya telah mencaplok tanah-air-udara Indonesia.

Lalu di mana kebangkitan nasional bisa kukenang? Anggaran bagi pendidikan ternyata masih sangat tak memadai. Nasib para guru masih di bawah standar. Bangunan-bangunan sekolah dibiarkan hancur ataupun tak terawat. Para pemuda lulusan sekolah tak sebanding dengan tersedianya lapangan pekerjaan. Belum lagi anak-anak putus sekolah yang seharusnya dijamin kehidupannya oleh negara dibiarkan telantar.

Aku di sini berdiri hendak mengenang kebangkitan nasional. Aku menafsir apakah nasionalismeku sudah bangkit setelah 100 tahun dicetuskan BO? Nasionalisme macam apa? Apakah aku mesti meradang tatkala Indonesia dicabik-cabik oleh bangsa lain, ataukah aku harus menerjang ketika pulau-pulau dipreteli satupersatu dari peta Indonesia oleh negera tetangga? Apakah aku harus turun ke jalan meneriakkan yel yel dalam barisan demonstran, ketika pemerintah menaikkan harga BBM, anteean premium lantaran pasokan terbatas, melangitnya harga barang, upah bagi buruh yang selalu di bawah minimum, tiadanya jaminan bagi guru kontrak dan honorer, mahalnya biaya pendidikan sementara anggaran yang diberikan pemerintah tak kunjung memadai, anggota legislatif yang cenderung tak memperjuangkan nasib rakyat yang memilihnya, juga pemimpin yang bermanis-manis wajah dan murah tangan saat kampanye tapi kemudian melupakan rakyat pendukungnya? Apakah itu, lagi-lagi, yang mesti kulakukan? Apakah “pengadilan jalanan” sangat dibutuhkan bagi bangsa yang telah 100 tahun bangkit ini?

Kebangkitan nasional yang diidamkan BO adalah dimulai dari dunia pendidikan. Mengapa lalu kita seperti mengabaikan hal ini? Aku sedih ketika pendidikan kita sekarang hanya terfokus pada hasil kelulusan 100 persen. Sehingga setiap sekolah seakan benar-benar bangga karena merasa berhasil, jika kelulusan mencapai angka maksimal tersebut. Meskipun, akhirnya, harus melakukan apa saja.

Jangan salahkan BO apabila kebangkitan nasional kita tafsirkan seperti yang terjadi saat ini. Sejatinya para pemuda Indonesia pernah menafsirkan amat brilian dan berani. Adalah sekumpulan pemuda bersama-sama menafsirkan kebangkitan nasional lalu sefaham dan sepakat dengan mengikrarkan “berbangsa satu, bertanahair satu, berbahasa satu adalah Indonesia. Sumpah Pemuda yang dirumuskan oleh Mohammad Yamin itu dicanangkan pada 28 Oktober 1928.

Sumpah Pemuda yang menurut Sutardji Calzoum Bachri sebagai puisi dengan “P” kapital itu, sangatlah menjadi kenyataan 17 tahun kemudian. Isi sumpah para pemuda itu demikin: “Kami putra putri Indonesia bersumpah berbangsa satu bangsa Indonesia/Kami putra putri Indonesia bersumpah bertanah air satu tanah air Indonesia/Kami putra putri Indonesia besumpah berbahasa satu bahasa Indonesia.

Para pemuda di tahun 1928 berwawasan futuristik. Betapa tidak, Indonesia waktu itu masih in absentia—masih absurd, apatah lagi bicara tentang bangsa, tanah air, atau pun bahasa. Akan tetapi, para pemuda Indonesia sudah berani berangan, membayangkan, berandai-andai tentang bangsa, tanah air, dan bahasa Indonesia. Dan angan-angan itu menjadi kenyataan pada 17 Agustus 1945. Soekarno dan Hatta mewakili atau atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Indonesia merdeka.

Bersamaan proklamasi kemerdekaan itu, lagu “Indonesia Raya”-pun secara terang-terangan dan berani dikumandangkan. Lagu ciptaan W.R Supratman itu dengan eksplisit mengajak “bangunlah jiwaku, bangunlah ragaku/untuk Indonesia Raya.” Tetapi, ternyata 30 tahun lebih semasa rezim Soeharto, jiwa dan raga bangsa ini tak pernah bangun. Aku, barangkali juga, jutaan bangsa ini tak merasa merdeka sebenar-benar merdeka. Kekuasaan refresif membungkam perbedaan berpendapat. Kita dicekoki oleh adagium “persatuan untuk kesatuan”, bukan seharusnya “persatuan dalam keberagaman” sebagaimana nafas bhinneka tunggal ika.

Dari rezim ke rezim yang memimpin Indonesia, seakan lupa yang mesti dibangun dari bangsa yang lebih separuh abad ini merdeka. Pembangunan fisik secara besar-besaran digalakkan, tetapi jiwa dan raga bangsa ini dibiarkan terpuruk. Lalu, apa lagi yang mesti kumaknai dari kebangkitan nasional? Apakah kebangkitan itu dibuktikan hanya dengan pembangunan fisik seperti bangunan (gedung) hingga menggapai langit, jalan layang bertingkat dan meliuk-liuk, jembatan terpanjang, berjutaan patung memenuhi kota, jembatan di atas laut, dan seterusnya? Sementara itu, jiwa dan raga bangsa Indonesia dibiarkan kropos dan rapuh?

Sepanjang Orde Baru berkuasa, aku mencatat Indonesia hanya melahirkan para birokrat yang bersuara “wek wek wek” dan selalu menanti “petunjuk dari bapak presiden” kalau hendak berpendapat. Atau legislator yang hanya mampu menciptkan koor “setujuuu….” Selebihnya, yang “berani beda” dengan rezim akan dikucilkan, diburu, dibui, atau diculik dengan tuduhan pengacau keamanan dan stabilitas negara (kerap disingkat GPK). Barangkali, sekiranya istilah “teroris” popular di zaman Orde Baru, pastilah istilah itu akan pula didayagunakan. Sehingga semakin panjang kecemasan-kecemasan menggerogoti jiwa dan raga bangsa ini.

Sektor pendidikan juga tak tersentuh maksimal. Orde Baru hanya berhasil membangun banyak sekolah inpres, tapi berapa banyak lulusan dari sekolah inpres yang merasa pendidikan itu penting karena telah mengeluarkan dirinya dari kebodohan, dari ketidaktahuan, dari ketakmampun dan ketakberanian berkata maupun beraksara. Walaupun lalu dicanangkan wajib belajar (Wajar) 9 tahun, toh Indonesia belum juga mampu menyiapkan anak didik yang siap kerja (pakai). Dunia pendidikan kita, mengutip Afrizal Malna dalam puisinya, hanya mengajarkan bagaimana murid menggambar gunung dan matahari di sela gunung, jalan yang mengecil di bagian atas, di sisi kiri dan kanan terbentang sawah, serta pohon di setiap sisi jalan menuju bukit. Sangat stereotipe.

Fakumnya atau tidak berjalannya kebangkitan karena diredam sepanjang 30 tahun lebih berkuasa Orde Baru, akhirnya atas kesadaran demi “menyelamatkan bangsa” maka para pemuda—diwakili mahasiswa dan elemen masyarakat—mendesak Soeharto turun dari tampuk kepresidenan. Kita mencatat gerakan mahassiswa dan elemen masyarakat itu pada 1998 sebagai keinginan (me)reformasi kepemimpinan di Indonesia. Sasarannya penguasa Orde Baru: Soeharto. Ya, cuma Soeharto. Gerakan mahasiswa 1998 yang kita kenal “gerakan reformasi” itu, hanya bertumpu untuk menumbangkan Soeharto, tanpa menyiapkan tokoh setelah penguasa Orde Baru itu tumbang.

Ibarat penebang pohon, gerakan reformasi hanya menumbangkan batang pohon tapi membiarkan akarnya tetap menghunjam. Akibatnya, setelah Soeharto turun dan aktivis reformasi pulang “ke kandang”, akar-akar yang lupa dipangkas kembali bertunas. Bukan tokoh-tokoh reformis yang mengisi ruang kosong itu, tapi elite-elite yang tumbuh dan hidup dari akar pohon yang ditumbangkan. Orang-orang lama berwajah paradigma baru kembali mengisi kursi-kursi kepemimpinan. Bahkan, seorang Harmoko yang dicatat sebagai “yang memulai dan yang mengakhiri” Soeharto setelah beberapa tahun menghilang, kini siap-siap turun lagi ke gelanggang politik.

Lalu, aku mencari di mana para reformis di tahun 1998 mampu menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa lebih 30 tahun? Padahal, sama-sama kita catat, buah dari Reformasi 1998 tak sedikit pemuda (mahasiswa dan elemen masyarakat) yang mati atau hilang tak tahu nisan dan di mana ia disekap? Bahkan, sampai 10 tahun usia reformasi: siapa penembak mahasiswa Trisakti, siapa pelaku sehingga menewaskan Muhammad Yusuf Rijal (Ijal) dan Saidatul Fitria (Atul) pada Tragedi Kampus UBL? Kita tidak pernah tahu, boleh jadi kita ikut pula (diam-diam) melupakannya.

Kini, 2008: 10 tahun Reformasi dan 100 tahun Kebangkitan Nasional, aku belum banyak mencatat adanya perubahan signifikan bagi bangsa ini. Tak perlu berdiri di hadapan negara adikuasa, dalam percaturan di Asia saja sudah tak bisa menunjukkan diri sebagai bangsa besar yang dihuni jutaan rakyat, memiliki ribuan pulau, luasnya tanah air, berlimpahnya sumber alam, suburnya tanah, meruahnya simpanan air, dan sebagainya—sampai-sampai Koes Plus menyebut “tongkat kayu jadi tanaman”.

Aku mengenal aktivis yang berjuang pada 1998, kini seperti tak lagi garang lantaran dininabobo oleh berbagai jabatan. Lahirnya beragam partai politik, juga melahirkan banyak aktivis baru yang menduduki kursi legsilatif. Partai politik bagai kue manis yang dikelimuni semut. Kursi dewan layaknya busa empuk yang membuat para politisi itu lupa berdiri untuk melihat nasib rakyat. Kecuali untuk berjamaah melakukan studi banding ke berbagai daerah dan luar negeri.

Setali tiga uang dengan eksekutif. Para pemimpin—presiden, gubernur, walikota, bupati—hampir semua adalah orang (pemain) lama. Setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Reformasi, apakah kita tak berpikir menyiapkan tokoh yang mampu memangkas satu atau dua generasi peninggalan Orde Baru? Apakah tokoh yang diidamkan untuk mengawal reformasi harus dilahirkan, seperti 1908 melahirkan BO, 1945 munculnya Soekarno dan Hatta, Orde Baru dengan Soeharto dan Golkar-nya? Sedangkan 1998 tak melahirkan tokoh dan yang ditokohkan. Sungguh, ini suatu ironi yang seharusnya disesali.

Tahun 2008: aku berdiri di sini bertepatan 100 tahun Kebangkitan Nasional dan 10 tahun Reformasi. Tetapi, aku masih belum fasih bertanya: apakah Indonesia telah bangkit seperti keinginan BO atau sebagaimana pula impian W.R. Supratman “bangunlah jiwaku/bangunlah ragaku/untuk Indonesia Raya”?

Rasanya pula pertanyaanku itu, biarlah untuk sementara tetap menjadi pertanyaan. Seperti juga selalu kuajukan pertanyaan kepada calon gubernur, walikota, bupati, dan anggota legislatif: sanggupkah mewujudkan Indonesia benar-benar bangkit, membangun jiwa dan raga bangsa. Dan, bukan membangun rumah-rumah pribadi, menumpuk harta kekayaan, menjejali kursi-kursi dengan kolega dan keluarga, menilep uang negara, mengaburkan nomor kendaraan dinas seakan milik pribadi, melimpahkan proyek-proyek negara ke rekanan fiktif.

Ah ah, mengapa aku harus bersikap seperti orang yang berang? Ayo, bangkit Indonesia! Jaya Indonesia! Rebut kembali marwah kebangkitan (tapi aku benar-benar sedih: di arena olah raga saja, Indonesia tak mampu membawa piala Thomas dan Uber. Mari sama-sama menangisi nasib Indonesia). Sehingga tak lagi “Malu Aku Jadi Orang Indonesia” karena mampu sejajar dengan bangsa-bangsa lain.

Apa mungkin? Bila? Jangan kautanyakan pada ombak, matahari, dan rumput yang bergoyang. Jangan….

20 Mei 2008; 02.35

*) Dibacakan pada “Orasi Politik” pada Mimbar Pemuda 2, digelar BEM Unila di GSG Islamic Centre Bandarlampung, 20 Mei 2008

Pilgub, Etnis Jawa, dan Impian Damai

Oleh Isbedy Stiawan ZS

KETIKA diskusi kebangsaan dengan tema “Nasionalisme Mati Suri” di Umitra Bandarlampung 5 Juni lalu, saya sebagai salah seorang pembicara, melontarkan persatuan (nasionalisme) dalam keberagaman bangsa ini sesungguhnya sudah terpecah-pecah. Tidak disebabkan politik devide et impera yang dilakukan penjajah, melainkan bangsa sendiri. Saya mencontohkan pada Pilgub 2008, masyarakat etnis Jawa akan terpecah-pecah ke dalam tujuh kandidat. Bagai bom waktu, dipantik sedikit saja bisa chaos di tubuh etnis Jawa.

Apa yang diperjuangkan Boedi Oetomo (BO) melalui ranah pendidikan untuk “membakar” semangat nasional, kemudian diejawantahkan oleh para pemuda Indonesia pada 1928 melalui “Sumpah Pemuda” yaitu ‘berbangsa, berbahasa, dan bertanah air satu (bernama) Indonesia’. Para pemuda Indonesia di tahun 1928 itu ternyata selain berwawasan nasionalis, juga berpikiran futuristik dan moderat.

Mereka—para pemuda yang pikirannya kemudian dirumuskan dalam “Sumpah Pemuda” oleh Mohammad Yamin—dengan sukarela dan legowo melepas pakaian etnis masing-masing. Identitas kesusukuan seperti jong java, jong ambon, jong selebes dst.nya diabaikan untuk sementara, untuk mendapatkan “rumusan” kebangsaan: bangsa, bahasa, tanah air Indonesia. Sejatinya, Indonesia saat itu masih abstrak: ia in absentia, dalam bentuk abstraksi di dalam angan-angan (khayalan). Pada 1945 (17 Agustus 1945), angan-angan para pemuda itu mewujud: menjadi kenyataan.

Tetapi, bangsa yang berpikir hanya segera merdeka, tentu masih banyak terabaikan. Tengok dan cermati kembali isi proklamasi yang dibacakan Soekarno dan Hatta: “dalam tempo sesingkat-singkatnya” tanpa dibarengi rumusan tentang persatuan dalam keberagaman ataupun bagaimana menjaga kebudayaan dan adat masing-masing etnis di Indonesia. Apalagi untuk rumusan “berbudaya” dalam keberagaman di Indonesia, makin diperparah pada rezim Soeharto yang berkuasa lebih dari 32 tahun.

Entah disengaja ataukah (hanya) kebetulan, Indonesia ini dipimpin oleh etnis Jawa kecuali B.J Habibi, itu pun sayangnya tidak lama. Tampaknya etnis Jawa mendominasi bangsa ini. Dari etnis Jawa pula seakan ikut menentukan hari-hari nasional seperti Hari Kartini, Hari Kebangkitan Nasional, Hari Pahlawan, dan seterusnya. Apakah tidak mungkin Tjut Nyak Dhien bisa menyamai emansipasi R.A. Kartini? Adakah perjuangan Sarikat Islam jauh sebelum BO, meskipun berbasis agama namun telah menyebar ke nusantara, tidak bisa disebut cikalbakal kebangkitan nasional?

Tetapi, begitulah Indonesia. Sejarah berkebangsaan yang sangat cepat dan kemerdekaan yang “dalam tempo sesingkat-singkatnya”, serta berkebudayaan yang terus berproses “menjadi Indonesia” namun tidak pernah direnstrakan di Departeman Kebudayaan. Bahkan lebih ironi, kebudayaan hanya dipandang bagaimana mendapatkan devisa sehingga harus dijual kepada wisatawan.

Akibatnya setali tiga uang dengan semasa imperialisme, rezim Soeharto secara besar-besaran memindahkan orang Jawa ke pelosok tanah air. Atas nama pemerataan daerah, pulau Jawa yang nyaris tenggelam karena padatnya penduduk akhirnya ditransmigrasikan ke daerah-daerah yang dianggap masih kosong. Tetapi pemindahan besar-besaran itu tidak diimbangi dengan pengetahuan (ilmu) budaya dasar tentang masyarakat yang di tuju. Kata-kata bijak di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung tidak mengkristal dalam diri kita, sehingga kata-kata itu berhenti sebagai jargon. Bisu.

Sampai suatu ketika komunitas anshor tersadar bahwa mereka adalah pemilik sah tanah kelahirannya, ketimbang pendatang (muhajirin). Sikap seperti inilah yang lalu memicu pertikaian antaretnis setempat dengan pendatang, atau perkelahian sesama pendatang, serta persekutuan antarpendatang yang menyerbu etnis setempat. Selain itu sikap “reformis” salah kaprah, meniupkan semangat putra daerah yang berhak memimpin dengan mengenyampingkan kemampuan sebagai syarat. Isu putra daerah diembuskan di setiap akan berlangsung pemilihan kepala daerah (pilkada) atau pemilihan gubernur (pilgub).

Proyek transmigrasi di masa berkuasa Soeharto, kini terasa dan masih tersisa. Terutama di Lampung yang notabene paling dodimonasi etnis Jawa, setelah itu beragam etnis, dan ulun Leppung sebagai masyarakat yang minoritas—kalau tak boleh dibilang terpinggirkan. Karena itu, jika ingin meniupkan “isu” putra daerah harus memimpin daerah ini sesungguhnya menginggkari semangat nasionalisme yang dikobarkan sejak SI dan BO maupun semangat para pemuda di tahun 1928 lalu dikonkritkan pada 17 Agustus 1945.

Cuma masalahnya tidak berhenti pada soal putra daerah yang mesti berperan aktif dalam pembangunan daerah ini. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa etnis Jawa memang mendominasi, seakan “bibit unggul” dan menjadi rebutan. Sedangkan masyarakat dari etnis lain seperti Minang, Batak, Banten, Batanghari (Sumsel), Bengkulu, Bugis, Sunda, dll. sepertinya tidak dihitung.

Kue lapis Pilgub

Barangkali, kalaupun etnis lain disatukan dan menyatu, orang Jawa di daerah ini masih lebih banyak. Karena itu, dalam berbagai hal dan kesempatan, etnis Jawa tetap beruntung dan diuntungkan. Apatah lagi di saat-saat pilkada atau pilgub. Perjalanan pilkada di Lampung telah membuktikan bahwa etnis Jawa tetap memegang kendali, entah sebagai orang nomor satu maupun di nomor dua.

Berdasarkan pemikiran itu (pandangan?), pada Pilgub yang pertama kali dilakukan secara langsung di mana masyarakat sebagai penentu, semua kandidat (ada 7 kandidat terdaftar) pilgub merangkul orang Jawa. Baik sebagai gubernur ataupun wakil gubernur. Masyarakat awam bisa mengetahui dari nama kandidat yang selalu ada huruf “o”.

Ke tujuh pasang cagub/cawagub Lampung tersebut—sekadar untuk menyegarkan ingatan—adalah Andy Achmad Sampurna Jaya berpasangan dengan H.M. Supardjo, M. Alzier Dianis Thabrani-Bambang Sudibyo, Muhajir Utomo-Andi Arief, Oemarsono-Thomas Azis Riska, Sjahroedin ZP-M.S. Joko Umar Said, Sofjan Jacob-Bambang Waluyo Utomo (Sari Nongko), dan Zulkifli Anwar-Akhmadi Sumaryanto. Artinya, dari maisng-masing kandidat sudah tahu strategi apa dan bagaimana untuk memenangkan Pilgub Lampung 3 September mendatang, yaitu harus merangkul (memasang) orang Jawa sebagai masyarakat mayoritas. Strategi (dalam politik) itu jelas sudah dihitung matang oleh para kandidat.

Bangsa ini belum terbiasa menerima kekalahan dalam suatu permainan, itu sebabnya setiap pertandingan harus keluar sebagai pemenang. Dengan demikian, cara apa pun disiapkan agar tidak dipecundang. Maka memasuki ranah politik, dalam benak banyak orang, sebagaimana dikemukakan penyair Acep Zamzam Noor, hanya bermain politik dan bukan berpolitik. Yang jadi tujuan utama adalah uang. Masuk DPR (dan kepala daerah, iszs) bukan karena mau membela rakyat, tapi karena di situ banyak proyek yang bisa dimainkan (Kompas, 8 Juni 2008, “Persona” hlm. 12).

Apa yang dilakukan tujuh pasang cagub/cawagub dengan merangkul orang Jawa—kecuali Muhajir dan Oemarsono yang justru merangkul (bukan sebaliknya, dirangkul?) pada Pilgub Lampung, bukan tak mungkin akan membenarkan asumsi (praduga, predikisi, ramal) yang pernah saya lontarkan dalam diskusi kebangsaan seperti saya kutip ulang pada paragraf pembuka di atas. Tanpa berharap terjadi chaos, setidaknya orang Jawa di Lampung laksana kue lapis: rasanya memang lezat karena itu ditimangsayang, tetapi juga diberai selapis-selapis. Kalau dibidik secara matematis, misalnya, penduduk Jawa di Lampung adalah 4 juta saja terdaftar sebagai pemilih, maka jumlah itu dibagi tujuh. Alasannya sederhana, setiap pasang kandidat ada orang Jawa.

Kalau alasan memilih itu demikian sederhananya, seperti Pilgub bisa diamsalkan juga sebagai permainan dimana harus ada kalah dan menang, tentu yang bermain tetap sama-sama terhibur meski berada di pihak yang kalah atau menang. Layaknya menonton pertandingan sepak bola tanpa ada klub yang dipaforitkan, kita pun akan menyaksikannya dengan riang. Begitu pula jika etnis Jawa dalam Pilgub kelak sudah benar-benar melek politik, niscaya dukung-mendukung kandidat (parpol) tak akan berakhir gontok-gontokan. Cukup para kandidat yang bersaing, akar rumput bernama masyarakat tetap berhati dingin dan tidak terpancing untuk pula mengadu otot. Biarkan para kandidat saling ngotot merasa paling banyak massa pendukungnya, namun tidak harus rakyat ikut-ikutan di arena perkelahian apalagi sampai darah membanjiri persada.

Sayang sekali persaudaraan terpecah untuk suatu kemenangan semu. Jangan sampai politik adu domba (devida et impera) yang pernah dimainkan imperialisme terulang dalam bangsa ini. Harus diakui, etnis Jawa di Lampung amatlah potensi bagi pembangunan provinsi ini, sebab itu harapan kita agar suasana damai dalam Pilgub 3 September 2008 tidak tercoreng.

Sebagai etnis potensial yang menyebabkan semua kandidat berharap besar dari masyarakat Jawa pada Pilgub 2008, maka apabila tidak kita jaga suasana damai yang ada selama ini akan menjadi fatal. Saudara kita itu, sekali lagi, kini ibarat “kue lapis” yang sedang dincar dan jadi rebutan (bahkan “dimanfaatkan”). Dan, membangun kesadaran bahwa kita (ber)satu lebih sulit, tinimbang memecah-belah hingga terberai

Pilgub sifatnya temporal dan sesaat dus lebih banyak nuansa euforia saja, sedangkan kebersamaan dan persaudaraan lebih mengekal dan bernilai. Bahkan, jangan khawatir dikatakan kerdil—lagi pula dijamin UU—daripada harus tumpah darah, jika pun kita tak ada pilihan: “tidur paling enak adalah saat hari pencoblosan,” kata Acep Zamzam Noor, penyair Cipasung, Tasikmalaya (Jabar) yang putra kiyai dan sepuh NU (alm) K.H.M. Ilyas Ruhiyat, memberi resep.

Ya. Ojo dumeh tak ada kawan abadi tiada lawan yang kekal di dalam politik karena paling utama ialah kepentingan yang sifatnya sesaat pula, maka untuk apa dan bagi siapa sehingga harus gontok-gontokkan—pertumpahan darah—sesama saudara-se(suku)bangsa?*

Tujuh Pemuda dan Seekor Anjing

Isbedy Stiawan ZS


TUJUH pemuda dan seekor anjing akhirnya meninggalkan kesunyian dan melebur dalam keriuhan. Dari persembunyian yang cukup lama—mungkin berabad-abad?—itu mereka dapatkan banyak pengalaman berharga yang tak pernah diperoleh di luar gua.

Pertama-pertama yang mereka rasakan setelah beberapa jenak mengasingkan diri; terhindar dari ketertindasan, bebas sebenar-benarnya bebas dari segala intimidasi, provokasi, ataupun janji-janji. Dan, paling utama, merdeka sebenar-benar merdeka dari raja lalim.

Kalau harus memilih ke tujuh pemuda dan seekor anjing itu akan kerasan tinggal dalam persembunyian. Tetapi, suratan sudah menyuratkan mereka dibangunkan dari kelelapan, dan mesti kembali ke keramaian.

Mereka tersadar. Raja sudah diganti. Alat beli dan tukar yang dimilikinya tak lagi berlaku. Orang-orang tak pula dikenali. mereka seakan asing di antara warga kota. Berbagai bangunan banyak yang baru. Pasar tumbuh di mana-mana. Jalan berliku dan bercabang. Kota menjadi berwarna-warni.

“Kau tahu apa yang terjadi di kerajaan ini?” pemuda satu melontarkan pertanyaan begitu matanya tertumbak banyaknya umbul-umbul dan baliho di hampir setiap ia menatap.

“Ulang tahun kemerdekaan kerajaan,” pemuda ketiga mencoba menerka.

Pemuda keempat mencela. “Untuk apa kemerdekaan? Adakah warga di sini sudah benar-benar merdeka? Merdeka dari apa?”

“Mungkin saja sewaktu kita di dalam gua, ada penjajah asing yang bertamu lalu merampok isi kekayaan negeri dan menindas penduduk? Kemudian warga melawan hingga tetes darah penghabisan demi kebebasan dari penjajah? Para penjajah pun hengkang, lalu negeri ini menyatakan kemerdekaannya?” pemuda kedua ikut menimpal.

Seekor anjing yang sedari tadi hanya memperhatikan ke tujuh rekannya, kini ikut menyalak: “guk guk guk guk guguk guk….” (apabila diterjemahkan ke bahasa manusia berarti kira-kira begini: “ah, kalian—dasar manusia—sok tahu!”)

“Diam kau anjing!” pemuda satu kini menyalak. Ingin sekali melempar anjing yang pernah ikut berlama-lama dalam pengasingan dan selama itu pula menjagai keamanan rekan-rekannya dari pengejaran penguasa zalim.

Segera anjing itu mencoba menghindar, namun urung. Justru ia melompat dan menerkam segumpal makanan dengan moncongnya. “Nah, begitu dong kawan. Masak aku mau ditimpuk, padahal berabad-abad aku menjagai kalian. Hehehe tapi salah lempar kan? Karena itu, aku tak sudi mengucapkan terima kasih. Guk guk…” ucap seekor anjing itu sambil mengibaskan ekornya dan mengusung lidahnya.

“Diamlah anjing!” bentak pemuda kedua. “Batu atau bolu bagimu sama saja. Masih untung rekanku tak benar-benar menyambitmu dengan batu!”

“Tapi, apakah aku salah jika urun pendapat?” tanya anjing itu seraya matanya mendelik. Menyelidik. Ia benar-benar tak habis pikir pada bangsa manusia; mengaku berjuang untuk demokrasi, tapi menyatakan pendapat dianggap penghambat. Menganggap paling toleransai, tapi begitu berbeda pendapat dicurigai akan merongrong demokrasi.

Ke tujuh pemuda itu menggeleng-geleng. Entah membenarkan pendapat anjing itu, atau ingin kembali menyalahkan seraya menggebahnya.

“Saya kira, tak ada ruginya kalau kita dengar pendapat rekan kita ini,” pemuda tujuh memberanikan diri berkomentar. Sambil menyilakan seekor anjing, ia berkata: “Silakan sohib. Mungkin saja pendapatmu yang benar…”

Anjing itu pun mengibas-ngibaskan ekornya, menjulurkan lidahnya lebih panjang. “Tuan-tuan budiman,” anjing itu memulai bersuara. Wajahnya sumringah. Liurnya meleleh. “Izinkan saya meminta maaf untuk khilaf kata saya tadi…”

“Segeralah kau bicara…”

“Hemm, soal kemerdekaan, saya sependapat. Memang negeri ini tengah memeringati hari ulang tahun kemerdekaan. Selama kita di pengasingan, sesungguhnya telah terjadi banyak peristiwa. Negeri ini dijajah beberapa abad oleh negara lain, dan tiga tahun lebih oleh negera yang lain. Dan, pada satu peristiwa terjadilah kemerdekaan, yang kini sedang dirayakan. Yang kedua, jika kita melihat umbul-umbul dan baliho yang tersebar itu. Saya menengarai akan terjadi pemilihan raya untuk raja yang baru!”

“Saya sepakat dengan kau, anjing!” teriak pemuda lima. Sebagaimana nujum yang saya dapatkan, memang akan berlangsung pemilihan raya. Tengoklah baliho-baliho itu. Sejumlah, ada tujuh, gambar tokoh terpampang. Merekalah calon raja yang akan berlaga dalam pemilihan raya kelak.”

“Karena itu kita harus berpartisipasi. Jangan sampai antipati!” teriak pemuda enam.

“Untuk apa?” selidik pemuda dua.

“Ya, apa untungnya buat kita?” sambung pemuda tiga.

“Kalau hanya mendapatkan mudarat, lebih baik kita kembali ke persembunyian. Menghindar dari keriuhan pesta ini…”

“Guk guk guguk…” (artinya: “setujuuu….”). “Guguk gugugukkk…” (“golput nih ye…”)

Yup!” pemuda keempat memberi jari jempol. “Dari ketujuh calon raja dan tujuh calon wakil raja itu, tak satu pun kita kenal pribadi-pribadinya. Apatah lagi misi dan visinya. Kecuali, saya menengarai, mereka hanya ambisi ingin jadi raja. Karena itu, meminjam omongan anak Kiay NU Ilyas Ruhiyat—Acep Zamzam Noer yang penyair asal Cipasung—itu, tidur yang paling enak dan nyaman pada saat hari pencoblosan!”

“Golput?” anjing itu bersuara.

“Kenapa tidak?” pemuda keempat kembali menegaskan.

Anjing yang sudah mendapat tempat di hati ke tujuh pemuda itu, bersuara lagi: “Bagi saya ikut memilih atau golput, tak akan berpengaruh bagi kehidupan bangsa anjing. Saya juga tak berharap banyak pada calon-calon raja yang akan berlaga itu. Jika menang apakah akan benar-benar mensejahterakan bangsa anjing? memerdeka anjing dari perbudakan para tuan-tuannya. Dari makan tempe setiap hari, berubah memakan daging sehari tiga kali atau lebih. Rumah-rumah anjing dimegahkan, mendapat tempat istimewa di dalam rumah para tuan. Tidak diburu-buru oleh petugas sebagai binatang yang menyebar virus.”

“Ah, kau terlalu banyak menuntut anjing!” salak pemuda satu.

“Tapi, boleh juga kita dengarkan pendapat anjing ini. Bagaimana pun, piye-piye anjinge dhewe, begini-begini biarpun jelek ia adalah sohib kita. Apalagi pendapatnya bersandar pada pikiran manusia. Mari kita analisa bersama…” pemuda lima membela anjing.

“Dari kacamata politik. Tak satu pun dari ke tujuh pasang kandidat itu, benar-benar ingin membangun dan mensejahterakan negeri ini. Lagipula, saya pun tak mau kalah denganmu saya mengutip pendapat orang bijak, politisi kita hanya pemain karena itu mereka hanya bermain-main dalam politik. Tidak memasuki politik secara subtansi. Tak punya niat untuk mengubah—mereformasi—hal-hal yang sudah kadaluwarsa. Hanya kepentingan sesaat, yakni jabatan dan kekayaan!”

“Guk guk guk….” (kesimpulannya: kita kembali ke dalam gua?)

Ke tujuh pemuda itu bergeming. Matanya kosong saat tertumpu pada mata anjing itu.

“Keadilan terlalu mahal di negeri ini. Raja yang sedang memimpin dan mengaku ingin memuluskan jalan pemilihan raya, juga tak adil. Ia menggembor-gemborkan netralitas. Ia larang komunitas dan orang-orang kerajaan untuk ikut mendukung secara terang-terangan pada salah satu kandidat. Tetapi, diam-diam, ini asumsi saya lo, nyatanya ia condong ke salah satu kandidat…” ujar pemuda lima.

“Belum seumur jagung ia memimpin, sudah dibabat habis kroni-kroni raja sebelumnya. Untuk mematahkan seluruh kekuatan yang akan memenangkan salah satu kandidat,” dukung pemuda dua.

“Jangan sampai kita jadi keparat…”

“Lalu?”

“Kita mesti sadarkan rakyat. Hati-hati memilih. Pilihlah sesuai yang membisik di hati. Boleh tidur pada hari pencoblosan, jika nurani berkata ‘tidak’ untuk semua kandidat,” simpul pemuda satu.

“Guk guk guguguk gukguk gugugugukkkk guk…” (transletnya: “kalau memang itu pilihan, sebab rakyat pun diberikan kebebasan dan dilindungi undang-undang setiap komitmennya, kenapa tidak? Sudah saatnya rakyat harus lebih cerdas dari pemimpinnya!”)

“Ah, kau tahu apa, anjing!”

sudut kemiling, 8 agustus 2008

*) tulisan ini merupakan orasi dari “Mimbar Bebas” serangkaian Ulang Tahun Aliansi Jurnalis Independen ( AJI) ke-14, 8 Agustus 2008, di Sekretariat AJI Kota Bandarlampung